Minggu, 22 Desember 2013

analisa peristiwa nabi saw sakit menjelang wafat



ANALISA PERISTIWA NABI SAW SAKIT MENJELANG WAFAT 

Luthfi Bashori

Mengambil pendapat sejarah yang meriwayatkan, bahwa pada hari Kamis menjelang Nabi SAW wafat, beliau SAW sakit keras yang menyebabkan suhu tubuhnya naik sangat tinggi di atas batas normal. Sebagaimana kondisi umum, jika suhu badan terlalu tinggi, maka pada kebanyakan orang, akan terjadi peristiwa seseorang itu berbicara tanpa sadar (bahasa Jawa: Ngame / ngelindur / ngelantur) dengan mengucapkan hal-hal yang menjadi kebiasaannya, hal itu juga terjadi pada diri Nabi SAW. Di saat yang demikian itulah beliau SAW meminta kertas untuk menulis wasiat bagi umatnya.

Namun, melihat kondisi kesehatan Nabi SAW yang tidak stabil ini,  para shababat yang hadir di rumah beliau SAW, berbeda pendapat dalam menyikapinya. Ada yang akan mengambilkan kertas sesuai permintaan beliau SAW itu, dan ada pula yang berusaha menundanya karena tidak tega melihat kondisi Nabi SAW, termasuk yang dilakukan oleh Sy. Umar bin Khatthab shahabat terdekat Nabi SAW yang berusaha menunda permintaan Nabi SAW tersebut. Tentu peristiwa semacam ini menjadi lumrah jika terjadi pada sebuah keluarga.

Para ulama berpendapat, bahwa permintaan Nabi SAW adalah suatu kewajiban bagi umat Islam untuk mentaati dan menurutinya, namun hal itu jika beliau SAW sedang dalam kondisi sehat dan dalam kesadaran sempurna. Sedangkan permintaan Nabi SAW di saat kesadaran beliau SAW belum sempurna, misalnya saat ngelindur (bicara saat tidur tanpa sadar), atau ngame (berbicara tanpa sadar saat suhu badan terlalu tinggi), maka umat Islam boleh menunda permintaan itu, dan akan ditanyakan ulang jika kesadaran beliau SAW sudah pulih secara sempurna.

Adapun, menganalisa permintaan sebuah wasiat yang akan dituangkan oleh Nabi SAW saat beliau SAW akan wafat, tentunya bisa berisi aneka ragam. Antara lain bisa dengan cara mengikuti alur sebuah riwayat hadits yang kedudukan sanadnya juga kurang terkenal, di sana dikatakan bahwa wasiat itu berisi:

1. Mengeluarkan kaum musyrikin dari Jazirah Arab.
2. Memperlakukan baik terhadap delegasi, seperti cara  beliau SAW  memperlakukannya.
3. (sebagian perawi lupa akan isi wasiat yang ke tiga).

Karena ada isi wasiat yang terlupakan, maka terjadilah perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang apa isinya. Hingga ada beberapa kalangan yang mencoba menganalisa isinya sesuai dengan pemahaman masing-masing, antara lain berisi:

* Umat Islam harus berpegang teguh kepada Alquran dan Hadits.
* Penunjukan Sy. Abu Bakar sebagai khalifah pengganti kepemimpinan dalam Islam, karena figur Sy. Abu Bakar dinilai sangat tepat untuk menjadi Khalifah pertama dalam Islam. Beliau adalah figur yang sangat bijaksana, dan sangat setia menemani dakwah Nabi SAW sejak pertama Nabi SAW diangkat jadi rasu. Beliau juga yang menemani saat Nabi SAW perjalanan hijrah hingga pertemanan kedua beliau ini diabadikan oleh Allah dalam Alquran: idz yaquulu lishaabihi (tatkala Nabi SAW berkata pada shahabatnya, yaitu Sy, Abu Bakar) sehingga istilah SHAHABAT NABI SAW itu pertama kali disematkan oleh Allah adalah kepada pribadi Sy. Abu Bakar. Beliau juga adalah teman karib yang merangkap sebagai mertua Nabi SAW, dan tentunya seorang menantu yang baik (apalagi jika sang menantu itu seorang nabi), pasti akan menghormati bapak mertuanya. Bukan sekedar itu, tapi beliau SAW akan mengajarkan adab sopan santun kepada para istri dan anak cucunya agar selalu menghormati bapak mertua beliau SAW, yaitu Sy. Abu Bakar, dan beliau SAW akan murka besar jika ada anak cucu Nabi SAW dan umat Islam yang berani mengkritik apalagi mencaci maki bapak mertua beliau SAW, yaitu Sy. Abu Bakar. 

Analisa bahwa isi wasiat yang ketiga adalah pengangkatan Sy, Abu Bakar sebagai calon khalifah pengganti Nabi SAW, sangat sesuai dengan pendapat Sy. Ali bin Abi Thalib sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Hakim dari  Annazal bin Sabrah: “Kami katakan kepada Sayyidina Ali, wahai Amirul mukminin beritakan kepada kami tentang Abubakar”. Sayyidina Ali menjawab: “Beliau itu  adalah orang yang dijuluki oleh Allah Asshiddiq (terpercaya) melewati lisan Nabi Muhammad SAW, bahkan beliau juga adalah Khalifah/pengganti Nabi SAW  yang mana Nabi SAW meridlai beliau (Abu Bakar) untuk memimpin urusan agama kita, maka kita harus ridla kepada beliau (Abu Bakar) untuk memimpin urusan keduniaan kita”.

Demikian juga jika mengacu pada hadits St. Aisyah yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah berkata kepadanya saat beliau SAW sakit: ‘Panggilah Abu Bakar kemari, ayahmu, dan saudara laki-lakimu agar aku menulis sebuah pesan, sebab aku khawatir akan muncul orang yang berharap lalu berkata : ‘Aku lebih berhak’. Sesungguhnya Allah dan segenap kaum mukminin hanya rela menerima Abu Bakar’ (HR. Muslim)

Setelah peristiwa hari Kamis itu, sakit Nabi SAW agak mereda, namun beliau SAW belum dapat mengimami shalat berjamaah di masjid Nabawi, maka para shahabat menunjuk bapak mertua Nabi SAW, yaitu Sy. Abu Bakar untuk menjadi khalifah Nabi SAW dalam memimpin shalat berjamah. Padahal di jaman itu, keberadaan shalat berjamaah di masjid Nabawi adalah termasuk sentral cerminan bagi seluruh kegiatan umat Islam.

Jika shalat berjamaah di masjid Nabawi tidak dilaksanakan, maka agama Islam pun dianggap mati. Jadi, betapa pentingnya simbul shalat berjamaah di masjid Nabawi di jaman itu. Dengan demikian, betapa terhormatnya kedudukan Sy. Abu Bakar yang ditunjuk oleh para shahabat untuk menjadi khalifah pengganti Nabi SAW dalam memimpin shalat.

Di saat Sy. Abu Bakar mengimami shalat itu, semua para shahabat  dan Ahli baitnya Nabi SAW, termasuk Sy. Ali bin Abi Thalib, Sy. Hasan bin Ali dan Sy. Husain bin Ali juga ikut menjadi makmum shalat.

Bahkan dalam sebuah riwayat dikatakan, Nabi SAW sempat menengok pelaksanaan shalat berjamaah yang diimami oleh Sy. Abu Bakar dan para makmumnya adalah para shahabat dan Ahlul baitnya Nabi SAW, maka beliau SAW tersenyum bahagia.

Pada analisa lain mengatakan, bahwa Nabi SAW wafat hari Senin. Berarti ada jedah waktu beberapa hari antara beliau SAW sakit di hari Kamis sampai wafat di hari Seninnya. Beliau SAW juga sempat menengok pelaksanaan shalat berjamaah di masjid Nabawi, berarti beliau SAW sempat pulih kesadarannya. Namun, beliau SAW di saat pulih kesadarannya itu, ternyata tidak minta diambilkan kertas lagi untuk menulis wasiat spesial tentang nama khalifah pengganti pasca beliau SAW wafat.

Padahal andaikata beliau SAW memanggil para shahabat dan seluruh Ahlul baitnya pun untuk menyampaikan wasiatnya itu, sangat memungkinkan dilakukan, tapi hal itu justru tidak dilakukan.

Ijtihad para shahabat termasuk Sy. Umar bin Khatthab untuk menunda permintaan Nabi SAW yang meminta kertas untuk menulis wasiat, di saat panas suhu tubuh belaiu SAW di luar batas kewajaran, adalah langkah yang sangat tepat, dan langkah ini adalah sebuah penghormatan dan tingginya rasa cinta para shahabat kepada Nabi SAW, mereka tidak rela Nabi SAW hanya memikirkan keadaan umatnya saja dengan mengabaikan kesehatannya sendiri, dan para shahabat itu tidak menghendaki berpisah dengan Nabi SAW, hingga mereka lebih mementingkan kesehatan dan waktu istirahat bagi pribadi Nabi SAW, dengan menunda permintaan Nabi SAW itu, dengan harapan agar beliau SAW benar-benar cepat pulih kesehatanya. Karena hidupnya Nabi SAW di tengah-tengah para shahabat itu adalah segala-galanya bagi mereka.

Analisa ini tentunya dapat menghilangkan syubhat pemutarbalikan fakta yang sering dilontarkan oleh penganut Syiah. Mereka mengatakan bahwa Nabi SAW telah menulis wasiat pengangkatan Sy. Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah secara estafet pasca Nabi SAW wafat.

Tujuan kaum Syiah adalah menciptakan keragu-raguan di hati umat Islam atas kebenaran ajaran agama Islam yang selama ini diajarkan oleh para ulama Ahlus sunnah wal jamaah. Yaitu ajaran yang diambil dari para ulama sebelumnya secara estafet, hingga sambung kepada para ulama salaf Ahlus sunnah wal jamaah, dan tentunya besambung juga kepada para Tabi`in, yaitu murid-murid dari para shahabat, dan para shahabat itu mengambil ajaran Islam langsung dari Nabi Muhammad SAW.

Menganalisa peristiwa Nabi SAW bicara tanpa sadar, saat beliau SAW sakit panas yang suhu tubuhnya di atas batas wajar. Maka hal itu bisa saja terjadi, karena Nabi SAW seperti disebutkan dalam Alquran adalah Qul innamaa ana basyarun mitslukum yuuhaa ilaiyya (sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian (tapi) yang diturunkan wahyu kepadaku).

Dalam sisi kemanusiaannya, maka sangat mungkin beliau SAW merasakan lapar dan haus, serperti saat beliau mengganjal perutnya dengan batu pada waktu menggali parit menjelang perang Khandaq. Sekalipun beliau SAW bersabda: Sesungguhnya kehidupanku ini tidak seperti kalian, aku dalam tanggungan Tuhanku, yang langsung memberiku makan dan minum (Shahih Muslim No.1844)

Atau beliau SAW marah hingga wajahnya merah padam. Sekalipun Alquran menyifati beliau SAW sebagai jiwa yang ra-uufun rahiimun (penyabar/bijak dan penyayang), seperti kemarahan beliau SAW dalam menyikapi peristiwa permohonan keringanan hukuman oleh suku Mahzumiyah bagi wanita mahzumiyyah terhormat yang mencuri.

Seperti juga tatkala beliau SAW berselisih pendapat dengan  shahabat yang ahli tata cara `mengawinkan` pembuaian pohon korma, sebagaimana dalam riwayat Muslim, saat beliau SAW mengatakan agar korma milik shahabat tersebut tidak perlu dikawinkan dan cukup dibiarkan secara alami, namun ternyata teori beliau SAW itu tidak sesuai dengan harapan, hingga beliau SAW bersabda : antum a`lamu biumuuri dun-yaakum (kalian lebih tahu tentang dunia `pertanian` kalian).

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Ats Tsaqafi dan Abu Kamil Aljahdari lafazh keduanya tidak jauh berbeda, dan ini adalah hadits Qutaibah dia berkata. Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Simak dari Musa bin Thalhah dari bapaknya dia berkata: Saya bersama Nabi SAW  pernah berjalan melewati orang-orang yang sedang berada di pucuk pohon kurma.

Tak lama kemudian beliau SAW bertanya: ‘Apa yang dilakukan orang-orang itu? ‘ Para sahabat menjawab, ‘Mereka sedang mengawinkan pohon kurma dengan meletakkan benang sari pada putik agar lekas berbuah’. Maka Nabi SAW pun bersabda: ‘Aku kira perbuatan mereka itu tidak ada gunanya. Thalhah berkata: ‘Kemudian mereka diberitahukan tentang sabda Nabi SAW itu’. Lalu mereka tidak mengawinkan pohon kurma.

Selang beberapa hari kemudian, Nabi SAW diberitahu bahwa pohon kurma yang dahulu tidak dikawinkan itu tidak berbuah lagi. Lalu Nabi SAW bersabda: ‘Jika okulasi (perkawinan) pohon kurma itu berguna bagi mereka, maka hendaklah mereka terus melanjutkannya. Sebenarnya aku hanya berpendapat secara pribadi. Oleh karena itu, janganlah menyalahkanku dengan pendapat pribadiku. Tetapi, jika aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu dari Allah, maka hendaklah kalian menerimanya, karena, aku tidak pernah mendustakan Allah. (Shahih Muslim 2361-139).

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid seluruhnya dari Al Aswad bin ‘Amir; Abu Bakar berkata. Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir. Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi SAW pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda:
“Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik.”

Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi SAW melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau SAW bertanya:
“Ada apa dengan pohon kurma kalian?”
Mereka menjawab: “Bukankah engkau telah mengatakan hal ini dan hal itu?”
Beliau SAW lalu bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
(HR Muslim No 4358)

Namun, munculnya kondisi kemanusiaan semacam itu tentunya bukan menjadi sifat permanen beliau SAW, karena dalam banyak hal, beliau SAW sebagai seorang Nabi, mendapatkan keistimewaan mu’jizat yang sering kali tidak dapat diprediksikan dan dipahami secara kasat mata maupun akal manusia manapun, selain karena didasari rasa keyakinan dan keimanannya kepada Allah dan rasul-Nya.

Jadi, sangat logis jika beliau SAW pernah sakit yang menyebabkan suhu tubuh menjadi sangat panas di luar batas kenormalan, hingga beliau SAW sempat mengigau, dan itu bukan suatu kekurangan bagi beliau SAW, karena kondisi seperti itu terjadi di luar batas kesadarannya.

Bahkan beliau SAW juga termasuk seorang manusia yang buta aksara yaitu tidak bisa membaca dan menulis (nabiyyun ummiyyun), namun keummiyyan Nabi SAW ini bukan sifat cela dan kurang bagi beliau SAW. Karena dalam kondisi keummiyan itu, Nabi SAW mendapatkan amanat menerima wahyu Alquran yang kemasan bahasa sastranya sangat tinggi dan super indah, hingga tidak mungkin dikatakan susunan ayat-ayat Alquran itu merupakan karangan seorang Nabi yang buta aksara, namun justru merupakan jaminan keotentikan firman yang murni datangnya dari Allah SWT.

Ternyata, sering kali hal-hal yang dalam pandangan manusia sebagai `sifat kekurangan` pada diri Nabi SAW sesuai sifat kemanusiaannya itu, justru merupakan rahasia Allah untuk menunjukkan, bahwa itulah mu’jizat yang diberikan oleh Allah kepada beliau SAW, karena beliau SAW adalah basyarun laa kal basyar (manusia tapi tidak seperti sifat manusia pada umumnya). Salah satu rahasia figur beliau SAW dinyatakan sebagai manusia, agar tidak sampai dikultuskan oleh umatnya, seperti kesalahan kaum Nasrani yang mengkultuskan Nabi Isa AS maupun kaum Syiah yang mengkultuskan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. 

Ada juga analisa lain yang perlu diketahui oleh umat Islam. Menurut syariat (fiqih) dalam menyikapi sebuah wasiat  adalah sebagai berikut:

1.    Wasiat yang isinya  berkaitan dengan pembagian (pemberian) harta waris kepada pihak selain ahli waris, seperti seorang ayah yang wafat dengan meninggalkan surat wasiat kepada keluarganya agar ‘teman sang ayah yang bernama Polan’ mendapat bagian warisan dari hartanya, maka sifatnya adalah wajib diamalkan dengan syarat-syarat tertentu yang telah diatur dalam ilmu faraidh (hukum warisan).
2.    Wasiat yang isinya anjuran berbuat amal baik, misalnya seorang ayah yang wafat dengan meninggalkan surat wasiat kepada anaknya agar sang anak meneruskan amalan puasa Senin – Kamis yang sudah menjadi istiqamah bagi sang ayah, maka sifatnya adalah sunnah diamalkan.
3.    Wasiat yang isinya bertentangan dengan syariat, seperti sang ayah yang wafat dengan meninggalkan surat wasiat agar seluruh harta peninggalannya, hanya diberikan kepada salah satu anaknya yang paling dicintainya, dan tidak boleh dibagikan kepada anak-anaknya yang lain (wasiat, agar tidak dibagi dengan ilmu faraidh / hukum warisan), maka sifatnya haram diamalkan atau wajib diabaikan, dan seluruh ahli warisnya tetap wajib  memberlakukan hukum faraidh.

Saat Nabi SAW sakit pada hari Kamis yang suhu tubuhnya sangat tinggi, maka permintaan beliau SAW untuk menulis wasiat itu, ditunda oleh para shabahat demi menunggu waktu yang tepat, yaitu jika suhu tubuh Nabi SAW sudah turun. Ternyata, pada hari berikutnya suhu tubuh Nabi SAW benar-benar reda, bahkan beliau SAW sempat menengok pelaksanaan shalat berjamaah di masjid Nabawi yang diimami oleh Sy. Abu Bakar.

Jika saja urusan wasiat untuk penunjukan nama khalifah yang Nabi SAW meminta kertas pada hari Kamis itu, adalah sesuatu yang hukumnya  wajib, apalagi jika penulisan wasiat itu adalah atas perintah Allah, sebagaimana yang sering diklaim oleh kaum Syiah, maka pasti beliau SAW akan meminta ulang penulisan wasiat tersebut pada saat kondisi kesehatan beliau membaik, yaitiu antara hari Jumat, Sabtu dan Ahad.

Namun kenyataannya pada hari berikutnya sebelum beliau SAW wafat di hari Seninnya, dan kondisi kesehatan beliau SAW sudah membaik, ternyata Nabi SAW tidak memintanya ulang penulisan wasiat itu dan juga tidak mengumumkan siapa nama khalifah pengganti jika beliau SAW wafat.

Padahal Allah memberi sifat kepada Nabi SAW dengan ‘wa-addal amaanah’ (Nabi yang melaksanakan seluruh amanat Allah).

Jadi pada hakikatnya, Nabi SAW telah memberikan pelajaran kepada umat Islam saat itu agar menerapkan perintah Allah, wa-amruhum syuura bainahum (dan urusan mereka –umat Islam adalah diselesaikan-  dengan musyarwarah di antara mereka).

Karena Sy. Abu Bakar berinisiatif mengambil-alih kepemimpinan shalat yang diketahui dan ternyata direstui oleh Nabi SAW,  maka hal itu dijadikan acuan / tanda-tanda arahan dari Nabi SAW bahwa beliau SAW ridla Sy. Abu Bakar dijadikan pimpinan urusan dunia maupun akhirat bagi umat Islam.

Isyarat Nabi SAW itu pun direspon positif oleh para shahabat dalam musyawarah, hingga mereka secara aklamasi memilih Sy. Abu Bakar sebagai khalifah pertama pengganti Nabi SAW.

Sedangkan apa yang dilakukan oleh Khalifah Sy. Abu Bakar sebelum beliau wafat, yaitu menulis wasiat dengan menyebut nama Sy. Umar bin Khatthab sebagai khalifah penggantinya, maka wasiat itu  juga bersifat arahan bagi para shahabat ahlul halli wal aqdi (ahli musyawarah), dan ternyata ahlul halli wal aqdi (yang mana Sy. Ali bin Abi Thalib termasuk di dalamnya) secara aklamasi memilih figur arahan dari Sy. Abu Bakar tersebut, dengan menunjuk Sy. Umar bin Khatthab sebagai khalifah pengganti berikutnya.

Demikian ini tentunya adalah hal yang wajar terjadi di dalam sebuah pemerintahan yang pemimpinnya adalah seorang yang bijak dan dicintai oleh rakyatnya. Karena dalam Islam diajarkan musyawarah untuk mencapai kesepakatan, bukan menggunakan sistem voting ala demokrasi ciptaan Barat.

Lantas bagaimana dengan sabda Nabi SAW tentang figur Sy. Ali bin Abi Thalib yang diklaim kaum Syiah sebagai satu satunya orang yang mendapat wasiat dari Nabi SAW untuk menggantikannya sebagai khalifah pasca beliau SAW wafat, dengan berdalil sabda Nabi SAW : man kuntu maulaahu fa ‘ali maulaahu (Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin, maka Ali juga sebagai pemimpinnya)?

Perlu diingat bahwa semua umat Islam yang beraqidah Ahlus sunnah wal jamaah, tidak ada satupun yang mengingkari kepemimpinan Sy. Ali bin Abi Thalib dan keteladanannya bagi umat Islam. Namun bukan berarti beliau adalah satu-satunya kandidat yang sah menjadi khalifah pertama bagi umat Islam pasca wafat Nabi SAW. Sedangkan arti `pemimpin` itu sendiri sangatlah luas. Seperti contoh bahwa Sy. Khalid bin Walid juga adalah seorang pemimpin di kala itu, yaitu pimpinan pasukan perang.

Sy. Hasan bin Ali juga. mendapat julukan dari Nabi SAW sebagai sayyidu syabaabi ahlil jannah (pimpinan pemuda calon penduduk sorga). 

Banyak sekali sifat-sifat keistimewaan pada diri para shahabat yang direkomendasi oleh Nabi SAW, yang pantas disebut sebagai pemimpin umat Islam dan sifat keteladanan bagi mereka.

Anas meriwayatkan dari Sy. Abu Bakar bahwa ia berkata : Saya pernah berkata kepada Nabi SAW ketika kami berdua berada dalam gua: `Sekiranya salah seorang melihat ke arah telapak kakinya pasti dapat melihat kita!`. Beliau SWA bersabda : Bagaimana perkiraanmu wahai Abu Bakar jika ada dua orang sedang Allah yang ketiganya. (H.R Bukhari dan Muslim).

Jubair bin Mu’thim meriwayatkan : Seorang wanita datang menemui Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW menyuruhnya agar datang di lain hari. Wanita itu bertanya : “Bagaimana jika nantinya aku tidak menemuimu lagi ?” Maksudnya bagaimana bila beliau telah wafat? Nabi SAW menjawab : Jika engkau tidak menemuiku maka temuilah Abu Bakar (HR. Bukhari dan Muslim).

Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan Sy. Abu Bakar adalah hadits : “Andaikata aku akan mengangkat seorang khalil (kekasih) dari umatku niscaya aku angkat Abu Bakar, tetapi cukuplah sebagai saudara dan sahabatku. Sungguh Allah telah mengangkat sahabat kalian ini (maksudnya diri beliau SAW sendiri) menjadi khalil-Nya. (H.R Bukhari - Muslim)

Dari St. Aisyah , dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Pada umat-umat terdahulu ada beberapa orang reformis. Kalau reformis itu ada didalam umatku, maka Umar adalah orangnya.” (HR. Bukhari - Muslim)

Dari Sa`ad bin Abi Waqqash, dari Nabi SAW bahwa beliau pernah bersabda kepada Umar, ”Demi Dzat yang menguasai jiwaku, tidak akan ada syetan yang bertemu denganmu disebuah jalan, kecuali dia akan memilih jalan lain yang tidak kamu lewati”. (HR. Bukhari-Muslim).

Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, ”Aku bermimpi melihat orang-orang tengah berkumpul di sebuah dataran tinggi. Lalu Abu Bakar menarik satu atau dua timba besar berisi air. Ternyata, tarikannya ada yang tidak begitu kuat. Semoga Allah memberikan ampunan kepadanya. Kemudian Umar yang mengambil alih tarikan tersebut dengan begitu sigap dan kuat. Aku belum pernah melihat orang yang sesigap Umar, sehingga dia bisa membuat orang-orang memberi minum hewannya sampai puas. (Hadits ini disepakati shahih). Tafsir mimpi ini adalah seputar kekhilafahan yang dipimpin oleh kedua orang shahabat tersebut.

Dari Abdullah bin Umar ra, dia berkata, Nabi SAW, menyampaikan hadits dengan bersabda sebagai berikut, ”Ketika aku sedang tidur, aku bermimpi diberi segelas air. Lalu aku meminumnya sehingga sekujur tubuhku menjadi lega. Kemudian aku memberikan sisa air minum itu kepada Umar`. Para Sahabat bertanya, `Bagaimana engkau menakwilkan mimpi itu, wahai Nabi?` Nabi menjawab, `(Takwilan untuk air yang aku berikan kepada Umar) adalah ilmu pengetahuan`.” (Hadits ini disepakati shahih)

Hadis riwayat Ali ra.:  Ibnu Abbas ra. berkata: Jasad Umar bin Khathab ra. dibaringkan di atas tempat tidurnya kemudian orang-orang mengerumuninya, mereka mendoakan, memuji dan menyalatkan sebelum diangkat (ke kuburnya) dan aku berada di antara mereka. Kemudian dia melanjutkan: Tidak ada yang menarik perhatianku kecuali dengan seorang lelaki yang menarik pundakku dari belakang, maka aku pun menoleh ke arahnya, ternyata dia adalah Ali yang turut berduka cita atas meninggalnya Umar. Kemudian dia (Ali) berkata: Tidak ada orang yang lebih aku sukai ketika berjumpa dengan Allah dengan seperti amal perbuatannya daripada engkau, mudah-mudahan Allah menempatkanmu bersama dua orang shahabatmu. Dalam hal ini aku sering mendengar Nabi SAW bersabda: Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk surga bersama Abu Bakar dan Umar, dan aku pun keluar bersama Abu Bakar dan Umar. Sungguh aku berharap semoga Allah berkenan mempertemukanmu dengan mereka. (Shahih Muslim No.4402)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra., dia berkata, Nabi SAW bersabda: ”Wahai Ibnul Khaththab, demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan Nya, sekali-sekali syetan tidak akan melalui suatu jalan yang akan engkau lewati.”

Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: ”Di antara umat-umat sebelum kamu ada orang-orang yang muhaddats (mendapat ilham), jika orang tersebut ada pada umatku, pasti dia adalah ’Umar.” (HR. Bukhari)

Dari Ibnu ’Umar ra. bahwa Nabi SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran di lidah dan hati ’Umar.” (HR. Tirmidzi)

Imam Tirmidzi dan Al-Hakim –dia menyatakan bahwa riwayat ini shahih– meriwayatkan dari ’Uqbah bin Amir dia berkata, Nabi SAW bersabda: ”Andaikata setelah aku ada nabi pastilah dia ’Umar.”

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Dia berkata: Nabi SAW bersabda:
”Tidak ada satu malaikat pun di langit yang tidak menghormati ’Umar, dan tidak ada satu syetan pun yang ada di atas bumi kecuali dia akan takut kepada Umar.”

Diriwayayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Nabi SAW bersabda :
”Tatkala aku tidur, aku bermimpi minum susu hingga saku melihat dalam mimpiku air mengalir dari kuku-kukuku, lalu aku minumkan air itu kepada ’Umar.” Para sahabat ra. bertanya: ”Apa takwilnya, wahai Nabi?” Nabi SAW menjawab: ”Ilmu.”

Imam Bukhari meriwayatkan dari ’Umar ra, beliau berkata: ”Pendapatku bersesuaian dengan Kehendak Allah dalam tiga hal: Pertama, aku pernah berkata kepada Nabi SAW, andaikata kita menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Lalu turunlah ayat Allah yang artinya:
”…dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat….” (QS. Al-Baqarah : 125)
Maqam Ibrahim adalah tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. diwaktu membuat Ka’bah.
Kedua, aku katakan kepada Nabi, Yaa Nabi, orang yang baik dan buruk perangainya masuk ke dalam rumah isteri-isterimu, alangkah baiknya jika engkau perintahkan mereka untuk berhijab. Kemudian turunlah ayat hijab. Yang ketiga, saat para isteri Nabi SAW berkumpul karena dilandasi rasa cemburu, aku katakan semoga Allah menceraikan kalian semua dan Allah menggantinya dengan isteri-isteri yang lain yang lebih baik dari kalian. Lalu turunlah firman Allah tentang hal (teguran terhadap mereka) ini.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam tafsirnya dari Anas, ia berkata: ’Umar berkata: ”Aku melakukan empat hal yang sesuai dengan kehendak Allah.

Tatkala turun ayat yang artinya:
”Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (QS. Al-Mu’minun : 12). Aku katakan: ”Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik,” maka turunlah ayat yang artinya: “…Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Q. S. Al-Mu’minun : 14)

Dari St. Aisyah Ummul mukminin radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi SAW pernah duduk dengan kondisi betis beliau terbuka. Lalu Abu Bakar memohon izin untuk masuk dan Nabi tetap dalam kondisi semula. Kemudian Umar memohon izin untuk masuk sedangkan Nabi SAW masih dalam kondisi seperti sedia kala. Namun ketika Utsman memohon izin untuk masuk, maka beliau segera menggeraikan pakaiannya. Ketika mereka semua berdiri, maka aku berkata, “Wahai Nabi, ketika tadi Abu Bakar dan Umar memohon izin untuk masuk menjumpaimu, engkau telah mengizinkan keduanya dimana engkau tetap dalam posisi semula. Namun ketika Utsman yang memohon izin, maka engkau menggeraikan pakaianmu”. Nabi SAW bersabda, “Wahai Aisyah, apakah aku tidak merasa malu kepada seorang laki-laki dimana Allah dan para malaikat-Nya juga merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim).

Ibnu ‘Asakir dan yang lainnya menjelaskan dalam kitab “Fadhailus shahabah” bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Utsman, maka beliau menjawab,” Utsman itu seorang yang memiliki kedudukan yang terhormat yang dipanggil dengan Dzun nuraini (pemilik dua cahaya), dimana Nabi SAW menikahkannya dengan kedua putrinya.

Demikianlah sejumlah nama para shahabat yang mendapatkan pujian langsung dari Nabi SAW, dan masih banyak nama-nama lain yang mendapat pujian Nabi SAW, namun belum tersampaikan dalam risalah singkat ini.

 Tapi, baik itu pujian Nabi SAW terhadap Sy. Ali bin Abi Thalib, atau terhadap Sy. Hasan bin Ali, Sy. Umar bin Khatthab, Sy, Utsman bin Affan, dan para shahabat lainnya, bukan berarti secara otomatis mereka mendapat wasiat langsung sebagai khalifah pasca Nabi SAW wafat. Namun urusan kekhalifahan itu adalah wa amruhum syuura bainahum (perkara mereka dalam urusan pemerintahan itu adalah musyawarah di antar mereka).


sumber http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=413

Tidak ada komentar:

Posting Komentar