Minggu, 22 Desember 2013

dialog sunni versus syiah


DIALOG SUNNI VERSUS SYIAH 

Luthfi Bashori


Ramadhan 1434, pada hari pertama, tiba-tiba masuk SMS dari penganut Syiah yang mengatasnamakan ingin bertanya, maka terjadilah dialog sebagai berikut:

SYIAH : Saya Murtadho, aslm, apa benar tlp ust, lutfi bashori, sy liat di twiter, sy ingin tanya ttg syiah, apa boleh trims.

SUNNI : Benar saya Luthfi Bashori, bisa tanya lewat SMS atau kunjungi situs saya www.pejuangislam.com, banyak pengunjung yg bertanya lewat situs. Mudah2an saya bisa bantu.

SYIAH : Yaa trims Ustad, sy ingin tanya 1 aja, kesesatan syiah menurut alquran, surat apa ayat berapa trims.

SUNNI : Bukan begitu cara bertanya, karena tatkala Alquran turun dg sempurna, aliran Syiah belum muncul. Syiah muncul setelah Nabi SAW wafat, kemudian diganti oleh Khalifah Abu Bakar hingga wafat, kemudian diganti Khalifah Umar hingga wafat, kemudian diganti Khalifah Utsman hingga wafat, kemudian diganti Khalifah Ali. Nah, di saat Khalifah Ali inilah aliran Syiah baru muncul. Jadi Syiah tdk disebutkan dlm Alquran.

SYIAH : Menurut ust, apa ada Nash pengangkatan khalifah yg 3 selain Ali?

SUNNI : Baik Sy. Ali maupun 3 khalifah sebelumnya tdk ada Nash-nya. Kecuali pendapat syiah saja yg mengklaim bahwa ada Nash unt Sy. Ali, dan itu adalah kebohongan Syiah.

SYIAH : Di saat turun Almaidah 67, maksudnya apa ust. Tks.

SUNNI : Ayat itu tidak membahas kepemimpinan pasca Nabi wafat. Tapi perintah Allah agar Nabi SAW menyampaikan ajaran Islam. Kepemimpinan Islam itu bukan urusan aqidah ketauhidan, tapi urusan syariat amaliah. Kalau ingin tahu kesesatan Syiah, baca kitab KECUALI ALI terbitan Alhuda Jakarta th 2009, hal 22, paragraf 3, menurut klaim Syiah : Imam Shadiq menafsiri ayat yang artinya: Segala sesuatu itu akan musnah kecuali wajah Allah.., ia berkata: yg dimaksud Wajah Allah dalam ayat ini adalah Ali bin Abi Thalib...! Aqidah Syiah Indonesia ini sama dg aqidah kaum Nasrani yg meyakini : Yesus adalah Tuhan dan Tuhan adalah Yesus. Syiah Indonesia juga meyakini: Allah adalah Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Abi Thalib adalah Allah. (maaf, saya lagi puasa Ramadhan, mau siap sunnah takjil mengikuti agama Islam, saya tidak ikut ajaran agama Syiah)

SYIAH : Selamat berbuka ust, nanti bisa dilanjut lagi, afwan.

SUNNI : Terima kasih. Sekalian mau Tarawih dulu trus mengajar para santri. Sekedar diingat: Mengapa agama Islam itu beda agama dg Budha? Karena kitab sucinya berbeda. Kitab Suci Umat Islam adalah Alquran yg berhasil dikumpulkan dan dibukukan dg sempurna oleh Sy. Utsman bin Affan, khalifah ke 3 dalam Islam. Sedangkan kitab suci agama Budha adalah Weda. Jadi, karena perbedaan kitab suci dari keduanya itu maka: ISLAM dan BUDHA adalah DUA AGAMA YANG BERBEDA.

SYIAH : Trims ust.

SUNNI : Nyela-nyelai sebelum mengajar. Dalam buku rujukan utama Syiah, yaitu Alkaafi, karangan Alkulaini, juz 1 halaman 228 disebutkan: Tidak seorang pun yg mendakwakan diri (mengaku) telah mengumpulkan Alquran dg sempurna sebagaimana yg diturunkan, kecuali ia adalah pembohong, dan tidak seorang pun yg mampu mengumpulkan dan menghafalkan Alquran secara sempurna kecuali Ali bin Abi Thalib... ! Pernyataan Syiah ini artinya bahwa Sy. Utsman khalifah ke 3 itu dituduh sebagai pembohong, krn beliau telah mengumpulkan Alquran, bahkan umat Islam memberi istilah terhadap Kitab Suci yg beredar di kalangan umat Islam itu dg nama Alquran Mushaf Utsmani (yg dikumpulkan dan dibukukan oleh Sy. Utsman). Jadi, Syiah mengingkari kesempurnaan dan kemurnian serta kesucian Kitab Suci Alquran milik umat Islam seluruh dunia. Keingkaran Syiah terhadap kemurnian Alquran kitab suci umat Islam ini tercetus pula dalam kitab panduan Syiah yang berjudul: Fashlul khithaab fii tahriifi kitaabi rabbil arbaab (Kata Kepastian Adanya Perubahan Pada Kitab Allah/Alquran). Saya punya kitab Syiah ini. Nah, kalau Syiah sudah mengingkari kemurnian Kitab Suci Alquran milik umat Islam, jadi apakah Syiah masih termasuk Islam ? Gimana pendapat akhi ? Makasih.

SYIAH : Alkafi belum tentu benar sbb itu karangan manusia, dan nggak ada yg bisa ngerubah Alqur`an, Allah yg menjaganya,

SUNNI : Alhamdulillah akhi sudah faham kalau kitab Alkaafi karangan Tokoh Syiah Iran itu tidak benar dan banyak kebohongannya. Makanya kesesatan Syiah Indonesia semakin nyata. Krn dlm buku Dialog Sunnah Syiah yg terbit th 1983/penerbit Mizan dg tujuan Syiahisasi Indonesia (saya menyimpan naskahnya) disebutkan pada Muqaddimah paragraf terakhir sbb: {Yg terbaik di antaranya ialah empat buah kitab yg menjadi buku-buku pegangan kaum Imamiyah, dlm ushul dan furu`, semenjak generasi-generasi pertama sampai dg masa kita skrg ini, yaitu Alkaafi, Attahdzib, Al-istibshar dan Man laa yahdzuruhul faqih. Kitab2 ini telah sampai kpd kita dg cara MUTAWATIR, sedangkan ISI kandungannya adalah SHAHIH dan BISA DIPERTANGGUNGJAWABKAN TANPA KERAGUAN SEDIKITPUN. Di antara keempatnya, maka kitab ALKAAFI adalah yg paling dahulu, paling besar dan paling rapi, di dalamnya terdapat 16.199 hadits}.

Jadi, di antara pengikut Syiah sudah saling kontradiksi. Maklumlah kalau ajarannya bukan dari Allah maka akan terjadi kontradiksi. Alquran mengatakan: Lau kaana min `indi ghairillahi lawajaduu fiihi ikhthilaafan katsiiran (kalau datangnya bukan dari Allah, maka pasti banyak terjadi kontradiksi). Tadi, akhi bilang bahwa kitab Alkaafi belum tentu benar. Padahal pengarangnya menjamin kebenaran isinya. Kira-kira akhi tetap meyakini pemahaman akhi sendiri bahwa Alkaafi belum tentu benar, atau akhi ikut meyakini pengakuan Alkulaini tokoh Syiah pengarang Alkaafi yg menjamin kebenaran isi Alkaafi?

SYIAH : Ust, afwan ada hadist yg menyatakan bakdar rasul ada 12 pemimpin dan semua ulama ahlussunah menerima keshahihan hadst ini, siapa saja itu ustadz.

SUNNI : Sy. Abu Bakar dari Quraisy. Sy. Umar dari Quraisy. Sy. Utsman dari Quraisy. Sy. Ali dari Quraisy. Sy. Hasan dari Quraisy. Bahkan Muawiyah pun dari suku Quraisy, dan banyak bangsa Quraisy yg layak jadi pemimpin umat. Nabi SAW tdk pernah menyebutkan secara langsung siapa saja nama-namanya. Hanya Syiah saja yang berasumsi sendiri dengan mengisi nama-nama 12 Imam, dan nama-nama itu bukan tunjukan Nabi SAW.

SYIAH : Alkafi mengatakan (tidak semuanya benar) silahkan teliti dan dia mengakuinya, yg benar cuma Alqur`an, yg Allah menjaminnya.

SUNNI : Loh sudah jelas, pengarang Alkaafi mengakui keshahihan isinya bahkan mencapai derajat MUTAWATIR, mengapa harus repot-repot menelitinya, emangnya kurang kerjaan meneliti karangan PENDUSTA dan PEMBOHONG AGAMA? Akhi di pihak Syiah ya ?

SYIAH : Ust, apa antum percaya hadist tsaqalain, yg diriwytkn 35 shbt nabi, dan sesuai dgn Alquran,

SUNNI : Akhi belum menjawab pertanyaan saya: Lebih percaya mana akhi dg keyakinan akhi sendiri yg akhi katakan bahwa Alkaafi tidak benar, sedang pengarangnya menjamin semua isinya pasti benar ? Aneh, pernyataan akhi ini kontradiksi dg Alkulaini pengarang Alkaafi kitab pegangan orang Syiah Indonesia terbitan Mizan.

SYIAH : Alkafi tidak benar semua, yg benar Allah arrasul dan ahlulbaitnya, nggak percaya celaka, sy jamin anda pun celaka. .

SUNNI : Bagus, berarti akhi sepakat, bahwa Alkulaini tokoh rujukannya Khomeini itu adalah Pendusta dan Pembohong. Jadi untuk menvonis Syiah Sesat, cukup dg membongkar aqidahnya, antara lain:
(a). Buku KECUALI ALI karangan tokoh Syiah mengatakan: Segala sesuatu itu akan rusak kecuali wajah Allah, dan wajah Allah menurut Syiah adalag Ali bin Abi Thalib. Ini jelas perkataan Murtad dan Syirik dari penganut Syiah.
(b). Buku Alkaafi yang isinya mengingkari kemurnian Alquran mushaf Ustmani kitab suci umat Islam.
(c). Buku Fashlul Khithaab Fii Tahriifi kitaabi rabbil arbaab, karangan tokoh Syiah, Husain Muhammad Taqyun Nuur Atthabarsi yg mengingkari kemurnian Alquran kitab suci umat Islam. Seperti yang saya katakan : Mengapa Islam dan Budha adalah Dua Agama yg Berbeda? Karena kitab sucinya berbeda. Demikian juga, mengapa Islam dan Syiah adalah Dua Agama yg Berbeda? Karena Kitab sucinya berbeda. Islam meyakini Kemurnian Alquran yg dikumpulkan dan dibukukan oleh Sy. Utsman, sedang Syiah mengingkari kemurniannya. Yaa sudah jelas SYIAH ADALAH AGAMA TERSENDIRI DI LUAR ISLAM.

SYIAH : Attabrani dlm kitab Alkabir isnadnya Ibnu Abbas, arrasul saw, tek sebagian: falyuwali aliyan min bakdi, hendaklah ia mengangkat Ali sbg pemimpin sepeninggalku, kalau ingin dpt syafaat, afwan.

SUNNI : Nukilan dari Atthabrani itu sudah direvisi oleh Syiah dan disesuaikan dg keyakinannya, jangankan terhadap karangan Imam Atthabrani, Lah terhadap Alquran saja Syiah berani merevisinya, karena Syiah tdk pernah takut berbohong kepada siapapun, seperti yg dilakukan oleh Alkulaini menurut pengakuan akhi.

SYIAH : Anda bingung, Syiah itu firqah agama, itu islam, antum baca Al a`raf .181, anda akan tau kebenaran.

SUNNI : Nah ketahuan kan kalau anda adalah Syi`i, kenapa tidak mengaku dari tadi-tadi. Biar anda tahu, Alhamdulillah, MUI JATIM sudah menfatwa Syiah (termasuk anda) adalah Sesat sesesat-sesatnya. Anda buka Youtube dg judul REPUBLIK MAJUSI IRAN, biar anda tidak bingung, dan biar anda tahu jati diri anda yang sebenarnya.

SYIAH : MUI dan anda bertaubatlah, Allah di dalam kitab-Nya surat Annisa, 115: Yang tidak mengikut sabilil mukminin (ahlul bait), pasti ke JAHANNAM, selagi ada waktu.

SUNNI : Kaum Imamiyah itu non muslim. Hb. Salim Bin Jindan, lahir th 1324 H, mufti Indonesia pada jamannya, pengarang kitab Arra`atul Ghamidhah, beliau sudah menghukumi bahwa Syiah Imamiyah adalah bukan Islam, tapi Non Muslim yg perlu diperangi. Berbahagialah warga Madura yg sudah berjihad mengusir Tajul Muluk Pimpinan Syiah Sampang dari Madura. Bravo warga Madura.

SYIAH : Kok kayak anak-anak, tambah malam, bicaranya cari anak TKa aja daa! Mohon sadar demi kebaikan anda sendiri sebarkan kebenaran, kita bersaudara, kecuali anda WAHABI TAKFIRI SALAFI,

SUNNI : Anda menuduh Hb. Salim bin Jindan kayak anak-anak, berarti anda tidak mengenal Ahlul Bait yg sesungguhnya. Anda hanya ikut-ikutan kaum awwam saja rupanya. Anda perlu buka situs saya www.pejuangislam.com NU GARIS LURUS. Lawan utama saya ada tiga kelompok ALIRAN SESAT hasil impor dari luar negeri : Syiah dari Iran. Wahhabi dari Saudi. JIL dari Barat.

SYIAH : Habib Salim nggak bisa di tanya, udah dikubur, jadi anda harus banyak belajar, oke jangan seperti anak kecil kalau bicara.

SUNNI : (Ha ha ha, inilah jawaban paling ilmiah dari anda).





Tanggapan :



2.
Pengirim: Abu Raihan  - Kota: Palangkaraya

Bismillahirrohmanirrohiim,
Mojon ijin Kyai, ternyata syiah juga memakai dalil Al Qur'an dan Al Hadist,
Disinilah kita dapat mengambil hikmah, bahwa "tidak semua yang berdasarkan dalil dari Al Quran dan Al hadist adalah merupakan kebenaran, tetapi HARUSLAH berdasarkan Al Qur'an dan Al Hadist berdasarkan pemahaman para shalafushsholih". Seperti syiah ternyata memahami Al Qur'an dengan ro'yu nya, begitu juga ahmadiah memahami "Muhammad adalah penutup para Nabi" adalah Muhammad itu perhiasan/ cincinnya para Nabi. Maka SESATLAH SYIA'H, maka SESATLAH AHMADIAH. Wallohu a'lam. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
1. Tolong artikel kami ini jangan didramatisir...! Pendapat akhi ini tentunya tidak mutlak kebenarannya. Syiah sesat juga karena mengingkari kemurnian Alquran, serta memahami ayat Alquran dengan pendapat pribadi yang bertentangan dengan aqidah Islamiah, lantaran pendapat Syiah itu tanpa didasari dalil-dalil syar'i lainnya.

2. Namun, jika setiap pendapat pribadi itu akhi hukumi pasti sesat, maka pendapat Imam 4 Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) termasuk juga yang akhi hukumi sesat, demikian juga tentunya dengan pendapat-pendapat ulama setelahnya, termasuk juga semua pendapatnya Ibnu Taimiyah pasti sesat. Apa begitu menurut akhi?

Yang benar itu adalah : Ijtihad (pendapat pribadi) para ulama ahli ijtihad yang telah memenuhi syarat-syaratnya, boleh dijadikan hukum syariat, karena dalam ijtihad mereka tetap mengacu pada kontekstual Alquran dan Hadits.

Tolong akhi jawab dengan baik. Syukran.

4.
Pengirim: Abu Raihan  - Kota: Palangkaraya

Bismillahirrohmanirrohiim,
Benar Kyai, mungkin ada miss persepsi disini. Pendapat (pribadi?) yang bersesuaian dengan dalil (Al Quran dan Al hadist) adalah benar. Disini saya memahami bahwa apabila seorang ulama berpendapat atas sesuatu hal seperti diatas maka ulama tersebut berpendapat berdasarkan dalil.
Namun demikian apabila Al Qur'an dan Al Hadist ditafsirkan dengan akalnya, sekedar untuk dicocok-cocokkan dengan keperluannya, maka sesatlah ia. Seperti dalam dialog tersebut, berikut beberapa nukilan dari si - syi'ah : "Di saat turun Almaidah 67, maksudnya apa ust";
"Ust, afwan ada hadist yg menyatakan bakdar rasul ada 12 pemimpin dan semua ulama ahlussunah menerima keshahihan hadst ini, siapa saja itu ustadz";
"Anda bingung, Syiah itu firqah agama, itu islam, antum baca Al a`raf .181, anda akan tau kebenaran".
Ucapan si - syi'ah tersebut membawakan dalil Al Qur'an dan Hadist, tetapi ditafsirkan sesuai keinginan syi'ah, dia menafsirkan dengan akalnya. Apabila ditafsirkan sebagaimana para Sahabat memahaminya maka pastilah kebenaran yang didapat. Inilah yang saya maksudkan.  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kalau itu yang akhi maksud, maka benarlah apa yang akhi katakan, bahkan Nabi SAW telah mengancam orang-orang yang menafsiri Alquran dengan akal pikirannya sendiri, tanpa dilandasi ilmu-ilmu syariat yg terkait, maka orang-orang itu telah dipersiapkan tempat duduknya di neraka.

Umat Islam boleh beda pendapat dalam masalah furu'iyah, seperti kami meyakini disunnahkannya Tahlilan untuk mayit, karena pendapat kami didasari dalil syar'i hadits Nabi SAW: Iqra-uu yaasiin 'alaa mautaakum (Bacakanlah surat Yasin untuk mayit kalian), sekalipun ada kelompok lain yang tidak mau mengamalkan perintah Nabi SAW ini. Perbedaan urusan sunnah semacam ini bukan perbedaan ketauhidan yg dapat mengeluarkan seseorang dari agama Islam.

Tapi, karena perbedaan Sunni dan Syiah adalah perbedaan aqidah ketauhidan, maka tidak bisa ditolelir lagi, dan yang jelas Syiah menjadi agama tersendiri di luar Islam.

Demikian juga kalau ada kelompok yang meyakini bahwa Allah itu sama dengan makhluq yang memiliki tubuh/jasad, dan menyakini tubuh Allah saat ini sedang duduk beristirahat nyantai di kursi di atas langit, kadang-kadang tubuh Allah berjalan dengan kaki-Nya menuju Arsy, kadang-kadang tubuh Allah turun ke bumi untuk mengawal dan menyertai para hamba-Nya (fa huwa ma'akum ainamaa kuntum) yang diartikan: dan Dia (Tubuh Allah) itu sedang berada bersama/menyertai kalian, dimana saja kalian berada...! Maka kelompok ini jelas-jelas berbeda aqidah ketauhidannya dengan kami.

Kelompok Syiah dan kaum Mujassimah itu sama-sama Aliran Sesat dan menyesatkan. Tentunya kami dan umat Islam Indonesia menolak keberadaan mereka.

7.
Pengirim: inisperdian  - Kota: cianjur

Kita smua ,,,jgn salinng mnyalahkan,,,,aqidah kita sam...
Jgn mau d adu domba nasranii kafirrrrr 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Hanya orang yang belum pernah belajar agama Islam dg baik dan benar saja yang mengatakan: Aqidah Sunni itu sama dg aqidah Syiah. Namun bagi kalangan Ahli Imu Agama Islam sudah sangat tahu jika Syiah Imamiyah (Iran) adalah AGAMA TERSENDIRI DI LUAR ISLAM. Karena pemahaman yg benar seperti inilah maka MUI JATIM mengeluarkan FATWA RESMI tentang SYIAH ADALAH ALIRAN SESAT.

8.
Pengirim: ahmad  - Kota: jakpus

salam uts......
terlepas suni atau syiah..
sebelumnya af1. Yg menjdi tanda tanya dn blm dpt jwban meyakinkan.
knapa nabi meninggalkan bgitu banyak PR...(yg ana maksud. knapa PEMBUKUAN +PENAFSIRAN KITAB ALQURAN TDK DILAKUKAN SMASA NABI SAW MASIH ADA? jika saja oleh nabi gk mungkin oleh yg lainya yg mengakibatkan perselisihan. bukankah ini menunjukan belum selesainya pekerjaan nabi yg bertentangan dg ayat almaidah@ Alyauma akmaltu....dst.
itu saja dulu. ...sukron
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
1. Nabi SAW tidak meninggalkan banyak PR yg berat bagi umat, seperti persepsi akhi itu. Nabi SAW hanya menjalankan tugas sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada beliau SAW untuk disampaikan kepada umat. Wa maa 'alar rasuuli illal balaagh (Tidak ada tugas bagi seorang Rasul itu kecuali hanyalah untuk menyampaikan wahyu).

2. Yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat itu adalah karena kadar tingkat pemahaman (IQ) dan kadar keimanan setiap orang itulah yang berrbeda-beda.
3. Seluruh ulama Aswaja yang jumlahnya jutaan orang sebagai penghuni mayoritas di dunia Islam ini tidak ada yang berbeda dalam memahami aqidah Ahlus sunnah wal jamaah yang sesuai petunjuk Alquran, Hadits, Ijma dan Qiyas. Namun dengan bermunculannya aliran-aliran baru di kalangan umat Islam yang jumlah pengikutnya kecil-kecil (minoritas diikuti umat), maka pendapat mereka inilah yang banyak menyelisishi pemahaman para ulama maintstream.

Apakah karena timbulnya aliran-aliran yang baru muncul belakangan dan rajin mengilklankan diri karena memilliki dana penyokong yang kuat (ibarat partai baru dalam dunia politik yang gencar mempromosiskan diri), lantas akhi berani 'menyalahkan' Nabi Muhammad SAW ?

Coba akhi pikirkan, jika akhi bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji besar dan mapan untuk setiap karyawannya di setiap bagian. Perusahaan juga menerapkan sistem dan aturan yang sudah saling menguntungkan antara pihak perusahaan dan seluruh pegawai, hingga tidak ada sedikitpun gejolak apalagi untuk dipermasalahkan.

Tiba-tiba ada pegawai baru, yang mempunyai keinginan dan mimpi-mimpi baru sesuai dengan kepentingan pribadinya sendiri, yang sangat berbeda dengan harapan seluruh karyawan yang ada. Bahkan langkah-langkah yang diambil oleh pendatang baru itu banyak menimbulkan gejolak yang tidak nyaman bagi semua pihak, misalnya dapat menyebabkan kerugian bagi pperusahaan, hingga terpaksa pihak perusahaan harus mengurangi nominal gaji seluruh karyawannya karena ulah negatif si pegawai baru ini.

Jika akhi mendapatkan kondisi seperti ini, apakah dengan serta merta akhi menyalahkan pihak perusahaan yang selama ini dapat menjamin kenyamanan hidup seluruh pagawai yang saling menguntungkan itu, atau akhi akan 'memproses' pegawai baru yang tidak tahu diri itu, apalagi jika akhi tahu kalau cara kerja si pegawai baru ini ternyata selalu memaksakan kehendaknya yang 'abnormal' sehingga perusahaan mengalami kerugian?

Demikian juga dengan perilaku aliran-aliran sesat yang baru bermunculan yang kerjaannya menimbulkan keresahan mayoritas umat Islam dengan memaksakan ajaran-ajaran sesatnya, hingga akhi pun terpengaruh dan berani 'menyalahkan' Nabi Muhammad SAW yang selama ini memberikan kenyamanan hati dengan mengimani kerasulan beliau SAW.

Na'udzubillahi min dzaalik. Semoga Allah mengampuni kesalahpahaman ini.

9.
Pengirim: jauzy  - Kota: makassar

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah di tanya :

"Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ . ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

"Man Sanna Fi Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha..dst dst"

artinya :
"Siapa yang memulai membuat contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.

Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

"Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Kullu bid'atin dhalaalah".

[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin] Kemudian,
Adapun perkara pembagian bid'ah menjadi lima sebagaimana yg mereka (ahlul bid'ah) pegang, mereka sandarkan kepada Al ‘Iz-bin Abdus Salam rahimahullah yang membagi bid’ah menjadi lima :

Memahami perkataan Al ‘Iz-bin Abdus Salam rahimahullah yang membagi bid’ah menjadi lima

Perkataan Al ‘Iz-bin Abdus Salam rahimahullah tentang “bid-’ah,” bahwa:

“Bid’ah itu terbagi kepada bid’ah yang wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnah bid’ah yang makruh dan bid’ah yang mubah. Dan cara untuk mengetahui hal tersebut, maka bid’ah tersebut harus dikembalikan kepada kaidah-kaidah syari’at. Maka jika bid’ah tersebut masuk dalam kaidah yang wajib, maka itulah yang dinamakan dengan bid’ah wajibah, apabila ia masuk pada kaidah yang haram, maka itulah bid’ah muharramah. Jika ia masuk dalam kaidah sunnah, maka itulah bid’ah mandubah (sunnah) dan jika ia masuk dalam kaidah mubah, maka itulah bidah yang mubah”. [Qawaa’idul Ahkaam, 2/173]

BANTAHAN:

Pertama:
Sesungguhnya kita tidak diperbolehkan untuk memperhadapkan sabda Rasulullah
صلى الله عليه و سلم dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun orangnya. Dan hal ini telah saya peringatkan berulang kali sebelumnya.

Kedua:
Berkata Imam Asy-Syathiby
رحمه الله : “Sesungguhnya pembagian tersebut adalah pembagian yang di ada-adakan, tidak ada satupun dalil syar’i yang mendukungnya, bahkan pembagian itu sendiri saling bertolak belakang, sebab hakikat bid’ah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil yang syar’i, tidak berupa dalil dari nas-nas syar’i, dan juga tidak terdapat dalam kaidah-kaidahnya. Sebab seandainya disana terdapat dalil syar’i tentang wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, niscaya tidak mungkin bid’ah itu ada, dan niscaya amalan tersebut masuk dalam amalan-amalan secara umum yang diperintahkan, atau yang diberikan pilihan. Karena itu maka mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bid’ah, dan antara keberadaan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya, atau bolehnya, maka semua itu merupakan pengumpulan antara dua hal yang saling menafikan”.[Al I’tisham, 1/246]

Ketiga:
Bahwasanya bid’ah yang dimaksudkan oleh Al-’lzz bin Abdus Salam
رحمه الله adalah bid’ah menurut pengertian bahasa, bukan menurut pengertian syara’. Dan yang menunjukan hal tersebut (bahwa ia adalah bid’ah menurut bahasa- pent) adalah contoh-contoh yang dipaparkan terhadap pembagian-pembagian tersebut.

Maka bid’ah yang wajib beliau contohkan dengan menekuni ilmu nahwu yang dengannya firman Allah dan sabda Rasul-Nya
صلى الله عليه و سلم difahami. Apakah kata menekuni ilmu nahwu itu merupakan bid’ah menurut syari’at? Ataukah ia termasuk kepada kaidah yang mengatakan:

ما لا يتمّ الواجب إلا به فهو واجب

“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu tersebut, maka sesuatu itu hukumnya wajib”

Ketahuilah bahwasanya mungkin dapat kita katakan mengenai ilmu nahwu, bahwa ia merupakan bid’ah menurut tinjauan bahasa, akan tetapi hukum-hukum syar’i itu ditetapkan dengan pengertian-pengertian menurut syari’at, bukan dengan menggunakan pengertian-pengertian menurut bahasa.

Sebagai contoh bagi bid’ah yang mandubah (sunnah), beliau mencontohkannya dengan shalat tarawih, pembangunan sekolah-sekolah, dan pembicaraan mengenai tasawwuf yang terpuji. Semua itu bukanlah merupakan bid’ah di dalam agama. Shalat tarawih telah ada contohnya dari perbuatan Nabi
صلى الله عليه و سلم, sebagaimana yang telah kita bicarakan dalam pembahasan tentang syubhat ketiga.

Sedangkan pembangunan sekolah-sekolah adalah wasilah (sarana) untuk menuntut ilmu dan keutamaan ilmu serta mengajarkannya tidak dapat kita pungkiri, serta pembicaraan tentang tasawwuf terpuji telah diketahui sebagai bagian dari nasihat.

Adapun bagi bid’ah yang mubah (boleh), beliau memberikan contoh yang banyak terhadap kelezatan-kelezatan. Dan hal ini bukanlah merupakan bid’ah menurut agama, bahkan jika ia sampai kepada derajat israf (berlebih-lebihan), maka ia termasuk kepada hal yang diharamkan, yang masuk dalam suatu bentuk kemaksiatan, bukan termasuk bid’ah. Dan ada perbedaan antara kemaksiatan dan bid’ah. Imam Asy-Syathibiy telah membahas contoh-contoh tersebut dalam pembahasan yang panjang. [Al I’tisham, 1/246]. Keempat:
Bahwasanya telah ada riwayat mengenai Al-’Izz bin Salam Rahinahullah bahwa beliau adalah orang yang dikenal sebagai pemberantas bid’ah dan orang yang sangat melarang hal tersebut serta mentahdzir (memperingati) dan bahaya bid’ah. Sungguh beliau pernah melarang beberapa hal yang dinamakan oleh ahli bid’ah dengan bid’ah hasanah. Akan kami kemukakan contoh-contohnya kemudian.

Syihabuddin Abu Syaamah -salah seorang murid dari Al-’lzz- berkata: “Beliau adalah orang yang paling berhak menjadi khathib dan imam, beliau telah menyingkirkan banyak bid’ah yang pernah dilakukan oleh para khatib dengan pukulan pedang di atas mimbar, dan lain-lain, beliau pernah mengungkapkan kebathilan dua shalat pada pertengahan bulan sya’ban (nishfu sya’ban), dan beliau melarang keduanya”. [Thabaqaat Asy Syafi’iyyah oleh Imam As Subki, 8/210)]

Dibawah ini akan kami kutip perkataan beliau yang menujukkan bahwa beliau adalah orang yang memerangi dan melarang bid’ah, yang di antaranya adalah apa yang dinamakan orang dengan “bid’ah hasanah”, namun demikian Al-’lzz bin Salam tetap mengingkarinya. Di antaranya adalah:

Bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bersalam-salaman setelah selesai shalat shubuh dan ashar, maka beliaupun berkata :

“Bersalam-salamn setelah shalat subuh dan ashar adalah merupakan salah satu dari bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang yang belum sempat bertemu dan berjabatan tangan dengannya sebelum shalat, sebab bersalam-salaman disyari’atkan oleh agama ketika baru bertemu. Dan adalah Nabi
صلى الله عليه و سلم biasanya setelah shalat berdzikir dengan dzikir-dzikir yang syar’i dan beristighfar 3x kemudian bubar dari shalatnya. Dan diriwayatkan bahwa beliau membaca; (yang artinya:) “Wahai Tuhanku jauhkanlah dari adzab-Mu di hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” Dan segala kebaikan hanyalah dengan mengikuti Rasulullah صلى الله عليه و سلم. [Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam, hal. 46, no. 15, Cet. Daarulbaaz]

Dan beliau juga pernah berkata:

و لا يستحبّ رفع اليدين فى الدعاء إلا فى المواطن الّتى رفع فيها رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يديه و لا يمسح وحهه بيديه عقب الدعاء إلاّ جاهل

“Dan tidaklah disukai (disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika berdo’a, kecuali pada tempat-tempat yang padanya Rasulullah
صلى الله عليه و سلم mengangkat kedua tangannya, dan tidak ada orang yang mengusapkan kedua tangannya kewajahnya setelah berdo’a melainkan orang yang jahil”. [Ibid, hal. 47]

Dan beliau berkata : “Dan tidak disyari’atkan membaca shalawat kepada Rasulullah
صلى الله عليه و سلم dalam do’a Qunut, dan shalawat kepada Nabi صلى الله عليه و سلم tidak boleh ditambah atau dikurangi sedikitpun”[1]

Ketika mengornentari perkataan beliau ini, Syaikh Al-Albany berkata: “Di dalam perkatan beliau ini terdapat isyarat bahwasanya kita tidak memperluas istilah bid’ah hasanah, sebagaimana yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang disaat ini.

Saya (Albani) katakan : “Dari apa yang telah dibahas, maka menjadi jelaslah bahawasanya yang dimaksudkan oleh Ai-’lzz bin Abdus Salam dalam pembagian beliau terhadap bid’ah adalah bid’ah secara bahasa, bukan merupakan pengertian bid’ah menurut agama.”

Disana masih ada lagi nash yang shahih dari beliau mengenai apa yang beliau maksudkan dengan bid’ah hasanah, dimana beliau berkata ketika membantah Ibnu Shalah mengenai shalat ragha’ib: “Kemudian beliau -ibnu Shalah- mengaku bahwasanya shalat ragha’ib itu merupakan bid’ah yang dibuat-buat, maka kami berhujjah kepada beliau kalau begitu dengan sabda Rasulullah
صلى الله عليه و سلم,

و شر الأمور محدثاتها و كلّ بدعة ضلالة

artinya: “Dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat.”

--------------
[1] Mungkin yang beliau maksudkan adalah qunut di shalat subuh, sebab beliau bermadzhab Syafi’i, sedangkan mereka mengatakan bahwa hal tersebut disyari’atkan. Kalau tidak, maka sesungguhnya shalawat dalam do’a qunut pada shalat witir merupakan perbuatan Ubay bin Ka’ab
رضي الله عنه . (Ditakhrij oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya, hal. 1100. Lihat pula Shifat Shalat Nabi صلى الله عليه و سلم oleh Al Albani, hal. 160 pada catatan kaki. Dan telah dikecualikan dalam hadits tersebut bid’ah hasanah dari bid’ah dhalalah, yakni semua bid’ah yang tidak menyelisihi As-Sunnah, bahkan ia sesuai dengan sunnah maka jenis bid’ah yang lain masuk pada keumuman Sabda beliau صلى الله عليه و سلم:

و شر الأمور محدثاتها و كلّ بدعة ضلالة

artinya: “Dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat.”

[Musaajalatu “Amaliyyah Bainal Imaamain Al Jaliilain Al ‘Izz bin Abdissalaam dan Ibnu Shalah, hal. 31]

Di sini kami katakan : Perkara yang ada kesesuaian dengan As-Sunnah, apakah boleh kita katakan sebagai bid’ah menurut agama ? Maka perhatikanlah perkataan Al-’Izz mengenai pengertian bid’ah hasanah, yakni : “Tidak menyelisihi Sunnah, bahkan sejalan dengan As-Sunnah itu sendiri.” !!, maka apa saja yang sesuai dengan As-Sunnah sudah pasti tidak ternasuk dalam kategori bid’ah menurut syari’at, namun terkadang merupakan bid’ah menurut pengertian secara bahasa. Maka sudah sangat jelas apa yang dimaksudkan oleh Al-’Izz dengan bid’ah hasanah, bid’ah wajibah, bid’ah mustahabbah (sunnah) dan bid’ah mubahah (boleh) adalah bid’ah secara makna bahasa. Adapun secara istilah agama, maka semua bid’ah itu sesat. Dan dari sini jelaslah bahwa perkataan bid’ah hasanah dalam agama merupakan salah satu di antara sebab-sebab utama terjadinya pembauran antara makna secara bahasa dan istilah agama terhadap makna bid’ah yang terdapat di dalam atsar-atsar, serta perkataan sebagian ahli ilmu. Maka barangsiapa yang diberi taufiq untuk dapat membedakan antara ini dan itu, maka syubbhat-syubhat tersebut akan hilang dari dirinya dan menjadi jelaslah baginya permasalahan tersebut.

Sumber : http://agussantosa39.wordpress.com/category/syubhat-syubhat-pelaku-bidah-hasanah/memahami-perkataan-al-iz-bin-abdus-salam-
رحمه-الله-yang-membagi-bidah-menjadi-lima/. Semoga Allah meluruskan pemahaman kita. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
PROBLEM AMALAN BID’AH ORANG WAHHABI YANG TIDAK TERURAIKAN OLEH SIAPA PUN TERMASUK OLEH SYEIKH UTSAIMIN SEKALIPUN.
Orang Wahhabi memang tampak aneh bin ajaib, mereka gemar sekali menuduh umat Islam melakukan amal perbuatan yang mereka tuduhkan sebagai Bid’ah dhalalah, seperti saat umat mengadakan pembacaan shalawat keliling, karena berdasarkan dalil ayat perintah bershalawat secara umum .
Bahkan orang Wahhabi berani mengancam umat Islam yang mereka tuduh sebagai pelaku bid’ah sesat itu akan dimasukkan neraka. Tentunya yang dimaksiud Bid’ah oleh orang Wahhabi adalah Bid’ah yang sesuai dengan definisi mereka sendiri, bukan Bid’ah berdasarkan definisi para ulama salaf.
Adapun definisi Bid’ah sesat yang diyakini oleh orang Wahhabi adalah: Segala amal perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW maupun oleh para shahabat secara mutlak maka dinamakan Bid’ah, contohnya Nabi SAW dan para shahabat tidak pernah melakukan pembacaan shalawat keliling.
Intinya orang Wahhabi selalu mengatakan, bahwa hukum semua amal perbuatan itu pada dasarnya adalah dilarang (haram) sehingga ditemukan dalil Alquran maupun Hadits shahih yang memperbolehkannya. Bahkan secara kaku, orang Wahhabi memandang jika ada amalan yang hanya didasari oleh dalil hadits (bukan ayat Alquran), maka hadits yang dapat diterima itu terbatas pada Hadits SHAHIH saja.
Dengan demikian, hampir semua umat Islam di dunia ini tidak ada yang luput dari tuduhan sebagai pelaku bid’ah oleh kaum Wahhabi. Karena orang Wahhabi menganggap bahwa kebanyakan amal perbuatan umat Islam itu tidak didasari dalil secara tekstual (harfi) baik dari Alquran maupun Hadits shahih (tidak dicontohkan secara langsung oleh Nabi SAW)
Orang Wahhabi sering kali menolak dalil kontekstual (ma’nawi) dari Alquran maupun Hadits, jika menghukumi suatu amalan yang dilakukan oleh umat Islam. Misalnya Allah perintah: Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bershalawat dan bersalam kepada Nabi dengan sebenar-benar salam..!
Kemudian umat Islam mengarang redaksi shalawat dengan berbagai macam bentuk kalimatnya dan metode pembacaan, sebut saja shalawat Burdah, shalawat Nariyah, shalawat Alfatih, dan sebagainya. Maka dengan mudahnya orang Wahhabi mengatakan bahwa macam-macam bentuk redaksi shalawat ini adalah Bid’ah, karena Nabi SAW tidak pernah mengajarkan secara langsung redaksi shalawat Burdah, shalawat Nariyah, shalawat Alfatih dan sebagainya, sekalipun shalawat-shalawat ini telah diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia.
Namun runyamnya, di sisi lain orang Wahhabi sendiri ternyata banyak mengamalkan perbuatan Bid’ah yang tidak didasari dalil secara tekstual baik dari Alquran maupun Hadtsi shahih itu sendiri (tidak pernah dicontohkan secara langsung oleh Nabi SAW).
Jadi, pada hakikatnya orang Wahhabi itu kerap melanggar keyakinan yang mereka buat sendiri, sehingga jika diteliti, banyak sekali amalan-amalan mereka yang tidak luput dari perbuatan Bid’ah sesuai dengan definisi mereka itu.
Coba diteliti amalan-amalan yang menjadi keyakinan orang Wahhabi sebagai berikut:
1. Tatkala umat Islam mempertanyakan mengapa orang Wahhabi dewasa ini menggunakan mobil saat bepergian, padahal Nabi SAW dan para Shahabat tidak pernah naik mobil? Maka untuk nge-les (menghindar) dari pertanyaan semacam ini, orang Wahhabi tiba-tiba secara serampangan membagi Bid’ah itu menjadi dua, yaitu Bid’ah Diniyah, seperti Bid’ahnya naik mobil dan Bid’ah Duniawiyah seperti Bid’ahnya shalawat Burdah, shalawat Nariyah, shalawat Alfatih dan sebagainya. Padahal pembagian yang dilakukan oleh orang Wahhabi ini jelas-jelas tidak berdasar satupun dari dalil secara tekstual baik dari Alquran mapun Hadits Shahih. Artinya baik Alquran maupun Hadits tidak pernah membagi Bid’ah menjadi Diniyah dan Duniawiyah.
2. Nabi SAW perintah: Khudzuu ‘anni manaasikakum (Ambillah/contohlah dariku manasik (tata cara haji)-mu (HR. Muslim). Saat itu Nabi SAW pergi haji dari Madinah menuju Makkah adalah dengan naik onta. Jika saja kaum Wahhabi jujur dalam dakwah sesuai yang diyakininya, maka sudah seharusnya mereka juga jika pergi haji adalah dengan naik onta, karena mengikuti sunnah Nabi SAW ini, bukan naik pesawat maupun mobil. Tapi kenyataannya tidak demikian.
3. Orang Wahhabi menyakini bahwa Tauhid itu dibagi menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma wa shifat. Pembagian ini juga tidak bedasar dalil secara tekstual baik dari Alquran maupun Hadits shahih manapun.
4. Kaum Wahhabi selalu mensyaratkan bahwa amalan yang sah menurut syariat itu dalam pandangan mereka, harus didasari oleh Hadits shahih (selain Alquran). Padahal aturan penggunaan Haditsh Shahih ini bukan berasal dari tekstual ayat Alquran maupun Hadits Nabi SAW sendiri. Namun ketentuan itu hanyalah berdasarkan pemahaman orang Wahhabi sendiri.
5. Belum lagi pembagian derajat hadits menjadi Shahih, Hasan dan Dhaif, itu juga hakikatnya tidak berdasarkan tekstual Alquran maupun Hadits Nabi SAW, namun hanyalah hasil ijtihad para ulama ahli Hadits. Anehnya orang Wahhabi terpaksa menerima ijtihad para ulama ini sekalipun bukan berdasarkan dari tekstual dalil.
6. Jika datang bulan Ramadhan, orang Wahhabi Suadi Arabiah mengadakan Shalat Tahajjud berjamaah sebulan suntuk, dengan memilih waktu khusus di bulan Ramadhan (dari awwal hingga akhir bulan Ramadhan) seperti yang dilakukan di Masjidil Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah dan diimami oleh tokoh-tokoh Wahhabi. Tradisi tata cara amalan berjamaah Tahajjud sebulan suntuk yang dikhususkan pada bulan Ramadhan ini jelas-jelas tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW.
7. Bilal Shalat Tahajjudnya juga orang Wahhabi dan mengucapkan: Shalaatul Qiyaami atsaabakumullah, sebelum shalat tahajjud di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, bacaan ini termasuk bid`ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun para Shahabat.
8. Orang Wahhabi dewasa ini juga berdakwah menggunakan media radio, kaset, CD, TV Rodja, internet dan media cetak, ini termasuk amalan bid`ah yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi SAW maupun para Shahabat.
9. Orang Wahhabi Indonesia juga mendirikan perkumpulan yang sering diberi nama Salafi Indonesia. Ini juga tidak ada tuntunannya baik dari Alquran maupun Hadits shahih.
10. Orang Wahhabi juga mendirikan sekolah formal dengan sistem klasikal, ini termasuk bid`ah yang tanpa ada dasar tekstual dalil Alquran mupun Hadits.
11. Orang Waahabi tidak menolak penulisan Alquran menjadi buku dan diperbanyak lewat percatakan dan huruf tulisan modern, padahal amalan pencetakan Alquran ini tidak ada di jaman Nabi SAW maupun para shahabat.
12. Orang Wahhabi juga menerima upaya pengelompokan Hadits shahih dalam satu buku karangan seperti kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, padahal termasuk bid`ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW maupun para Shahabat.
13. Penerjemahan Alquran ke dalam berbagai bahasa, seperti yang diterbitkan oleh Depag, adalah termasuk bid`ah menurut definisi orang Wahhabi sendiri, bahkan di Indonesia, terjemahan Depag ini sering dijadikan kitab rujukan bagi orang Wahhabi Indonesia sendiri.
14. Orang Wahhabi mengaku-ngaku sebagai penerus ulama Salaf, pengakuan ini juga tidak ada dasarnya secara tekstual baik dari Alquran maupun hadits shahih.
15. Masih banyak amal perbuatan orang Wahhabi yang tergolong Bid’ah, menurut definisi orang Wahhabi sendiri, karena amal perbuatan mereka itu tidak didasari oleh dalil secara tekstual baik dari Alquran maupun Hadits shahih. Padahal, dalam pemahaman kaum Wahhabi, bahwa semua Bid’ah itu adalah sesat, tanpa kecuali. Jadi amalan kaum Wahhabi sebagaimana tersebut di atas, tentunya juga harus dihukumi SESAT.
KULLU BID`ATIN DHALALAH VERSI NU GARIS LURUS
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluq hidup.
Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin Iblis yang berbunyi: Khalaqtani min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.

Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlaq dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi SAW : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi SAW yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi SAW, dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku\`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya : 1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla. 2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan. 3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHaLALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya: Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi SAW maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang memeerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi SAW, mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi SAW, yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi SAW : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menhadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi SAW dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi SAW pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau SAW selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau SAW : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi SAW menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi SAW untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits NabiSAW. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidka pernah dilakukan oleh Nabi SAW maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.

Sumber : http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=668

Tidak ada komentar:

Posting Komentar