1.
|
Pengirim: Ana Ustadz
- Kota: Malang
|
|
Nah tuh.. makanya
ikutan kita-kita hadir majlis dzikr.. dijamin pulang kenyang deh..
jasmani dan rohani
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Figur orang yang mendapat hidayah dari Allah antara lain
adalah mereka yang senang hadir di majlis dzikir dan majis
ta'lim. Nabi Muhammad SAW bersabda yg artinya: Jika kalian
mendapati taman sorga, maka jangan segan2 kalian masuk di
dalamnya ! Para shahabat bertanya: Apa yang tuan maksud
dengan taman sorga itu wahai Rasulallah? Beliau menjawab:
Hilaqud dzikri (majlis dzikir). Dalam riwayat lain Beliau
menjawab : Hilaqul ilmi (majlis ta'lim).
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Pengirim: Muhibbukum
- Kota: Prob
|
|
Para sahabat sering
melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah
atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda
Rasulullah SAW:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan
mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak
mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
Di antara bid'ah terpuji itu adalah:
a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika
mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih
berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk
shalat tarawih berjamaah, dia berkata:
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Alhamdulillah, ini tambahan ilmu bagi yang membutuhkan
tambahan wawasan. Jika ada tambahandari yang ain, boleh
ditulis juga untuk saling melengkapi kekurangan.
|
|
|
|
|
|
|
|
6.
|
Pengirim: zainal
- Kota: ntb
|
|
i maluu fasayarallahu
amalakum
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Baca surat Yasiin dalam acara tahlilan adalah sesuai
dengan perintah Nabi SAW, iqra-uu Yasiin 'alaa mautaakum,
bacalah surat Yasiin untuk para mayyit kalian.
|
|
|
|
|
|
|
|
7.
|
Pengirim: tentara sunnah
- Kota: jember
|
|
bagamana dengan maksud
hadits yg berbunyi (saya lupa lafalnya tapi kurang lebih berarti)
"barang siapa yang beramal tanpa contoh dari rasulullah maka
tertolak".?
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Nabi SAW tidak secara mutkaq membatasi semacam itu.
Beliau juga mengatakan di waktu yang lain separti, alaikum
bisunnati wa sunnatil khulafaair raasyidiinaL mahdiyyina min
ba'di, hendaklah kalian memegang teguh sunnah-sunnahku, dan
sunnah-sunnah Khulafaur rasyidiin yg mendapat petunjuk
setelah aku tiada(Sy. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Perintah
ini kan bisa dijamak, artinya ya mencontoh perilaku Nabi SAW,
juga mencontoh kebaikan Khulafaur Rasyidiin. dan masih banyak
hadits semacam ini. Jadi jelasnya setiap amalan yg baik yang
tidak bertentangn dengan syariat Nabi SAW sekalipun tidak
penah diamalkan oleh Nabi SAW sendir, maka diperbolehkan di
dalam Islam. Dikatakan sebuah amalan itu baik, karena
tinjaunnya tidak bertentangan dengan Syariat. Jika ada amalan
yang bertentangan dg syariat, maka amalan itu pasti tidak
baik. Sebagai contoh, orang membaca Alquran itu baik, orang
membaca shalawat itu baik, orang berceramah itu baik, orang bersedekah
makanan untuk orang lain itu baik, orang berdzikir secara
qiyaman (berdiri) wa qu'udan (duduk) wa 'ala junubihim
(rebahan) itu baik, semua itu tidak ada yg bertentangan dengn
syariat Nabi SAW. Nah, jika amalan-amalan yg tersebut di atas
dirangkai menjadi satu rangkaian acara yang didbri nama ACARA
PERINGATAN MAULID NABI, apa otomatis menjadi tidak baik,
karena dianggap Nabi SAW tidak memberi contoh secara langsung
mengenai Perayaan Maulid Nabi ini ? Apalagi jika divonis
sebagai BID'AH DHALALAH (sesat). Jadi tampaknya, tuduhan
bid'ah dhalalah semacam ini sangatlah konyol. Ada cerita
anekdot, dulu ada dokter menemui seseorang yang sedang
membeli mangga, pepaya, melon, bengkuang, gula dan kayu arum
manis. Dokter itu mengatakan, 'Wah anda ini sangat pandai
belanja, semua yang anda beli banyak mengandung vitamin yang
menunjang kesehatan anda'. Orang itupun menyahut, 'Yaa
Dokter, saya ingin membuat es buah !'. Tiba-tiba Dokter itu
mengatakan, 'Wah, kalau begitu, belanjaan anda sangat
mebahayakan kesehatan anda, karena makan buah-buahan yang
dicampur jadi satu dalam bentuk es buah itu, tidak ada
kaedahnya dalam buku panduan Ilmu Kedokteran !. Nah...jika
saya mendapati Dokter semacam ini, pasti saya tidak akan
berobat kepadanya. Mendingan mencari dokter yang lebih pandai
dan lebih berpangalaman. Kan masih banyak dokter-dokter
lainnya yang lebih bonafit keilmuannya. Barangkali demikian
jaga yang terjadi di kalangan tokoh Islam. Tidak semuanya
tokoh itu mengerti dengan baik makna yang tersurat dan yang
tersirat dalam suatu amalan semacam peringatan maulid Nabi
SAW, yang ribuan tahun telah berlaku di kalangan umat Islam.
Bagi tokoh yang ilmunya mendalam, maka tidak akan gegabah
menuduh suatu amalan itu sebagai perilaku bid'ah dhalalah,
sebelum mempelajari dalil-dalil yang disampaikan oleh para
pengamalnya. Sedang amalan-amalan yang jelas-jelas bercapur
dengan kemaksiatan maka hukumnya adalah haram. Misalnya jika
ada orang yg mengadakan peringatan Maulid Nabi SAW namun
dengan mengundang tarian erotis dalam panggung dangdut. Maka
pasti peringatan maulid semacam ini hukumnya haram, bahkan
termasuk pelecehan kepada Nabi SAW, dan umat Islam wajib
memberantasnya. Jadi bukan perayaan Maulidnya yang bid'ah
dhalalah, tetapi goyang erotis dan maksiat dan yg semacamnya
yang diharamkan oleh Islam. Demikianlah semestinya cara
berpikir dewasa warga Ahlussunnah wal Jamaah yang
sesungguhnya. Semoga ada manfaatnya.
|
|
|
|
|
|
|
|
9.
|
Pengirim: pejuang sunnah
- Kota: jember
|
|
Assalamualaikum
War.Wab. Saya ingin menanyakan apa maksud dari hadits2 dibawah ini,
syukron.
1. Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama)
kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
2. Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan
sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan
seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang
diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap
kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
3. Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli
bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw) tiada maka tunjukkanlah sikap
menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata
tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak
makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang
dikhawatirkan meniru-niru bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan
mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.
(HR. Ath-Thahawi)
4. Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal
demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk
ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas
bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan
Nasrani." (HR. Bukhari)
5. Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku
tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang
menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
6. Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat
dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah
pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab,
"Mengada-adakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-orang
kepadanya." (HR. Daruquthin dari Anas).
Wassalamualikum War. Wab.
|
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Coba Akhi cermati lagi tulisan kami. Telah kami terangkan
bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak
bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 yang Akhi sebutkan,
yaitu menolak perilaku menciptakan ibadah baru yang
bertentangan dengan ajaran Syariat Islam, contohnya
pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim (buka Book
Collection pada kolom Karya Tulis Pejuang), karena perilaku
itu bertentangan dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta
yakhudhuu fi hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan
mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka
membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta lakum
diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi
jelaslah, Pejuang Islam mengumandangkan 'perang' terhadap
pelakunya. Karena perilaku Doa Bersama Muslim non Muslim ini
ini jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada tuntunannya
sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bid'ah hasanah
semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap
kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat
Islam, bahkan ada perintahnya baik dari Alquran maupun
Hadits. Perlu Akhi ketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan
itu, adalah dimulai dengan
1. Mengumpul masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan
taklim, tidakkah ini sunnah Nabi ? Hadits masyhur : idza
marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul
jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian
mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa
itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau
menjawab : majlis dzikir).
2. Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini
perintah syariat ?
3. Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah
syariat ?
4. Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman
faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang
mudah/ringan dari ayat Alquran).
5. Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat
thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.
6. Doa penutup.
7. Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati
tamu sesuai dengan kemampuannya. Tentunya dalam masalah ini
sangat bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak
ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan dengan
suguhan untuk tamu, yang disesuikan dengan kemampuan tuan
rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara,
maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak
pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap
komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi
SAW, maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BID'AH
HASANAH. Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini ?
Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sy. Umar bin Khatthab,
tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah
Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi SAW
melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa
kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum,
kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya
dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para shahabatpun
mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sy.
Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk
shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh
di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi
(sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20
rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan suntuk).
Bid'ahnya Sy. Umar ini terus lestari hingga saat ini, malahan
yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Wahhabi/Salafi Saudi
Arabiah seperti Syeikh Bin Baaz, Bin Shaleh, Sudais, dll. Hal
ini sama lestarinya dengan bid'ahnya para Walisongo yang
mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi
baik Sy. Umar dan pelanjut shalat tarawih di majid-masjid di
seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya
umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang
dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut
: Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa
ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min
ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan
hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang
tidak bertentangan dengan syariat), maka ia akan mendapatkan
pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalkan
ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit
pun.
Jadi sangat jelas baik Sy. Umar maupun para wWalisongo telah
mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari
kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah
Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya
Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik
umat Islam yang lainnya. Akhi juga bisa kok menciptakan
Sunnatan Hasanah atau Bid'ah Hasanah, untuk menunggu kiriman
pundi-pundi pahala. Ayoo cobalah berpikir dan mencarinya,
barangkali saja Akhi bisa menemukan amalan baru tersebut yang
tidak bertentangan dengan syariat !! Lumayan loh ... !
|
|
|
|
|
|
|
|
10.
|
Pengirim: Bukanu
- Kota: DKI
|
|
alaikum bisunnati wa
sunnatil khulafaair raasyidiinaL mahdiyyina min ba'di, hendaklah
kalian memegang teguh sunnah-sunnahku, dan sunnah-sunnah Khulafaur
rasyidiin yg mendapat petunjuk setelah aku tiada(Sy. Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali).
Wah kayaknya kurang tuh penjelasannya, yg mengenai sunnah para
sahabat nabi kok gak diterangin.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami sengaja tidak menukil sunnah-sunnah Khulafaur
Rasyidun secara lengkap dalam artikel ini dan tanggapannya,
karena tujuan utama artikel ini, hanyalah menerangkan
kesalahpahaman beberapa kelompok orang yang menerjemahkah
KULLU BID'ATIN DHALALAH hanya dipahami secara
letterleg/harfiyah. Itupun rupanya hanya mengambil
kamus-kamusumum sebagai literatur bahasa, sehingga
mendapatkan pemahaman yang sempit. Moga-moga di kesempatan
lain ada waktu meng-on line-kan usulan Akhi. Jazakallah kher.
|
|
|
|
|
|
|
|
11.
|
Pengirim: astoqi
- Kota: solo
|
|
tapi bid`ah dalam
ibadah itu jelas-jelas menghilangkan atau mengaburkan sunah yang
semisal dengannya, lebih baik mendakwahkan sunah yang telah banyak di
tinggalkan oleh kaum muslimin, dari pada mendakwahkan bid`ah, itu
cuman menurut saya lho tadz
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
1. Persepsi yang salah jika menganggap bahwa orang-orang
yang mengamalkan bid'ah hasana itu dianggap meninggalkan
sunnah Nabi. bahkan mereka lebih giat menghidupkan sunnah
Nabi SAW dibanding yang mendakwakan diri anti bid'ah. Sebagai
ilustrasi : Jika mengamal Maulid Nabi dengan membaca buku
Diba' (istilahnya Dibaan) termasuk yang dianggap Bid'ah
(tentunya yang hasanah menurut kami), karena dinilai Nabi dan
para shahabat tidak pernah berkumpul bersama-sama untuk
membaca kitab Diba', maka perlu diingat bahwa orang-orang
yang mengamalkan diba'an itu, mayoritas amalannya adalah
membaca shalawat Nabi yang amalan ini disunnahkan, mayoritas
tuan rumahnya menyuguhkan makanan untuk undangan sesuai
dengan kemampuannya, layaknya orang yang punya hajatan
semisal mantu, ulang tahun, aqiqah, rapat famili, kedatangan
tamu, dll. Padahal memberi suguhan seperti ini adalah amalan
sunnah yang sangat menyenangkan hatinya orang-orang yang
dermawan, tapi sangat berat dan merisaukan hatinya
orang-orang yang pelit. Membaca Alquran yang umumnya
dilakukan diawwal acara diba'an, adalah jelas-jelas sunnah
Nabi SAW, bahkan membaca dan mendengarkan bacaan Alquran itu
di samping sunnah Nabi SAW tetapi juga perintah Allah,
demikian dan sebagainya. Dengan sekali saja orang itu
mengamalkan bid'ah hasanah DIBA'AN. ternyata secara otomatis
dia telah mengamalkan sunnah-sunnah Nabi yang cukup banyak
jika dirinci satu persatu. Coba bandingkan dengan orang-orang
yang anti bid'ah hasanah. Tentu jauh berbeda nominal
pundi-pundi pahala yang dikumpulkan oleh para pelaku sunnah
yang diamalkan dalam DIBA'AN dibanding yang anti bid'ah
hasanah. Padahal perilaku bid'ah hasanah itu sendiri adalah
implementasi dari perintah Nabi SAW : Man sanna fil islaam
sunnatan hasanatan falahuu ajruha ...(barangsiapa menciptakan
ibadah sunnah (bid'ah hasanah) di dalam Islam maka dia
mendapatkan pahalanya) Baca yang teliti artikel kami... ! Syukran.
|
|
|
|
|
|
|
|
12.
|
Pengirim: Bukanu
- Kota: dki
|
|
Tapi kenapa sepanjang
sejarah selalu ada yg mempertentangkan tentang bid'ah pak ustadz apu
itu berarti perbuatan tsb masih diragukan kebenarannya lalu kenapa
kita bukan melakukan perbuatan yg pasti yg tidak ada pertentangan
didalamnya, bukankah itu yg lebih sunnah.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Pagi itu, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 menempelkan sebuah
papan berisi pengumuman : SEKOLAH LIBUR SETIAP HARI MINGGU.
Sangat kebetulan di waktu yang sama, ada tiga anak siswa,
yaitu Arif, Udin, Eko hadir dan menyaksikan pemasangannya.
Sekalipun mereka bersama-sama menyaksikan pemasangan papan
tulis itu, ternyata tingkat pemahaman ketiga anak ini
berbeda-beda, karena tingkat IQ mereka yang berbeda pula.
Arif mengatakan : 'Ayoo pulang, karena hari ini sekolahnya
libur ...!' . Sedangkan Udin lebih sewot lagi mengatakan :
'Memang sekolahan ini nggak bonavid , kita pindah sekolah
saja mencari yang lain, lihat tulisan di papan itu, diumumkan
: Sekolah libur tiap har, berarti nggak ada sekolah lagi ...!
Kejadian ini memicu perdebatan antara Arif dan Udin, kedua
belah pihak tidak ada yang saling mengalah, bahkan
mengeluarkan dalil sesuai pemahaman masing-masing.
Tiba-tiba datang Eko dan melarai kedua temannya seraya
mengatakan : Begini teman-teman, kalau kalian membaca sebuah
pengumuman, seharusnya yang teliti, jangan setengah-setengah,
dan belajarlah meletakkan tanda baca sesuai kaedah yang
benar. Aku tahu, mengapa Arif kok bilang hari ini libur.
karena dia saat membaca tadi dia memberi titik pada kata
'libur', jadi kepahamannya SEKOLAH LIBUR. Sedangkan Udin
memberi titik pada kata 'hari', jadinya dia memahami bahwa
SEKOLAH LIBUR TIAP HARI. Padahal kalau akan berbedat,
seharusnya membaca dulu tulisan itu sampai tuntas dan
sempurna, yaitu : SEKOLAH LIBUR SETIAP HARI MINGGU. Nah,
pemahaman yang benar, bahwa setiap hari sekolah SMPN 1 ini
masuk, kecuali pada hari Minggu saja yang libur.
Sayangnya Arif dan Udin belum dapat menerima dalil dan
argumentasi si Eko. Bahkan mereka berdua tetap bersikeras
dengan pemahaman masing-masing, dan runyamnya mereka saling
menyalahkan.
Nah, pertanyaannya: Apakah karena adanya perdebatan antara
tiga orang siswa ini, lantas kita mengatakan : SEBAIKNYA SEKOLAHAN
SMPN 1 DIBUBARKAN SAJA DAN MENDIRIKAN SEKOLAHAN YANG LAIN ?
Barangkali ilustrsi di atas tepat untuk menggambarkan realita
yang terjadi, sebut saja si Arif mewakili masyarakat awwam,
sedangkan si Udin mewakil kaum Salafi/Wahhabi, dan si Eko
mewakili Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah.
Yang jadi pertanyaan adalah : Mas Bukanu datang hanya untuk
merobohkan sekolahan SMN 1.
Yaa nggak boleh gitu Mas...!
Yang benar itu, seharusnya Mas Bukanu berusaha mendudukkan
permasalahannya sesuai dengan proporsinya.
Sadarkanlah masyarakat awwam agar belajar agama dengan baik
dan benar.
Sadarkanlah kaum Salafi/Wahhabi agar mempelajari agama Islam
secara benar dan tuntas kepada sumber-sumber yang benar,
jangan boleh apriori kepada kebenaran yang dibawa oleh selain
guru mereka. Karena sangat salah jika Salafi/Wahhabi
menganggap bahwa kebenaran itu hanya milik guru dan
tokoh-tokoh mereka saja, sehingga sulit menerima kebenaran
dari ulama-ulama lain. Jelas toh ... permasalahannya ?
|
|
|
|
|
|
|
|
14.
|
Pengirim: Sandhi
- Kota: Jakarta
|
|
Ternyata Muktamar
Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kenduri kematian
setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN
TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG
BODOH. Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu : MUKTAMAR I
NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS
TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN
MAKAN KEPADA PENTAKZIAH TANYA : Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan
makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari
wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk
mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau
hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul
bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh
tersebut tidak menghilangkan pahala itu. KETERANGAN : Dalam kitab
I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz: “MAKRUH hukumnya bagi keluarga
mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk
berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits
riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami
menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi
makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian
dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).” Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra
disebutkan : “Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya
kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak
kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan
ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari
ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan
yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh,
serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang
diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah
jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan
kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya
akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka
melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala)
akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang
telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut
dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian
ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah
bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan
dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan
masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang
ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai
haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan
pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau
memuji secara berlebihan (rastsa’). Dalam melakukan prosesi tersebut,
ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu
orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari
wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka
tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi
penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, rdiharapkan ia
mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal
(karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan
(seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga
kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab
tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat
ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah
pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah
itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris). SELESAI, KEPUTUSAN
MASALAH §DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H /
21 OKTOBER 1926 REFERENSI :
Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar,
Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17),
Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah
Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, CATATAN : Madzhab Syafi’i
berpendapat bahwa bacaan atau§Pebruari 2007.
amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit
adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi
dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab
10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam
Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19
Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.
|
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Memberi Hidangan Kepada Para Pentakziah Setelah Mayit
Dikubur
Deskripsi Masalah:
Sebagaimana dimaklumi dalam tradisi masyarakat kita, ketika
ada seorang Muslim meninggal, maka keluarganya mengadakan
acara tahlilan selama tiga hari dan tujuh hari. Dalam acara
tersebut, keluarga mayit menyuguhkan makanan kepada para
jamaah yang melakukan tahlilan. Bahkan makanan juga
disuguhkan kepada orang-orang yang datang bertakziah pada
keluarga si mayit.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum menyuguhkan makanan baik kepada para jamaah
yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para
pentakziah?
Jawaban:
Ada dua pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan hukum
menyuguhkan makanan dari pihak keluarga si mayit kepada para
jamaah tahlilan maupun orang-orang yang datang bertakziyah.
a. Pendapat yang menyatakan makruh atau haram. Hal ini
didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah dengan sanad yang
shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami menganggap
berkumpul pada keluarga mayit dan penyuguhan makanan dari
pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul) termasuk
niyahah (ratapan)." Berdasarkan hadits ini, para ulama
madzhab Hanafi berpendapat haram memberikan makanan pada hari
pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada
pentakziyah sebagaimana ditegasikan oleh al-Imam Ibn Abidin
dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidzi, al-Hakim dan lain-lainnya,
bahwa Rasulullah saw bersabda: "Buatkan makanan bagi
keluarga Ja'far, karena mereka sekarang sibuk mendengar
kematian Ja'far." Para ulama berpendapat, bahwa yang
disunnatkan sebenarnya adalah tetangga keluarga mayit atau
kerabat-kerabat mereka yang jauh membutkan makanan bagi
keluarga mayit yang sedang berduka, yang cukup bagi kebutuhan
mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini
diikuti oleh mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib
al-arba'ah.
b. Ulama yang lain berpendapat bolehnya menyuguhkan makanan
dari pihak keluarga mayit bagi para jamaah tahlilan maupun
para pentakziyah, meskipun pada masa-masa tiga hari hari
pertama pra meninggalnya si mayit. Hal ini didasarkan pada
beberapa dalil antara lain:
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatkan dalam Musnad-nya dari
jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata: "Setelah Khalifah Umar
bin al-Khaththab ditikam, maka beliau menginstruksikan agar
Shuhaib yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari
dan memerintahkan menyuguhkan makanan bagi orang-orang yang
datang bertakziyah." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad
hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar,
al-Mathalib al-'Aliyah fi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyah,
juz 1, hlm. 199, hadits no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab
al-Zuhd dari al-Imam Thawus (ulama salaf dari generasi
tabi'in), yang berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang
meninggal dunia itu diuji oleh di dalam kubur mereka selama
tujuh hari. Mereka (para generasi salaf) menganjurkan
mengeluarkan sedekah makanan untuk mereka selama tujuh hari
tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini
kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib
al-'Aliyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 710).
(Untuk kelengkapan jawabannya akan menyusul, atau jika ada
pengujung yang tertarik meresponnya fa jazaahullah kher)
|
|
|
|
|
|
|
|
15.
|
Pengirim: Aswaja
Probolinggo - Kota: Probolinggo
|
|
Dalil Tentang Tahlilan
(Riwayat Thawus Al-yamani Tabi’in) Hadis Riwayat Thawus Al- yamani
(tabiin) Thawus al-Yamani adalah seorang tabi`in terkemuka dari
kalangan ahli Yaman. Beliau bertemu dan belajar dengan 50 – 70 orang
sahabat Junjungan Nabi s.a.w. Thawus menyatakan bahawa orang-orang
mati difitnah atau diuji atau disoal dalam kubur-kubur mereka selama
7 hari, maka adalah mereka menyukai untuk diberikan makanan sebagai
sedekah bagi pihak si mati sepanjang tempoh tersebut. Hadis Thawus
ini dikategorikan oleh para ulama kita sebagai mursal marfu’ yang
sahih. Ianya mursal marfu’ kerana hanya terhenti kepada Thawus tanpa
diberitahu siapa rawinya daripada kalangan sahabi dan seterusnya
kepada Junjungan Nabi s.a.w. Tetapi oleh kerana ianya melibatkan
perkara barzakhiyyah yang tidak diketahui selain melalui wahyu maka
dirafa’kanlah sanadnya kepada Junjungan Nabi s.a.w. Para ulama
menyatakan bahawa hadis mursal marfu’ ini boleh dijadikan hujjah
secara mutlak dalam 3 mazhab sunni (Hanafi, Maliki dan Hanbali,
manakala dalam mazhab kita asy-Syafi`i ianya dijadikan hujjah jika
mempunyai penyokong (selain daripada mursal Ibnu Mutsayyib). Dalam
konteks hadis Thawus ini, ia mempunyai sekurang-kurangnya 2
penyokong, iaitu hadis ‘Ubaid dan hadis Mujahid. Oleh itu, para ulama
kita menjadikannya hujjah untuk amalan yang biasa diamalkan oleh
orang kita di rantau sini, iaitu apabila ada kematian maka dibuatlah
kenduri selama 7 hari di mana makanan dihidangkan dengan tujuan bersedekah
bagi pihak si mati. Hadis Thawus ini dibahas oleh Imam Ibnu Hajar
dalam “al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah” jilid 2 mukasurat 30. Imam
besar kita ini, Syaikh Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami as-Sa’di
al-Anshari ditanya dengan satu pertanyaan berhubung sama ada pendapat
ulama yang mengatakan bahawa orang mati itu difitnah/diuji atau
disoal 7 hari dalam kubur mereka mempunyai asal pada syarak. Imam
Ibnu Hajar menjawab bahawa pendapat tersebut mempunyai asal yang
kukuh (ashlun ashilun) dalam syarak di mana sejumlah ulama telah
meriwayatkan (1) daripada Thawus dengan sanad yang shahih dan (2)
daripada ‘Ubaid bin ‘Umair, dengan sanad yang berhujjah dengannya
Ibnu ‘Abdul Bar, yang merupakan seorang yang lebih besar daripada
Thawus maqamnya dari kalangan tabi`in, bahkan ada qil yang menyatakan
bahawa ‘Ubaid bin ‘Umair ini adalah seorang sahabat kerana beliau
dilahirkan dalam zaman Nabi s.a.w. dan hidup pada sebahagian zaman
Sayyidina ‘Umar di Makkah; dan (3) daripada Mujahid. Dan hukum 3
riwayat ini adalah hukum hadis mursal marfu’ kerana persoalan yang
diperkatakan itu (yakni berhubung orang mati difitnah 7 hari) adalah
perkara ghaib yang tiada boleh diketahui melalui pendapat akal.
Apabila perkara sebegini datangnya daripada tabi`i ianya dihukumkan
mursal marfu’ kepada Junjungan Nabi s.a.w. sebagaimana dijelaskan
oleh para imam hadits. Hadits Mursal adalah boleh dijadikan hujjah di
sisi imam yang tiga (yakni Hanafi, Maliki dan Hanbali) dan juga di
sisi kita (yakni Syafi`i) apabila ianya disokong oleh riwayat lain.
Dan telah disokong Mursal Thawus dengan 2 lagi mursal yang lain
(iaitu Mursal ‘Ubaid dan Mursal Mujahid), bahkan jika kita
berpendapat bahawa sabit ‘Ubaid itu seorang sahabat nescaya
bersambunglah riwayatnya dengan Junjungan Nabi s.a.w. Selanjutnya Imam
Ibnu Hajar menyatakan bahawa telah sah riwayat daripada Thawus
bahawasanya “mereka menyukai/memustahabkan untuk diberi makan bagi
pihak si mati selama tempoh 7 hari tersebut.” Imam Ibnu Hajar
menyatakan bahawa “mereka” di sini mempunyai 2 pengertian di sisi
ahli hadis dan usul. Pengertian pertama ialah “mereka” adalah “umat
pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. di mana mereka melakukannya dengan
diketahui dan dipersetujui oleh Junjungan Nabi s.a.w.”; manakala
pengertian kedua pula ialah “mereka” bermaksud “para sahabat sahaja
tanpa dilanjutkan kepada Junjungan Nabi s.a.w.” (yakni hanya
dilakukan oleh para sahabat sahaja). Ikhwah jadi kita dimaklumkan
bahawa setidak-tidaknya amalan “ith’aam” ini dilakukan oleh para
sahabat, jika tidak semuanya maka sebahagian daripada mereka. Bahkan
Imam ar-Rafi`i menyatakan bahawa amalan ini masyhur di kalangan para
sahabat tanpa diingkari. Amalan memberi makan atau sedekah kematian
selama 7 hari mempunyai nas yang kukuh dan merupakan amalan yang
dianjurkan oleh generasi awal Islam lagi, jika tidak semua
sekurang-kurangnya sebahagian generasi awal daripada kalangan sahabi
dan tabi`in. Oleh itu, bagaimana dikatakan ianya tidak mempunyai
sandaran. Imam as-Sayuthi juga telah membahaskan perkara ini dengan
lebih panjang lebar lagi dalam kitabnya “al-Hawi lil Fatawi” juzuk 2
di bawah bab yang dinamakannya “Thulu’ ats-Tsarayaa bi idhzhaari maa
kaana khafayaa” di mana antara kesimpulan yang dirumusnya pada
mukasurat 194:- · Sesungguhnya sunnat memberi makan 7 hari. Telah
sampai kepadaku (yakni Imam as-Sayuthi) bahawasanya amalan ini
berkekalan diamalkan sehingga sekarang (yakni zaman Imam as-Sayuthi)
di Makkah dan Madinah. Maka zahirnya amalan ini tidak pernah
ditinggalkan sejak masa para sahabat sehingga sekarang, dan generasi
yang datang kemudian telah mengambilnya daripada generasi terdahulu
sehingga ke generasi awal Islam lagi (ash-shadrul awwal). Dan aku
telah melihat kitab-kitab sejarah sewaktu membicarakan biografi para
imam banyak menyebut: ” dan telah berhenti/berdiri manusia atas kuburnya
selama 7 hari di mana mereka membacakan al-Quran”. · Dan telah
dikeluarkan oleh al-Hafidz al-Kabir Abul Qasim Ibnu ‘Asaakir dalam
kitabnya yang berjodol “Tabyiin Kadzibil Muftari fi ma nusiba ilal
Imam Abil Hasan al-’Asy’ariy” bahawa dia telah mendengar asy-Syaikh
al-Faqih Abul Fath NashrUllah bin Muhammad bin ‘Abdul Qawi
al-Mashishi berkata: “Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim
al-Maqdisi pada hari Selasa 9 Muharram 490H di Damsyik. Kami telah
berdiri/berhenti/berada di kuburnya selama 7 malam, membaca kami
al-Quran pada setiap malam 20 kali khatam.” Ikhwah, “ith`aam” ini
boleh mengambil apa jua bentuk. Tidak semestinya dengan berkenduri
seperti yang lazim diamalkan orang kita. Jika dibuat kenduri seperti
itu, tidaklah menjadi kesalahan atau bid`ah, asalkan pekerjaannya
betul dengan kehendak syarak.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi.
|
|
|
|
|
|
|
|
16.
|
Pengirim: Arif - Kota:
Malang
|
|
Dalam buku”Ulama Besar
Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan
oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama
Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah
kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal
‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau
kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi
haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh
anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat
keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah
Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri
arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah
mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat
berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani
termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua
Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat
tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan
natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang
dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai
keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang
antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana
kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru
(mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah
Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka
itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan
(meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya
boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam
hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati
atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau
di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana
mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya
kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama
Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang
bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si
mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka
hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum
sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk
sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata
haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana
hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh
dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk
menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk
berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya
diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama
kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan
keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat
lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh
Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja
dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal
menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan
jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak
wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia,
disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang
Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi
Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat
makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah
makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman
kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam
masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan
tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini,
maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan
mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17
orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun
tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman
mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta
membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan,
mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu
resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si
mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada
mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka,
hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati
membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan
kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan
itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas
ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu
melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si
mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati
atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana
qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh
dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat
makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim
atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya
dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan
tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara
membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja.
Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli
mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk
hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian
dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si
mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya
sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata
menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau
riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth
– Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi
dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan
kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram
secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia,
disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang
Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi
Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat
makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah
makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman
kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam
masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan
tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka
Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan
mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17
orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun
tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman
mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta
membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan,
mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi
pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati
membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit
dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya
sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat
makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana
qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu
kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas
ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu
melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si
mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati
atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana
qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh
dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat
makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim
atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya
dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan
tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara
membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja.
Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli
mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk
hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput
makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang
ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga
menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan
adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini
yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth –
Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi
dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan
kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram
secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia,
disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang
Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi
Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat
makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah
makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman
kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam
masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan
tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini,
maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan
mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17
orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun
tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman
mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta
membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan,
mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu
resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si
mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada
mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka,
hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati
membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan
kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan
itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas
ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu
melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si
mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati
atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana
qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh
dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat
makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim
atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya
dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan
tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara
membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja.
Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli
mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk
hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian
dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si
mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya
sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata
menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau
riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth
– Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi
dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada
Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara
total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia,
disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang
Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi
Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat
makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah
makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman
kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam
masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan
tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini,
maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan
mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17
orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun
tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman
mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta
membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan,
mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu
resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si
mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada
mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka,
hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati
membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan
kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan
itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas
ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu
melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si
mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati
atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana
qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh
dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat
makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim
atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya
dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan
tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara
membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja.
Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli
mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk
hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian
dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si
mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya
sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata
menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau
riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth
– Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi
dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan
kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram
secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia,
disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang
Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi
Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat
makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah
makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman
kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat
di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi
bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka
Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan
mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17
orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun
tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman
mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta
membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan,
mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu
resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si
mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada
mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka,
hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati
membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan
kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan
itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas
ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu
melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si
mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati
atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana
qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh
dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat
makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim
atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya
dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan
tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara
membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja.
Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli
mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk
hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian
dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si
mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya
sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata
menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau
riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth
– Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi
dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan
kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram
secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia,
disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang
Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi
Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat
makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah
makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman
kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam
masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan
tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini,
maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan
mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17
orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun
tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman
mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta
membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan,
mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu
resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si
mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada
mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka,
hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati
membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana
qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu
kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas
ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu
melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si
mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati
atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana
qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh
dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat
makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim
atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya
dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan
tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara
membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja.
Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli
mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk
hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian
dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si
mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya
sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata
menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau
riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth
– Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi
dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan
kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram
secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia,
disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang
Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi
Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat
makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah
makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman
kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam
masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan
tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini,
maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan
mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17
orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun
tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman
mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta
membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan,
mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu
resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si
mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada
mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka,
hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati
membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan
kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan
itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas
ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu
melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si
mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati
atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana
qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh
dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat
makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim
atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya
dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan
tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara
membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja.
Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli
mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk
hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian
dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si
mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya
sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata
menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau
riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth
– Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi
dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan
kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram
secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia,
disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang
Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi
Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat
makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah
makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan
fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini.
Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat
di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi
bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka
Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan
mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17
orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun
tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman
mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta
membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan,
mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu
resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si
mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada
mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka,
hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati
membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan
kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan
itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas
ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu
melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si
mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati
atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana
qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh
dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat
makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim
atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya
dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan
tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara
membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat
dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit
yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak
merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke
rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan
yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang
ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga
menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan
adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini
yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth –
Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi
dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan
kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram
secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
17.
|
Pengirim: Aswaja - Kota:
Jember
|
|
Hadis Jarir –
Penjelasan Tuan Guru Haji Ahmad Hadis Jarir yang membawa maksud “Kami
mengira orang berhimpun kepada ahli keluarga si mati dan menyediakan
makanan selepas pengkebumiannya adalah daripada ratapan
(an-niyahah).” Hadis ini menjadi hujjah bagi meng”haram” atau
me”makruh” membuat kenduri arwah kematian selepas matinya seseorang.
Adakah ini pemahaman yang difahami oleh para ulama kita ? Tuan Guru
Haji Ahmad al-Fusani (1902 – 1996) memberi penjelasan dalam kitabnya
“Khulasah al-Mardhiyyah fi Masail al-Khilafiyyah” antara lain
menyatakan bahawa kalimah “minan-niyahah” dalam hadis tersebut
ditanggung maknanya sebagai “min asbabin niyahah” iaitu “setengah
daripada sebab ditakutkan jadi niyahah. Maka bukanlah diri berhimpun
dan buat makan itu niyahah sungguh kerana jikalau niyahah sungguh
tentulah ulama kata haram kerana tiada ada niyahah yang makruh sama
sekali” (yakni jika semata-mata berhimpun dan berjamu itu termasuk
ratapan, maka sudah tentu ulama akan terus menghukumnya haram dan
bukan makruh kerana tidak ada niyahah yang hukumnya makruh. Jadi
dihukumkan bid`ah makruhah kerana boleh jadi sebab bagi ratapan atau
boleh membawa kepada ratapan, jadi kalau ikut kaedah ushul ini yang
menjadi ‘illah bagi dihukumkan bid`ah makruhah tersebut, jika ‘illah
ini hilang maka hukumnya juga turut berubah). Soalnya, adakah kenduri
arwah yang orang kita buat bersifat sedemikian ? Adakah kenduri kita
menjurus kepada ratapan ? Selanjutnya Tuan Guru Haji Ahmad menyebut:-
· “…Sebuah hadis yang meriwayatkan dia Imam Ahmad rahimahUllah ta’ala
dengan sanad yang sahih dan Abu Daud daripada ‘Aashim bin Kulaib
daripada bapanya daripada seorang laki-laki daripada Anshar berkata
ia: “Keluar kami sahabat nabi serta Rasulullah s.a.w. pada
menghantarkan jenazah orang mati kepada kubur. Maka aku nampak akan
Rasulullah s.a.w. menyuruh orang yang menggali kubur dengan katanya:
“Perluas olehmu daripada pihak dua kakinya, perluas olehmu daripada
pihak kepalanya”. Maka tatkala balik Nabi daripada kubur berhadap
kepadanya (yakni datang kepada Nabi) seorang yang (mem)persilakan
Nabi ke rumah daripada suruhan perempuan si mati itu. Maka Nabi serta
sahabat pun silalah (yakni datanglah) ke rumahnya. Maka dibawa datang
akan makanan, maka (meng)hantar Nabi akan tangannya, yakni menjemput
Nabi akan makanan bubuh ke mulut dan (meng)hantarlah segala sahabat
akan tangannya”…….Hadis ini menyatakan Nabi sendiri serta sahabat
berhimpun makan di rumah orang mati kemudian (yakni selepas) balik
tanam orang mati…….Jadi berlawan hadis ini dengan hadis Jarir yang
menunjuk atas tegah berhimpun makan di rumah orang mati kemudian
daripada tanam mayyit……….Setengah riwayat tak dak lafaz “ba’da
dafnihi” (kemudian daripada tanamnya) [yakni hadis Jarir ada khilaf
dalam riwayatnya kerana ada riwayat yang tidak menyebut “ba’da
dafnihi“). Maka orang tua-tua kita tanggungkan bahawasanya makruh itu
berhimpun makan di hadapan mayyit jua. Inilah jalanan orang tua-tua
kita. Sebab itulah orang kita tidak berjamu sewaktu ada mayyit di
atas rumah, dan jika darurat kepada berjamu juga seperti bahawa
suntuk masa, diberjamu pada rumah yang lain daripada rumah yang ada
mayyit padanya……..Alhasil, hukum berhimpun di rumah ahli mayyit dan
membuat ahli mayyit akan makanan, berjamu makan semata-mata dengan
tidak qasad bersedekah daripada mayyit atau baca al-Quran niat pahala
kepada Allah, makruh tanzih selama ada mayyit di atas rumah itu.”
Perkataan ulama kita yang menghukum berhimpun dan berkenduri makan
selama 7 atau 40 hari sebagai bid`ah makruhah diihtimal maksudnya
jika perbuatan tersebut dibuat semata-mata menjalankan adat kebiasaan
yang jika tidak dilaksanakan akan menjadi cemohan masyarakat bukan
dengan niat “ith`aam ‘anil mayyit” dan sebagainya. Atau ianya boleh
membawa kepada niyahah yang diharamkan atau kesedihan yang
berlarutan. Oleh itu, larangan tersebut tidaklah bersifat mutlak
tetapi mempunyai qayyid yang menjadi ‘illah pada hukum tersebut.
Dalam pada itu, Imam Ibnu Hajar dalam “Fatwa Kubra”nya menyatakan
bahawa jika seseorang berbuat kenduri tersebut semata-mata
menjalankan adat untuk menolak cemohan orang-orang jahil dan menjaga
kehormatan dirinya maka tidaklah ianya dianggap sebagai bid`ah
madzmumah. Nanti aku postkan lain kali. Seorang saudara menghantar
risalah yang dalamnya nukilan perkataan Imam asy-Syafi`i yang
menyatakan “Aku benci diadakan ma’tam, iaitu himpunan walaupun tidak
ada tangisan mereka, kerana sesungguhnya pada yang sedemikian itu
memperbaharui kedukaan dan membebankan tanggungan“. Membaca nas
perkataan Imam asy-Syafi`i ini jelas menunjukkan tidak mutlaknya
kebencian tersebut kerana ianya dikaitkan dengan “membaharui
kesedihan” dan “membebankan”. Apa kata jika, perhimpunan dilakukan
adalah dalam rangka mendoakan si mati, bersedekah buat pihak si mati,
menghibur ahli keluarga si mati, dan tidak menjadi beban kepada
keluarga si mati yang berkemampuan ? Adakah Imam kita asy-Syafi`i
masih membencinya ? Jadi kalau ada yang berbuat kenduri seperti itu
rupanya maka makruhlah kita datang hadir. Bahkan jika digunakan
tirkah anak yatim atau tirkah waris yang tidak redha atau sebagainya
makan haram kita hadir. Jadi hukumnya kena lihat case by case, bukan
main pukul rata haram atau makruh atau harus. Download kitab dan
risalah ahlusunnah, kalahkan fatwa sesat wahabi (bidznillah)!!
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
18.
|
Pengirim: Muhsin
- Kota: Sumedang
|
|
Dalam setiap acara
tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang
mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan
kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah
sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga
yang meninggal dunia. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk
apapun sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan
makanan kepada orang lain dalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda
Nabi Muhammad SAW: عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ
اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإطْعَامُ الطَّعَامِ.
رواه أحمد Dari
Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian
saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW
menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR
Ahmad) Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah
SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga)
disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah
hadits shahih disebutkan: عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ
رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ
أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ
لِيْ مَخْزَفًا فَُأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا.
رواه الترمذي Dari
Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai
Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada
matifaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab,
"Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka
aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun
tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi) Ibnu Qayyim al-Jawziyah
dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan
kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan
haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya
diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut
Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal 142).
Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk
memberikan penghonnatan kepada para tamu, maka itu merupakan
perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW: عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ
كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ مَنْ
كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ
مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ
لِيَصْمُتْ. رواه مسلم Dari
Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang
beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti
tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari
akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah
SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika
tidak bisa), diam.” (HR Muslim). Seorang tamu yang keperluannya hanya
urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan
dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga
kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.
Hanya saja, kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan
utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam
acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai
mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut
jelas ridak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya
perjamuan itu diadakan ala kadarnya. Lain halnya jika memiliki
kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf
(berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga
gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan
sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga
yang telah meninggal dunia. Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat
yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa
yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian
dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara' maka
tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana. KH
Muhyiddin Abdusshomad Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua
PCNU Jember
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=17169
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
19.
|
Pengirim: Muhammad Toni
- Kota: Krayapyak Jogja
|
|
Sudah menjadi tradisi
orang NU, kalau ada keluarga yang meninggal, malam harinya ada
tamu-tamu yang bersilaturrahim, baik tetangga dekat maupun jauh.
Mereka ikut belasungkawa atas segala yang menimpa, sambil mendoakan
untuk yang meninggal maupun yang ditinggalkan. Selain bersiap
menerima tamu, sanak keluarga, handai tolan, dan keluarga dekat, pada
hari kedua sampai ketujuh, mereka akan mengadakan bacaan tahlil dan
do’a yang dikirimkan kepada yang sudah meninggal dunia. Soal ada
makanan atau tidak, bukan hal penting, tapi pemanfaatan pertemuan
majelis silaturrahim itu akan terasa lebih berguna jika diisi dengan
dzikir. Sayang, bagi orang-orang awam yang kebetulan dari keluarga
miskin, mereka memandang sajian makanan sebagai keharusan untuk
disajikan kepada para tamu, padahal substansinya sebenarnya adalah
bacaan tahlil dan do’a adalah untuk menambah bekal bagi si mayit.
Kemudian, peringatan demi peringatan itu menjadi tradisi yang seakan
diharuskan, terutama setelah mencapai 40 hari, 100 hari, setahun
(haul), dan 1000 hari. Semua itu berangkat dari keinginan untuk
menghibur pada keluarga yang di tinggalkan sekaligus ingin mengambil
iktibar bahwa kita juga akan menyusul (mati) di kemudian hari. Dalil
yang dapat dibuat pegangan dalam masalah ini adalah: قَالَ طَاوُسَ: إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي
قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا
عَنْهُمْ تَلْكَ اْلأيّاَمِ إلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ
عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتِنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأمَّا
الْمُؤمِنُ فَيُفْتِنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ
أرْبَعِيْنَ صَبَاحًا Imam
Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam
kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih
hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari
tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan
seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi
seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang
munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti,
Juz II hal 178) Jika suatu amaliyah atau ibadah sudah menjadi
keputusan atau atsar atau amal sahabat (dalam hal ini Tاawus) maka
hukumnya sama dengan hadits mursal yang sanadnya sampai kepada
Tabi’in, dan dikatagorikan shahih dan telah dijadikan hujjah mutlak
(tanpa syarat). Ini menurut tiga imam (Maliki, Hanafi, Hambali).
Sementara Imam Syafi’i hanya mau berhujjah dengan hadits mursal jika
dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait
dengannya, seperti adanya hadits yang lain atau kesepakatan sahabat.
Dalam hal ini, seperti disebut di atas, ada riwayat dari Mujahid dan
dari Ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan Tabi’in, meski
mereka berdua bukan sahabat. Maksud dari kalimat فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ atau "sebaiknya mereka" dalam keterangan di
atas adalah bahwa orang-orang di zaman Nabi Muhammad SAW melaksanakan
hal itu, sedang Nabi sendiri tahu dan mengafirmasinya. (Al Hawi lil
Fatawa as Syuyuti, Juz II hal 183) KH Munawwir Abdul Fattah Pengasuh
Pesantren Krapyak Yogyakarta
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
20.
|
Pengirim: Ridwan
- Kota: Probolinggo
|
|
Mengenai 3 hari, 7
hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada
dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah
diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran
muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?,
siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis
dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha
illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin,
tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada
larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100
atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana
dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat
orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat
istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar
syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw
meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih
Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10
muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul
saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu
beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih
Bukhari hadits no.3726, 3727) Kita bisa melihat bagaimana para
Huffadh dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw : • Berkata
Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60
kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala
dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”. • Berkata Al Imam Alhafidh Al
Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku
mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk
Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk
Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk
Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, ia
adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu
masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat
pada 313H • Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku
mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan
aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw.
(Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
21.
|
Pengirim: Ridwan
- Kota: Probolinggo
|
|
Sang Habib berkata:
dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami
syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua duanya,
licik bagaikan missionaris nasrani dan ingin membalikkan makna
sekaligus bodoh pula dalam syariah. 1. Ucapan Imam Nawawi dalam
Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan : من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى
الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه
أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه الشافعى فى كتابه الحاوى
عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل
قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه
ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه
لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه
وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح
وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام
ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا
يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات
من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم
والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر
أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن
أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ
أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا
المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد
البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من
طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها
تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان
الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله
الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له “Barangsiapa yg ingin berbakti
pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim
amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai
pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf
diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg
diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi
Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg
hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa
menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan
yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan
Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu
diperdulikan. Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka
madzhab Syafii dan sebagian besar ulama mengatakannya tidak sampai
kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha
oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam
hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal
ini tak bisa, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu
bisa, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab
Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari
kelompok Syafii yg mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama
mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa
shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana
diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat
dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg
wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu
membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab
Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa
mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit, telah
berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi
Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan :
“kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa
Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini
seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu
Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib :
Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu
shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna,
dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji
(sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan
pendapat yg sepakat para ulama. Dan dalil Imam syafii adalah bahwa
firman Allah : “dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal
perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam
maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau
ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. (Syarh Nawawi
Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90) Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi
menjelaskan bahwa dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih
masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih
mengatakannya sampai, tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih,
bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih
adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak
sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg
mengatakan sampai. namun dari kesimpulannya bahwa Imam Nawawi menukil
bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.
Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting
tambah”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan
di web web, inilah bukti kelicikan mereka,lanjut: Ucapan Imam Ibn
katsir : وأن ليس للإنسان إلا ما سعى أي كما لا يحمل عليه وزر
غيره كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه ومن هذه الآية الكريمة
استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى
الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى
الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماءة ولم
ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنه ولو كان خيرا لسبقونا إليه
وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة
والآراء فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع
عليهما “
Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang
lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan
dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat
39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya
mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada
mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri.
Oleh karena itu Rosulullah shallallahu 'alayhi wa sallam tidak perna
menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui
bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash
maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan
perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu
mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah
ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”
Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal
kelanjutannya adalah : “Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu
sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash
yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn
Katsir juz 4 hal 259). nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah
doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : "wahai Allah,
sampaikanlah apa yg kami baca, dari.... dst, hadiah yg sampai, dan
rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat....."
bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai
doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya. Lalu berkata pula Imam
Nawawi : أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك
باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص
الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى
بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم
فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة
القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد
بن حنبل
“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat
bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula
menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat
atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan
nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit
bila haji muslim, demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan
dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam
madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai
puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits
hadits shahih yg menjelaskannya, dan yg masyhur dikalangan madzhab
kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun
telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai
pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg
membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)
Dan dijelaskan pula dalam Almughniy : ولا بأس بالقراءة
ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي
وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر
وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر
نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد
نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له
محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة
قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة
وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل
يقرأ
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah
diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah
ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah,
sungguh pahalanya untuk ahli kubur”. Dan diriwayatkan pula bahwa
bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan
Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad
melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah
: Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu
tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia
Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya) maka berkata Muhammad bin
Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya
bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya,
dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad
: :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan
agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225) Dan
dikatakan dalam Syarh AL Kanz : وقال في شرح الكنز إن
للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو
قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل
السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى
الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من
أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج
لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار
الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا
جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر
فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في
سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب
والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة “sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala
amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau
shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan
itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah
waljamaah. Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian
ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun
Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan
kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai,
demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar, dan
dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai
pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka
sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon
penyampaian pahalanya itu, dan selayaknya ia meyakini hal itu karena
merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka
menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg
lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq
alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada
mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan
wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat
banyak” (Naylul Awthar Juz 4 hal 142). Kesimpulannya bahwa hal ini
merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada
mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman
bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam
doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi. Dan
kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil,
tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah,
sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst).
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah
waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya
tak sampai. Dan sungguh hal yg lucu bila kalangan wahabi ini meracau
dengan mengumpulkan dalil gunting sambung lalu menyuguhkan kita racun
agar kita teracuni, mereka kena batunya mengenai hidangan tahlil
sudah saya jelaskan, ngga ada yg mengharamkan, hanya makruh bila dg
tujuan pengumpulan massa di rumah duka, bukan menjamu tamu, kalau
menghidangkan makan tuk menjamu tamu, maka Rasul saw pun makan dirumah
duka dengan undangan istri si mayyit jawaban saya yg pertama telah
jelas bahwa banyak para Muhaddits dan Imam yg menghadiahkan pahala
bacaan Alqur'annya pada rasul saw dll.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
22.
|
Pengirim: Sewed
- Kota: Malang
|
|
Saya pernah membaca
tulisan KH Muhyiddin, dan setahu saya Ammy kenal dg KH Muhyiddin.
Maksud saya, meminta tolon kepada KH Muhyiddin untuk menjawab tulisan
dibawah ini: Acara tahlilan, yaitu acara pengiriman pahala bacaan
kepada mayit/roh, merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan
masyarakat atau dengan kata lain, telah menjadi milik masyarakat
Islam di tanah air. Dalam acara tersebut lazimnya dibacakan ayat-ayat
Al Qur'an tertentu, bacaan laa ilaaha illallah, subhanallah dll,
dengan niat pahala bacaan tersebut dihadiahkan / dikirimkan kepada
mayit / roh tertentu atau arwah kaum Muslimin pada umumnya. Satu hal
yang belum banyak diketahui kaum muslimin itu sendiri ialah, pada
umumnya mereka, mengaku BERMADZAB SYAFI'I, baik dengan pengertian
yang sebenarnya atau hanya ikut-ikutan. Namun demikian, ironinya
justru amalan Tahlilan atau Selamatan yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit itu bertentangan dengan berbagai pendapat ulama-ulama
dari kalangan madzhab Syafi'I, termasuk Imam Syafi'i sendiri. Kalau
toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut maka jumlahnya
sangat sedikit dan dipandang lemah, sebab bertentangan dengan ajaran
Al Qur'an (ayat 39 Surat An Najm dan Sunnah Rasulullah serta para
sahabatnya), yang mendasari pendapat mereka. Berikut ini penulis
bawakan sejumlah pendapat Ulama-Ulama Syafi'i tentang masalah
tersebut yang dikutib dari Kitab-kitab tafsir, Kitab-kitab Fiqih dan
Kitab-kitab Syarah Hadits, yang penulis pandang mu'tabar (jadi
pegangan) di kalangan pengikut-pengikut madzhab Syafi'i. Pendapat
Imam As Syafi'i Rahimahullah. Imam An Nawawi menyebutkan di dalam
kitabnya, SYARAH MUSLIM, demikian : "Adapun bacaaan Qur'an (yang
pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyur dalam madzhab
Syafi'i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi...Adapun dalil
Imam Syafi'i dan pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya),
"Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya
sendiri" dan sabda Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM,
"Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal
usahanya, kecuali tiga hal yaitu, sedakah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak yang shaleh yang berdoa untuknya." (An
Nawawi, SYARAH MUSLIM, Juz 1 Hal. 90). Juga Imam Nawawi di dalam
Kitab Takmilatul Majmu', Syarah Mahadzab mengatakan : "Adapun
bacaan Qur'an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti
shalatnya mayit tsb, menurut Imam Syafi'i dan Jumhurul Ulama', tidak
sampai kepada mayit yang dikirimi. Keterangan ini telah diulang-ulang
oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim." (As Subuki,
TAKMILATUL MAJMU', syarah MUHADZAB, juz X, hal. 426). (Mengganti
shalat mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan
almarhum semasa hidupnya). Al Haitami, di dalam Kitabnya, Al FATAWA
AL KUBRO AL FIGHIYAH, mengatakan demikian : "Mayit, tidak boleh
dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama'
Mutaqaddimin (terdahulu), adpun bacaan (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan
tersebut untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak
dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu,
berdasarkan firman Allah, "Dan Manusia tidak memperoleh, kecuali
pahala dari hasil usahanya sendiri." (Al Haitami, AL FATAWA AL
KUBRA AL FIGHIYAH, juz 2, hal. 9). Imam Muzani, di dalam Hamisy AL
UM, mengatakan demikian : "Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAM memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahwa
dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya
adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat
dikirimkan kepada orang lain." (Tepi AL UM, AS SYAFI'I, juz 7,
hal. 269). Imam Al Khaizin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai
berikut: "Dan yang masyhur dalam madzhab Syafi'i adalah, bacaan
Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai
kepada mayit yang dikirimi." (Al Khazin, AL JAMAL, juz 4, hal.
236). Di dalam tafsir Jalalain disebutkan demikian : "Maka
sesorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari usaha orang
lain." (Tafsir JALALAIN, 2/197). Ibnu Katsir dalam tafsirnya
TAFSIRUL QUR'ANIL AZHIM menafsirkan ayat 39 Surat An Najm dengan
mengatakan "Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat
menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat
memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri, dan dari ayat
yang mulia ini (ayat 39 An Najm), Imam Syafi'i ra. dan Ulama-ulama
yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya
dikirimkan kepada mayit tidak akan sampai, karena bukan dari hasil
usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAM tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan
(pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan,
baik dengan nash maupun dengan isyarat. Juga tidak ada seorang
sahabatpun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau toh
amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu
mengerjakannya, padahal amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah
SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) hanya terbatas yang ada nash-nashnya
(dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM)
dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-
pendapat." Demikian diantaranya berbagai pendapat Ulama
Syafi'iyah tentang acara tahlilan atau acara pengiriman pahala bacaan
kepada mayit/roh, yang ternyata mereka mempunyai satu pandangan
yaitu, mengirimkan pahala bacaan Qur'an kepada mayit / roh tidak akan
sampai kepada mayit atau roh yang dikirimi, terlebih lagi kalau yang
dibaca itu selain Al Qur'an, tentu saja akan lebih tidak sampai
kepada mayit yang dikirimi. Jika sudah jelas bahwa pengiriman pahala
tersebut tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah
sia-sia belaka, atau merupakan perbuatan tabdzir. Padahal Islam
melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir. Adapaun dasar hukum
dari pendapat mereka itu adalah firman Allah SHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAM dalam surat An Najm ayat 39 dan Hasits Rasulullah
SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM tentang terputusnya amal manusia apabila
ia telah meninggal dunia, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan yang berdoa untuk orang tuanya. Kemudian timbul pertanyaan,
bagaimana kalau seandainya setiap usai tahlilan lalu berdoa, ALLAHUMA
AUSHIL TSHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAMABA MAA WARA'NAAHU ILA RUHI FULAN
(Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh si fulan)?
Pertanyaan tadi dapat dijawab demikian : Ulama telah sepakat, bahwa
pengiriman pahala bacaan itu tidak sampai kepada toh yang dikirimi,
sebab bertentangan dengan firman Allah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM
dalam Surat An Najm ayat 39. Adalah sangat janggal, kalau kita
berbuat mengirimkan pahala bacaan kepada mayit, yang berarti kita
telah melanggar syari'at- Nya, tetapi kemudian kita mohon agar
perbuatan melanggar syari'at itu dipahalahi dan lebih dari itu, mohon
agar do'a tersebut dikabulkan. Jadi, kalau toh sehabis acara tahlilan
itu, kita lalu berdoa seperti itu, rasanya adalah janggal dan tetap
tidak dapat dibenarkan, karena mengandung hal-hal yang kontradiktif
(bertentangan); yaitu di satu pihak, doa adalah ibadah dan di pihak
lain amalan megirim pahala bacaan adalah amalan sia- sia, yang
berarti melanggar syari'at, yang kemudian, amalan semacam itu kita
mohonkan agar dipahalahi, dan pahalanya disampaikan kepada roh.
SELAMATAN KEMATIAN Demikian juga selamatan atau berkumpul dengan
hidangan makanan di rumah keluarga mayit, baik pada saat hari
kematian, hari ke dua, hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke
seratus dsb..maupun dalam upacara yang sifatnya massal yang lazimnya
dilakukan di perkuburan (maqrabah) yang biasa disebut khaul dll. yang
di situ juga di adakan acara selamatan atau makan-makan, maka
sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi'iyah, baik
kitab-kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits, amalan
tersebut dinyatakan sebagai amalan 'terlarang' atau dengan kata lain
'haram'. Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab
Syafi'i itu sendiri, atau kalau toh ada yang tahu, maka jumlahnya
tidak banyak, maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan
mereka tentang masalah ini. Di dalam kitab Fiqih I'anatut Thalibin
dinyatakan demikian: "Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu
berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk
itu, adalah termasuk bid'ah munkarat bid'ah yang di ingkari agama)
yang bagi orang yang memberantasnya akan diberi pahala."
(I'anatut Thalibin. Syarah Fat-hul Mu'in, juz 2, hal.145). Imam
Syafi'i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit
ini, seperti yang beliau kemukakan dalam Kitab AL UM sbb : "Aku
tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit),
meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan
menimbulkan kesedihan baru." (As Syafi'i AL UM, juz 1, hal.
248). Selanjutnya di dalam Kitab I'anatut Thalibin tersebut dikatakan
demikian: "Dan apa yang dibiasakan orang tentang hidangan
makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan,
adalah bid'ah yang tidak disukai dalam agama, sebagaimana halnya
berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena ada hadits
shahih yang di riwayatkan Jarir yang berkata: "Kami mengganggap,
bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan
adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayit) yakni haram."
(I'anatut Thalibin, juz 2, hal. 146). Juga pengarang I'anah mengutip
keterangan dari Kitab BAZZAZIYAH sebagai berikut: "Dan tidak
disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian),
hari ke tiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan makanan ke
kuburan secara musiman (seperti peringatan khaul - pen) (I'anatut
thalibin, juz2, hal. 146). Di dalam Kitab Fiqih Mughnil Muhtaj
disebutkan demikian: "Adapun menyediakan hidangan makanan oleh
keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah bid'ah,
dan dalam hal ini Imam Ahmad yang sah dari Jarir bin Abdullah, ia
berkata, "Kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga
mayit dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit untuk acara itu,
adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayit), yaitu
haram." (MUGHNIL MUHTAJ, juz 1, hal. 268). Di dalam Kitab Fiqih
Hasyiyatul Aqlyubi, dinyatakan demikian: "Syekh Ar Ramli
berkata, "Di antara bid'ah yang munkarat (yang tidak dibenarkan
agama), yang tidak disukai dikerjakan, yaitu sebagaimana diterangkan
di dalam Kitab Ar Raudlah, yaitu apa yang dikerjakan orang, yang
disebut: kirafah," dan hidangan makanan untuk acara berkumpul di
rumah keluarga mayit, baik sebelum maupun sesudah kematian, dan juga
penyembelihan di kuburan." (Hasyiyatul Qalyubi, juz 1, hal.
353). Di dalam Kitab Fiqih karangan Imam Nawawi, AL MAJMU' syarah
MUHADZAB, antara lain dikatakan demikian: "Adapun penyediaan
hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di
situ adalah tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah
bid'ah. " (An-Nawawi, AL MAJMU' SYARAH MUHADZAB, juz 5, hal.
286). Juga pengarang I'anatut Thalibin mengutip keterangan dalam
Kitab AL JAMAL SYARAH AL MINHAJ, yang berbunyi demikian: "Dan di
antara bid'ah yang munkarat yang tidak disukai, ialah apa yang biasa
dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul
dan acara hari ke empatpuluh, bahkan semua itu adalah haram."
(I'anatut Thalibin, juz2,hal. 145-146). Selanjutnya pengarang Kitab
tersebut mengutip keterangan dalam Kitab TUHFATUL MUHTAJ SYARAH AL
MINHAAJ, sebagai berikut: "Apa yang dibiasakan orang tentang
menghidangkan makanan untuk acara mengundang orang banyak ke rumah
mayit adalah bid'ah yang tidak disukai, sebab ada hadits yang
diriwayatkan Jarir, bahwa ia berkata, "Kami (para sahabat
Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) menganggap, bahwa berkumpul
di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah
sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayat), yaitu haram."
(I'anatutThalibin, juz 2, hal. 145-146). Lebih lanjut pengarang kitab
tersebut mengutip fatwa Mufti Madzhab Syafi'i, Ahmad Zaini bin Dahlan
sebagai berikut: "Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa
mencegah umat dari bid'ah munkarat ini adalah berarti menghidupkan sunnah
Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, mematikan bid'ah, membuka
seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat- rapatnya
pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka
berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan." (I'natut
Thalibin, juz 2, hal. 145-146). Dan di dalam Kitab Fiqih Alal
Madzahibil Arba'ah, dinyatakan demikian: "Dan di antara bid'ah
yang tidak di sukai agama ialah, apa yang dikerjakan orang tentang
memotong binatang-binatang ketika mayit di keluarkan dari tempat
bersemayamnya atau di kuburan dan juga menyediakan hidangan makanan
yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ta'ziyah." (Abdurrahman
Al Jaza'iri, AL FIQHU ALAL MADZAHIBIL ARBA'AH, juz 1, hal.539).
Demikian pendapat Ulama Syafi'iyah tentang selamatan kematian yang
sepakat bahwa amalan tersebut adalah BID'AH MUNKARAT. Dasar mereka
ialah kesepakatan (ijma') Sahabat Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI
WASSALAM, yang menganggap 'haram' hukum amalan tersebut. Jika timbul
pertanyaan tentang masalah semacam ini dapat dijawab sbb: Bahwa
sedekah itu akan lebih tepat mengena pada sasarannya, lebih berarti
dan tentu lebih utama, kalau di wujudkan dalam bentuk selamatan atau
walimahan, tapi diberikan langsung kepada FUQORA' MASAKIN, sebab
dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir dan yang di undang
adalah orang- orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai
sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka, kalau tidak boleh
dikatakan hampir tidak berarti sama sekali. Ini kalau dipandang makna
sedekah itu dari segi kepantingan materil para fuqaha dan masakin.
Tambahan lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka
akan terjadi talbisul haq bil bathil (mencampuraduk antara yang haq
dan bathil). Sebab di satu pihak, sedekah adalah di perintahkan agama
sedang dipihak lain yaitu berkumpul dengan hidangan makanan di rumah
ahlil mayit adalah haram, dan mengirim pahala semacam itu sendiri
juga perbuatan sia-sia. Di sinilah letaknya, bahwa kalau hidangan
makanan itu diniatkan sebagai sedekah, maka terjadi campuraduk antara
yang haq dan bathil. SANTUNAN UNTUK KELUARGA MAYIT Menurut sunnah
Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, kepada tetangga dari keluarga
yang ditimpa musibah kematian anggota keluarganya, dianjurkan agar
mambantu meringankan beban penderitaan lahir maupun bathin, dengan
sekedar memberikan santunan berupa bahan makan, lebih- lebih jika
keluarga mayit itu orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin.
Imam Syafi'i didalam Kitabnya AL UM, antara lain mengatakan demikian:
"Dan aku menyukai, bagi tetangga mayit atau sanak kerabatnya
untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit, pada hari datangnya
musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengeyangkan mereka,
dan amalan yang demikian itu adalah sunnah." ( As Syafi'i, AL
UM, juz 1, hal. 247). Selanjutnya Imam Syafi'i mengatakan bahwa hal
itu berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Ja'far sbb: "Abdullah
bin Ja'far berkata, tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja'far,
Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM bersabda, "Hendaklah kamu
membuat makanan untuk keluarga Ja'far, sebab mereka telah ditimpa hal
yang menyusahkan." (HR. As Syafi'i/AL UM, juz 1, hal. 247).
Hadits ini menunjukkan bahwa menurut sunnah Rasulullah
SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, kaum Muslimin baik tetangga mayit atau
sanak kerabatnya, hendaknya berusaha menghibur keluarga mayit yang
sedang ditimpa kesusahan itu dengan cara memberikan bantuan barupa
bahan makanan dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang
tidak mampu atau miskin. Maka Imam Syafi'i menganjurkan juga kepada kaum
Muslimin agar mengamalkan ajaran yang mulia ini, karena hal itu
sesuai dengan sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM.
Sementara tradisi masyarakat muslim di tanah air kita ini masih
berbuat hal yang bertentangan dengan anjuran Imam Syafi'i tersebut
yaitu masih berlanjutnya tradisi selamatan hari ke tiga, ke tujuh, ke
empat puluh, ke seratus, ke seribu dsb. dengan menyediakan hidangan
makanan yang di samping acara selamatan juga disertai acara tahlilah,
yang justru keduanya merupakan amalan yang tidak dibenarkan oleh
ulama-ulama Syafi'iyah yang berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
23.
|
Pengirim: Ridwan - Kota:
Probolinggo
|
|
Tidak ada paksaan
kepada keluarga Mayat untuk mengadakan perjamuan kepada orang-orang
yang hadir dalam majelis Tahlilan, jadi tidak ada istilah memberatkan
bagi keluarga mayat. Memang yang dimakruhkan ketika hal itu
memberatkan keluarga mayat, karena mereka adalah pihak yang bersedih.
Adapun tujuan Tahlilan adalah mendoakan Mayat, dan membantu keluarga
mayat mengikhlashkan kepergian si mayat. Adalagi bila makanan itu
berupa sesaji, maka hukumnya sudah jelas haram dan syirik. Dan juga tidak
ada aturan yang menyatakan harus diadakan pada 3, 7, 40, 100 hari
atau berapapun acara itu dilaksanakan. Tidak ada paksaan mengenai hai
itu, hanya saja hal itu kebiasaan baik saja dan ada juga hadits
tentang disunnahkan selama 7 hari. Bukan wajib 7 hari. Gitu aja ko'
repot.... Walloohu A’lam Bish Showaab.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
24.
|
Pengirim: Ridwan
- Kota: Probolinggo
|
|
Hadits yg dhaif
bukanlah hadits yg maudhu ? Mencari tahu penyebab kenapa para Sesepuh
NU memakai pendapat lemah daripada pendapat mayoritas yang mencela
Perjamuan Tahlilan. Hadits yg dhaif bukanlah hadits yg maudhu, tetapi
hanya hadits yg lemah sanadnya tetapi bukan hadits yg bohong krn
asalnya dari nabi juga hadits yg dikatakan dhoif adalah hadits yg
derajatnya kurang sedikit dari hadits shahih dan hasan Contohnya ada
sebuah hadits berasal dari nabi, kemudian turun ke Mansur kemudian
turun lagi pada Zeid,turun lagi kepada Khalid dan akhirnya turun
kepada ibnu majah atau abu daud, kemudian Ibnu Majah dan Abu Daud
membukukan hadits tsb dlm kitabnya Kalau yg bertiga tsb yaitu
Mansur,Zeid dan Khalid terdiri dari orang baik baik dng arti baik
perangainya, saleh orangnya,tidak lupa hafalannya maka hadits tsb dikatakan
hadits shahih Tetapi kalau dari ketiganya ada yang terkenal dengan
ahklaknya yg kurang baik umpamanya pernah makan sambil berjalan
dimuka umum suka lupa hafalannya, maka haditnys dinamakan hadits
dhaif Sehinga pada hakikatnya hadits yg semacam ini adalah dari
kanjeng nabi juga tetapi hanya sanadnya yg kurang baik, bukan
haditsnya yang kurang baik. Kenapa hadits yg dhaif bisa dipaki sbg
dalil ? maka semua itu akan bersiggungan dengan Ijtihad Empat Imam
mujtahid Muthlak mempunyai bebrapa ijtihad yg berbeda dlm masalah ini
Dlm Mazhab Imam Syafi'i Hadits Dhaif tidak dipakai untuk dalil bagi
penegak hukum,tetapi dipakai bagi Fadhailul Amal (amalan sunah)
seperti zikr,doa, tahlil dsb Dlm mazhab hambali lebih longgar hadits
dhaif dipakai dlm penegakan hukum dan fadhailul a'mal Imam Malik, Abu
HAnifah dan Imam Ahmad memaki hadits dhaif krn mursal baik untuk
penegakkan umum maupun fadhailul amal So Landasan dari ulama ulam NU
pun sudah berpegang kepada Ijtihad dari Imam syafi'i, jadi kalau
menurut ana pendapat itu tidaklah bertentangan dengan orang orang
yang "anti Tahlil" (maaf ya kalau saya kutip lagi. Sehingga
kalau menurut ana hanya orang orang yang anti tahlil saja yang tidak
mengerti permasalahan tahlilah tsb
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi
|
|
|
|
|
|
|
|
25.
|
Pengirim: Anis
- Kota: Indramayu
|
|
Dhiii ... Sandhi, tahu
nggak sih arti keluarga mayyit yang sedang kesusahan, siapa saja
mereka ? Mereka adalah ahli waris mayyit. Pernah nggak sih ikut
menyaksikan ibu-ibu para tetangga yang melayat ke tempat rumah duka ?
Para ibu tetangga dan sanak famili mayyit yang bukan ahli waris itu
datang berbondong-bondong ke rumah mayyit dengan membawa beras, gula,
teh, kopi, dan bahan makanan lainnya untuk disumbangkan kepada
keluarga mayyit, dengan tujuan untuk dijadikan suguhan bagi para tamu
yang bertakziyah. Tahu nggak sih siapa yang masak untuk para tamu itu
? Mereka adalah para tetangga terdekat dan sanak famili yang hatinya
digerakkan oleh Allah untuk ikut memebantu keluarga mayyit, layaknya
mereka yang saling membantu di saat tetangganya mempunyai hajatan
pernikahan salah satu anaknya atau yang semisalnya. Jadi, keluarga
mayyit sama sekali tidak terbebani oleh apapun. Bahkan sering kali
seusai acara tahlilan, baik yang dilaksanakan selama tiga hari maupun
yang satu minggu, ternyata bahan makanan kiriman tetangga itu masih
berlebihan, sehinnga dapat dimanfaatkan oleh keluarga ahli waris si
mayyit. Nah, cocok toh amalan orang NU dengan perintah Nabi SAW. Lah
sampean nggak pernah kumpul orang kampung yang mengadakan tahlilan
saja, kok berani-berani komentar, mana bisa sampean tahu apa yang
terjadi sesungguh di masyarakat. Nah yang paling tampak di tengah
masyarakat ternyata adalah KEBODOHAN SANDHI dan CS-nya, wong nggak
tahu hakikatnya kok berani komentar. Hai...masyarakat, buang saja tuh
Sandhi dan pendapatnya di tempat sampah, biar nggak merepotkan
masyarakat. Pak RT ... , tolong yaa kalau Sandhi ngurus perpanjangan
KTP, suruh saja di pindah ke hutan, biar hidup bersama bangsa monyet
yang sama-sama nggak pernah hadir tahlilan untuk temannya yang mati.
Toloooong dong Pak RT ....!!
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi. Agar tambah ngerti agama.
|
|
|
|
|
|
|
|
26.
|
Pengirim: diqqi
- Kota: temanggung
|
|
memang benar dan
sangat valid kalau orang2 yang suka mentaksfir orang, menuduh bid'ah,
dan menganggap dirinya paling baik. imannya tidak lebih hanya sampai
dikerongkongan.sperti yang diriwayatkan imam bukhori..( akan keluar
suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. mereka
banyak mengucapkan perkataan"khairil bariyah,iman mereka tidak
melampaui kerongkongan mereka. mereka keluar dari agama sebagaimana
meluncurnya anak panah dari busurnya. kalau orang ini berjumpa
denganmu lawanlah)
sekarang sebagai umat islam mari kita mempererat ukhwah islamiyah
kita, karena orang2 seperti diatas baaru memmbuat program GAM(gerakan
ambil masjid, gerakan anti maulid, gerakan amanah memurnikan islam)
dan banyak lagi siasat yang digunakan Orang2 ini.
LAYAKNYA SEORANG KWARIJ..
terus berjuang yai...,LAWAN ORANG2 RADIKAL, LIBERAL, LDII..KAMI
PERWAKILAN TEMANGGUNG BANYAK BERTERIMA KASIH KEPADA PEJUANG ISLAM
KHUSUSNYA YAI LUTFI
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Mudah-mudahan bermanfaat bagi umat Islam Indonesia yang
mayoritas bermadzhab Sunni Syafi'i. Amiiiiin.
|
|
|
|
|
|
|
|
27.
|
Pengirim: Maulana Al-Musawa
- Kota: Jakarta
|
|
Assallaamualaikum..
Tadz ada teman ana yang bertanya kepada ana ketika ana kirimkan artikel
tentang bid'ah Hasanah dan dalalah..
seperti ini pertanyaannya :
Bgmna pndpt akhi dgn perbedaan pemahaman aqidah kita selama ini,
Sbgi cntoh; ketika rey mengatakan sesuai syariah bahwa
KULLU BIDAHTIN DHALALAH
Kemudian Akhi mengirimkn cttn, bhwa bidah ada yg hasanah !
Afwan yaa Akhi_
hal ini sudah merupakan salah-satu dari perbedaan pemahaman kita..
Sblmnya rey diamkan dgn harapan utk kemudian Akhi menyadari
kekeliruan dari pendapat yg menyalahi syariat tsb, namun stlh bbrpa
wktu; rupanya semakin jelas beda yg ada
Dan rey menyimpulkan bhwa Akhi seorang pengagung tasyawuf (perpaduan
faham shufi-syiah)
Ketahuilah AKhi AL kariim;
bahwa bid'ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan.
Sebab seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut akan dosanya
dan seringkali melakukan maksiatnya dengan sembunyi-sembunyi atau
melarikan diri setelah berbuat.
Sedangkan pelaku bid'ah justru akan semakin tenggelam dalam
kebid'ahannya; yang dia akan semakin merasa yakin bahwa dia telah
berada di atas kebenaran.
Padahal setiap pelaku bidah tidak akan diterima seluruh amalnya
selagi ia belum meninggalkan kebidahannya jadi sngt tdk mungkin
pelaku bidah utk bertobat jika dia telah menganggap bhw yg
dilakukannya adlh sbh kebaikan
Itulah maksud dari kalimat diatas bhw bidah lebih berbahaya dari
kemaksiatan.
Berikut adlh akibat buruk yang dialami pelaku bid'ah ; yakni :
1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru dalam urusan
(agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu
tertolak."
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah ra)
2. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid'ahan
itu. Rasulullah SAW bersabda:
"Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid'ah sampai dia
meninggalkan bid'ahnya."
(HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As
Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)
3. Pelaku bid'ah akan mendapat laknat karena Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang berbuat bid'ah, atau melindungi kebid'ahan,
maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh
manusia."
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari 'Ali bin Abi Thalib ra).
-----------------------------------------------
Dan mengenai tulisan pd cttn Akhi; (sedikit rey tanggapi) yg
menganggap bhw shlt tarawih itu adlh bidah yg hasanah; sesungguhnya
tidaklah demikian adanya_
Ketahuilah ya Akhi bahwa sholat tarawih itu bukan bid'ah tapi sunnah
yg diriwayatkan oleh Aisyah Radiallahu,anhu bahwa Rasulullah SAW pada
suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau.
Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu
malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu
Rasulullah SAW). Namun beliau tidak keluar.
Pada pagi harinya, beliau SAW bersabda:
Saya telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang
menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali
kekhawatiran (kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.
(Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)
Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau
meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Maka tatkala Umar z melihat
alasan ini (kekhawatiran Rasulullah SAW) sudah tidak ada lagi, beliau
menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian,
jelaslah bahwa tindakan khalifah Umar z ini mempunyai landasan yang
kuat yaitu perbuatan Rasulullah SAW sendiri.
Jadi jelas bahwa bidah yang dimaksudkan oleh Umar bin Al-Khaththab z
adalah bidah dalam pengertian secara bahasa, bukan menurut istilah
syariat. Dan jelas pula tidak mungkin Umar berani melanggar atau
menentang sabda Rasulullah SAW yang telah menyatakan bahwa: Semua bidah
itu sesat.
-------------------------------------------------------------------
ana minta tolong sama ustadz untuk menanggapinya..
Terimakasih tadz.
Wassallaamualaikum.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
1. Akhi baca artikel saya Kullu Bid'atin dhalalah ini,
sekalian seluruh comentar pengunjung, akhi pasti akan mendapatkan
jawabannya.
2. Ada teman yang mau bantu jawabannya.
3. Pada artikel Peringatan Maulid Nabi SAW, tolong akhi baca
di Karya Tulis Pejuang. Krn Abuya Almaliki juga sudah memberi
jawaban lengkap.
|
|
|
|
|
|
|
|
28.
|
Pengirim: Wahhabi
- Kota: Indonesia
|
|
Bismillah, yg jelas
jika kita tidak melakukan ziarah kubur safar, sholawat gaya baru,
peringatan haul, dzikir berjamaah dipimpin seseorang, dan yg
semisalnya maka sama sekali tidak salah - krn Nabi & para
Shahabatnya tidak pernah melakukan yg demikian - shg kalo kita
menyalahkan org2 yag tidak mau melakukan hal2 tsb berarti menuduh
Nabi & para Shahabatnya telah salah - naudhubillah. Sedangkan
bagi yg melakukannya kalo tidak yakin bid'ah minimalnya ragu syubhat
ant benar ato salah, sedangkan disebutkan dlm Al Qur'an (yg artinya)
: (Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan 10:32) -
dan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yg artinya) :
(Sungguh aku telah tinggalkan kepada kalian ajaran yang putih bersih
malamnya seperti siangnya, tidak menyimpang darinya melainkan pasti
akan binasa -maaf lupa diriwayatkan siapa namun dari shahabat Al
'Irbadh Radhiyallahu 'anhu ) Wallahu a'lam
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Anda tidak suka ziarah kubur itu maklum, karena anda
tidak senang kepada Nabi SAW yang memerintahkan : Kuntu
nahaitukum 'an ziyaaratil qubuuri, alaa fazuuruuha (dulu aku
melarang kalian berziarah kubur, tetapi kini berziarah
kuburlah. HR. Muslim)
Anda tidak senang baca shalawat dan pujian kepada Nabi SAW,
ya sangat dimaklumi, karena anda tidak senang kepada Nabi SAW
dan anda tidak pernah tahu sejarah bagaimana shahabat Hassan
bin Tsabit saat mengubah syair-syair pujian kepada Nabi SAW
dengan bahasa-bahasa yang indah sebagai makna shalawat kepada
Nabi SAW.
Anda tidak senang menghauli (berdoa setiap tahun) untuk
keluarga muslim, ya sangat dimaklumi, karena anda sangat
sulit memahami bagaimana Nabi SAW 'alaa raksi haulin (setiap
tahun/haul) berziarah dan membacakan doa untuk para syuhada
Baqi' dan Uhud (HR. Baihaqi)
Anda tidak senang ikut dzikir berjamaah, sangatlah maklum
karena ada tidak pernah paham Hadits Qudsi, Allah berfirman
yang artinya: Barang siapa yang menyebut (berdzikir)
kepada-Ku dalam kelompok yang besar (berjamaah), maka Aku
(Allah) akan menyebut (membanggakan) nya dalam kelompok
(malaikat) yang lebih besar (banyak) pula (HR.
Bukhari-Muslim)
|
|
|
|
|
|
|
|
29.
|
Pengirim: Ridwan
- Kota: Probolinggo
|
|
Untuk Wahhabi
Indonesia :
Yg salah adalah org mencela dan menganggap suatu amalan yg kami
(nahdliyin) lakukan adalah sbuah kesesatan.
Bid'ah itu telah trjadi di zaman rasul dan stelah rasul wafat. coba
baca scara seksama artikel2 kiai Luthfi. Bantah dalil juga dg dalil
bkn dg asumsi.
Kami tdk prnah menyalahkan org yg tdk mengamalkan apa yg kami
amalkan. Kami hnya menyesalkan ada org yg trburu2 bicara tnpa ilmu
dan menyesat2kan amaliah org lain.
Dalam mu'amalah: kami melakukan smua amal, kcuali ada dalil yg
mlarangnya. Pada dasarnya amaliah kami brdasar qur'an wa sunnah....
Gimana jika anda ngomong sama syeikh anda, bicarakan gimana jika
syeikh anda dipertemukan dalam sbuah forum ilmiah untuk bertabayyun
kpd kami. Tentunya jika anda berani dan bersikap suportif....
Bahwa amaliah yg kami amalkan bukan sebuah syubhat. Tdk ada ulama yg
mengatakan syubhat, kcuali anda dan Syeikh2 anda.
Belalakkan mata, baca referensi ulama selain dari golongan anda, biar
anda dapat bersikap obyektif, analisis, dan kritis trhadap Syeikh2
anda. perlu forum untuk mmpertemukan, jadi tidak bs selesai di media
ini.
trimaksih
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kami posting untuk Wahhabi Indonesia, agar dapat menambah
pemahamannya dikit.
|
|
|
|
|
|
|
|
30.
|
Pengirim: sayuti nor
- Kota: medan
|
|
saya mau bertanya
ustadz, apakah bid`ah dolalah itu mendatangakan perbuatan haram ? ada
ngak dalilnya ustadz
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Bid'ah dhalalah adalah menciptakan amalan baru dalam
Islam yang bertentangan dengan ajaran syariat. Contohnya
mengadakan kegiatan Doa Bersama Muslim - Non Muslim, dan
dipimpin secara bergantian oleh tokoh-tokoh dari selurh
agama. Amalan ini bertentangan dengan firman Allah Lakum
diinukum waliyadin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
Ritual agama Islam tidak boleh dicampur aduk dengan ritual
agama lain. Sedangkan Nabi SAW berdabda: Adduaa mukhkhul
ibaadah (doa itu adalah inti ibadah).
|
|
|
|
|
|
|
|
31.
|
Pengirim: Rickie astafi
- Kota: Bengkalis
|
|
dalam masaalah agama
saya masih merasa kurang ngerti adanya perbedaan kenduri arawah kata
imam syafii kenduri arwah itu tidak ada tetapi kalau dipikir memang
benar bahwa kenduri itu nggak salah karena bid;ah hasanah, jadi
gimana dengan masaalah ini!
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kenduri itu adalah bahasa Indonesia, artinya seseorang
mengundang masyarakat untuk menghadiri hajatan keluarganya,
lantas sebagai tuan rumah yang baik tentunya akan memberi
jamuan makanan dan minuman kepada tamu undangan, baik itu
acara walimah nikah, resepsi pernikahan, ulang tahun, arisan,
kirim doa untuk sesepuh alias tahlilan, tasyakkuran haji, dan
lain sebagainya. Hampir semua masyarakat dari semua aliran
pernah menghadiri hajatan keluarga dan mendapat jamuan makan
yang dinamakan kenduri. Jadi tidak ada larangan sedikitpun,
bagi tuan rumah yang akan menjamu para tamunya, bahkan
termasuk sunnah ikramud dhoif, menghormati tamu. Adapun yg
sering dipermasalahkan oleh kaum Wahhabi adalah penjamuan
bagi para pelayat saat pada hari2 pertama mayyit wafat,
karena diduga memberatkan keluarga mayyit yg terkena musibah,
ini adalah salah persepsi, karena realitanya di saat mayyit
wafat, maka para tetangga kanan kiri, serta handai taulan,
karib kerabat pada berdatangan di samping bertakziyah mereka
juga membawa sembako untuk diberikan kepada keluarga mayyit,
dan ada juga yang membantu mengelolah memasak sembako itu
untuk disuguhkan kepada para pelayat, sehingga keluarga ahli
warits mayyit tidak mengeluarkan sepersenpun dalam menjamu
para pelayat dan tidak terbebani tenaga sedikitpun. Bahkan
yang lazim terjadi, setelah selesai mengirim doa tahlil pada
hari yang ditentukan, maka terjadi kelebihan sembako yang
menjadi hak bagi keluarga ahli warits si mayyit. Maka sudah
sesuai dg perintah Nabi : masakkanlah untuk ahli warits
mayyit yang sedang kesusahan.
|
|
|
|
|
|
|
|
32.
|
Pengirim: akrom
- Kota: semarang
|
|
apa dalilnya doa
berjamaah, dzikir berjamaah baik diluar sholat maupun diluar
sholat
|
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Alhamdulillah, di bumi Sunni Syafi'i, Indonesia ini masih
banyak umat Islam yang mengamalkan ajaran Nabi SAW, antara
lain yang disebutkan dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi
dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda : Maa qa'ada qaumun lam
yadzkurullaha fiihi walam yushallu 'alan nabiyyi shallallahu
alaihi wasallam, illaa kaana alaihim hasratan yaumal
qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di suatu tempat,
dan tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula bershalawat
untuk Nabi SAW, kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada
hari kiamat).
Yang dinamakan kaum dalam hadits di atas adalah sekelompok
orang yang duduk bersama dalam suatu majelis. Jika saja yang
dimaksudkan adalah perorangan, maka Nabi SAW cukup mengatakan
maa qa'ada rajulun (tidaklah seseorang yang duduk), tetapi
Nabi SAW mengatakan qaumun (suatu kaum).
Artinya baik mereka membacanya secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, bahkan pemahaman yang lebih dekat dengan
kebenaran, adalah secara bersama-sama, baik dengan suara
pelan dan lirih, yang hanya dapat didengarkan oleh dirinya
sendiri, maupun dengan mengangkat suara secara wajar sehingga
terdengar suara koor dalam melantunkan senandug dzikir maupun
shalawat Nabi, hal ini sama seperti yang dilakukan umat Islam
di saat menggemakan takbiran di malam Hari Raya secara
bersama-sama dengan suara keras.
Semua cara dalam menghidupkan majelis dzikir dan shalawat
yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sama, tidak ada
larangan secara spesifik baik dari Alquran maupun hadits
shahih manapun.
Karena itu, kegiatan masyarakat Indonesia yang marak
dilakukan di pedesaan, perkampungan, maupun perkotaan dalam
mengadakan majelis dzikir kepada Allah, majelis shalawat
untuk Nabi SAW, maupun majelis ta'lim untuk memahami ajaran
syariat Islam adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad
SAW.
Ayoo lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis
ta'lim di wilayah kita masing-masing, agar tidak ada
penyesalan pada hari Qiyamat nanti.
Bravo warga Sunni Syafi'i di Indonesia.
|
|
|
|
|
|
|
|
33.
|
Pengirim: moes simon
- Kota: jakarta
|
|
sy heran ,,, mengapa
ada doa yang mengatakan " muslimina wal muslimat , walmukminii
wal mukminat ,, intinya kalau terputus amal baik manusia kecuali '
amal yang baik ' amal yang baik " dan sedekah " kalau lah
tahlilan di kaitkan dengan bid'ah ,, kenapa ada doa yang seperti itu,
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Karena itu, biarkan saja ANJING MENGGONGGONG, kafilah
Tahlilan tetap berjalan.
|
|
|
|
|
|
|
|
35.
|
Pengirim: wahyudi
- Kota: jember
|
|
melanjuti apa yang
telah dianjurkan ust waktu di SMS.begini ust... saya pernah dengar dr
salah seorang teman saya, bahwa bacaan al-fatihah yang dikirim oleh
seseorang kepada mayyit yang bkn mrupakan sanak famili dari mayyit,
mk pahalanya tidak akan sampai kpd si mayyit karena mereka mempunyai
dasar bahwa semua amal mayyit akan terputus kecuali 3 perkara(ank
soleh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah).......NAH waktu di SMS
ust jwb "ayat itu sdh di mansukh dgn ayt lain...tolg berikan
jawaban tentang pertanyaan tsb dgn detail sehinga kevalidtannya tdk
diragukan lagi, dan bunyi ayat yg menasakh
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Banyak jawaban untuk menerangkan surat Annajm pada ayat
wa an laisa lil insani illaa maa sa'aa :
1. Sesuai dengan pemberiataan isi ayat, bahwa aturan itu
berlaku bagi umatnya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa (fi shuhufi
ibraahiima wa muusa). Sedangkan dalam syariat Nabi Muhammad
SAW ayat tersebut sudah dimansukh oleh ayat wa alhaqnaa
dzurriyyatahum (dan Kami masukkan sorga anak cucu mereka),
artinya karena kebaikan amalan orang-orang tua, maka Allah
berkenan memasukkan anak cucu orang-orang shalih itu ke dalam
sorga), demikian ini menurut tafsir Shahabat Abdullah bin
Abbas RA.
2. Ibnu Taimiyah sendiri menerangkan ada 21 jawaban tentang
ayat wa an laisa lil insaani illaa maa sa'aa, di dalam kitab
Ghayatul Maksud hal 101, antara lain Ibnu Taimiyah mengatakan
: man i'taqada annal insaana laa yantafi'u illaa bi'amalihi,
faqad kharraqal ijmaa', wa dzaalika baathilun min wujuuhin
katsiirah (barangsiapa yang meyakini bahwa manusia (termasuk mayit)
itu tidak dapat mengambil manfaat (pahala dari orang lain)
kecuali hanya dengan amalnya sendiri, maka ia telah melanggar
(merusak) ijma' (kesepakat para shahabat/ulama) dari beberapa
sudut pandang, (Ibnu Taimiyah mencontohkan) :
- Bahwasannya seseorang itu dapat mengambil manfaat dari
doanya orang lain, ini termasuk mengambil manfaat dari amalan
orang lain.
- Bahwa Nabi SAW kelak akan mensyafa'ati calon-calon penghuni
sorga di Padang Mahsyar, kemudian mensyafa'ati kaum muslimin
yang masuk neraka untuk dikeluarkan lantas dimasukkan ke
dalam sorga berkat syafaat Nabi SAW. Ini juga termasuk
mengambil manfaat dari amalan orang lain.
- Demikian hingga 21 keterangan dari Ibnu Taimiyah, tapi
cuplikan ini sudah cukup mewakili semuanya. Kami persilahkan
juga akhi membaca artikel : IKUT TAHLILAN YOOK !
|
|
|
|
|
|
|
|
36.
|
Pengirim: is
- Kota: jawa
|
|
bagaimana hukumya
ketika disuruh menghadiri 3 hari umat nasrani? padahal tetanga
sebelah
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Kaum Nasrani mempunyai jemaat tersendiri di luar Islam.
Biar mereka mengurusi komunitasnya sendiri dan tidak
melibatkan umat Islam. Menghadiri ritual non muslim
jelas-jelas bid'ah dhalalah yang sesat sekalipun si non
muslim itu tetangga. Ada cara lain dalam mengaplikasikan
kewajiban menghormati tetangga, yaitu tidak mengganggu
tetangga yang non muslim selagi mereka tidak membuat
keresahan.
|
|
|
|
|
|
|
|
37.
|
Pengirim: Athiyyah
- Kota: sangata
|
|
Bingung dengan tulisan
d atas, d satu sisi berdalil pad Al-Qur"an n Hadits tapi di lain
sisi berdall dengan akal...
kalau merujuk pada tulisan diatas...maka, makan bakso adalah
bid"ah karena Rasulullah tidak pernah melakukannya.
Allahua"lam...
|
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Bid'ah menurut versi Wahhabi berbeda dengan versi Ahlus
sunnah. Tatkala Nabi SAW mendiskrepsikan Bid'ah, beliau hanya
mengatakan KULLU BID'ATIN DHALALAH. Ahlus sunnah mengikuti
pemahaman dengan dalil Alquran- bahwa arti KULLU adalah
SEBAGIAN, maka menghasilkan arti SEBAGIAN BIUD'AH ITU SESAT
(berarti sebagian lagi tidak sesat). Jadi menurut Ahlus
sunnah, bahwa Bid'ah itu dibagi dua, pertama: Bid'ah
Hasanah/baik karena tidak menentang syariat, seperti makan
bakso hukumnya boleh sekalipun tidak pernah dicontohkan oleh
Nabi SAW. Kedua : Bid'ah Dhalalah/sesat, karena menentang
syariat, contohnya mengadakan doa bersama dengan non muslim
dalam satu mimbar, dengan bergantian memimpin doa dari
tokoh-tokoh yang berlainan agama.
Wahhabi memaham bahwa arti KULLU itu adalah SEMUA. Maka hal
ini mengharuskan adanya pemahaman bahwa: Segala amalan ummat
Islam yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW dinilai
sesat. Nabi SAW nggak pernah makan bakso, berarti jika ada
umat Islam yang makan bakso, termasuk Bid'ah Sesat, tentunya
menurut Wahhabi. Nah, tatkala Wahhabi mendapatkan
permasalahan seperti ini, mereka mencari solusi akal-akalan,
yang tidak berdasarkan satupun hadits shahih apalagi ayat
Alquran, yaitu membagi Bid'ah menjadi dua juga. Hanya, biar
tidak dikatakan mencontek Ahlus sunnah, maka Wahhabi membagi
Bid'ah pertama : Bid'ah Duniawiyah/keduniaan dan boleh
diamalkan sekalipun tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW,
seperti bolehnbya orang Wahhabi makan bakso. Yang kedua
adalah Bid'ah Diniyah/sesat, yaitu semua amalan umat Islam
yang tidak mencocoki pemahaman Wahhabi maka dihukumi sesat.
Sekalipun umat Islam mampu menjelentrehkan dalil-dalil
Alquran dan Hadits shahihnya terhadap amalan yang mereka
kerjakan, namun jika tidak memenuhi selera Wahhabi, tetap
saja divonis sebagai Bid'ah Dhalalah/sesat.
Paradoksnya, sampai detik ini, kaum Wahhabi belum dapat
menunjukkan satu saja ayat Alquran maupun Hadits Shahih
(bukan nalar dan akal-akalan) bahwa Allah atau Nabi SAW
membagi Bid'ah menjadi dua, yaitu BID'AH DUNIAWIYAH dan
BID'AH DINIYAH. Kalau kaum Wahhabi masih menggunakan nalar
dan akal-akalan untuk berdalil, mak apa bedanya dengan metode
yang dilakukan oleh Ahlus sunnah. Mudah-mudahan nalar Akhi
sudah semakin faham saat membaca ulang artikel KULLU BID'ATIN
DHALALAH.
|
|
|
|
|
|
|
|
38.
|
Pengirim: johny_marta@yahoo.com
- Kota: medan
|
|
Sesuai dgn ilmu nahu
maka "kullu" artinya semua jika tidak ada kata
istisna(pengecualian seperti illa ,walakin).. disini taksis dari
kullu tidak ada.
Mengenai : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. disini adalah
tafsir maka siapa yg hayyin itu? Hayyin adalah anak cucu Adam
dibumi.Allah telah menurunkan Adam dan hawa ke bumi maka hidup dan
matilah engkau disitu(sari Alquraan).Mentaksiskan dalil qathi' harus
dgn qathi bukan tafsir zanny seperti itu kerna tidak tepat yang hidup
itu termasuk iblis malaikat saja maka Allah SWTpun hidup.(hayyun)tapi
kekal ;Jadi arti hayyun disini adalalah makluk hidup dibumi.Bagaimana
saya balik ke anda :wa innAllaha 'ala kulli syain qadir(Allah
berkuasa atas segala sesuatu(semua).Apa bisa sdra. katakan Allah SWt
hanya berkuasa atas sebagian??Jadi Tuhan mana lagi yg kuasa thdp yg
lainnya??Tentu cara menterjemah kullu dgn cara seperti sdra. tidak
benar.Dalam Ibadah hanya atas dasar perintah dlm muamalah atas dasar jika
ada larangan, maka ibadah ada istilah bid'ah sedangkan muamalah
dipakai istilah halal,haram dsbnya.Ini penjelesan ringkas jika mau
panjang .Baca Ilmu Pengantar Fikih Hasby Asadiki & Ushul fikih
wahab Kalaf atau &:hub:johny_marta@yahoo.com
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Ilmu Nahwu, Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih adalah
termasuk BID'AH, karena tidak ada satupun tekstual ayat
Alquran maupun Hadits Shahih yang memerintahkan orang untuk
mempelajarinya, apalagi yang menerangkan sisi keilmuannya dan
menerapkannya sebagai dalil dari sebuah pemahaman.
Hanya saja kami kaum Aswaja mengategorikan Ilmu Nahwu, Ilmu
Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih termasuk BID'AH HASANAH, karena
dalam pengertian KULLU bid'atin dhalalah ini kami terjemahkan
dengan arti: SEBAGIAN bid'ah itu sesat.
Padahal anda dan kaum Wahhabi lainnya menolak pengertian kami
ini, dan anda meyakini arti KULLU bid'atin dhalalah itu
bermakna: SEMUA bid'ah itu sesat.
Dengan demikian anda sendiri telah terjerumus ke dalam
KESESATAN BID'AH nya Ilmu Nahwu, Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul
Fiqih, tentunya menurut persepsi anda sendiri.
Belum lagi anda sudah masuk dalam kawasan KESESATAN BID'AH
dalam persepsi anda sendiri, saat anda mengatakan bahwa yang
dimaksud Hayyin itu khusus untuk makhluk yang hidup di bumi.
Jelas keterangan anda ini adalah Bid'ah dhalalah karena tidak
berdasarkan satupun tekstual ayat Alquran maupun hadits
shahih manapun. Masih banyak sejatinya keterjerumusan anda
dan kaum Wahhabi lainnya dalam lobang KESESATAN SEMUA BID'AH,
sekali lagi ini dalam persepsi anda sendiri tentunya, bukan
dalam pemahaman kami kaum Aswaja.
Pemahaman kami kaum Aswaja selama ini mengenal kontekstual
dari sebuah dalil baik dari ayat Alquran maupun Hadits
nabawi, sehingga kami tidak kaku dalam memahami agama.
Berbeda dengan anda dan kaum Wahhabi lainnya, yang
mengharuskan konsep tekstual jika berdalil untuk sebuah
amalan, namun dalam prakteknya justru banyak melanggar aturan
yang anda buat sendiri, seperti halnya yang terjadi pada kaum
Wahhabi pada umumnya.
|
|
|
|
|
|
|
|
39.
|
Pengirim: khofy alquthfby
- Kota: probolinggo
|
|
Dalam quran masih
banyak kata “kullu” yg tdk selalu brrti semua, melainkan ada
pengecualian. Oia, sy bilangi mas johny kalo nulis itu pakai
referensi, jd tdk hny story atau his story (katanya). Hadis “wa kullu
bid’atin dholalah” adalah nash yg maknanya umum, namun jangkauannya
dibatasi dg dalil2 lain, shg maknanya mnjadi “sebagian besar bid’ah
itu sesat” (syarh al nawawi ‘ala muslim, 6:154). Disisi lain, rasul
seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat
yg blm prnah diajarkan oleh beliau. Misalnya, berkaitan dg tatacara
ma’mum masbuq dlm shlt brjama’ah:
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata “ Pada masa Rosululloh saw., bila
seorang datang terlambat beberapa rekaat menghikuti sholat berjamaah,
maka orang-orang yang lebih dahulu datang akan memberi isyarat
kepadanya tentang rekaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan
mengerjakan rekaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian
masuk kedalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz
bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya
tentang jumlah rekaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi
Mu’adz langsung masuk kedalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan
isyarat mereka, namun setelah Rosululloh saw. selesai sholat, maka
Mu’adz segera mengganti rekaat yang tertinggal itu, ternyata setelah
Rosulullloh saw. selesali sholat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz
bin Jambal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau saw.
menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat sholat kalian”.
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal beliau saw. bersabda: “Mu’adz telah
memulai cara yang baik buat sholat kalian. Begitulah cara yang harus
kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad(5/ 233), Abu Dawud, Ibn Abi
Syaiban dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafidz Ibn
Daqiq al-‘Id dan al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi) Hadits ini
menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti
sholat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam
hadits ini, Nabi saw. tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata
“Mengapa kamu membuat cara baru dalam sholat sebelum bertanya
kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya.
Dalam hadits lain diriwayatkan: “Rifa’ah bin Rafi ra. berkata: “Suatu
ketika kami sholat bersama Nabi saw. ketika beliau bangun dari ruku’.
Beliau berkata: “sami’allohu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki
dibelakangnya berkata: “Rabbana walakalhamdu hamdan katsiran
thayyiban mubarakan fiih”. Setelah selsesai sholat, beliau bertanya:
“Siapa yang membaca kalimat tadi?” laki-laki itu menjawab: “Saya”.
Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih tiga puluh malaikat rebutan
menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari). Kedua sahabat di atas
mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi saw.
yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi saw.
membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang
pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan
syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh
karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Atsqolani menyatakan dalam
Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat
dzikir baru dalam sholat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir
yang ma’tsur (datang daru Nabi), dan bolehnya mengeraskan suara dalam
bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits
”kullu bid’atin dholalah (setiap bid’ah adalah sesat)” , bersifat
umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasululloh saw. akan melarang
setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup. perlu km
ketahui bpk Johny, pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi saw., termasuk
Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam shahih-nya :
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata : “Suatu malam di bulan Ramadhan
aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata
orang-orang dimasjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang
sho;at sendirian. Ada juga yang sholat menjadi imam beberapa orang.
Lalu Umar R.a berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku
kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau
mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku pergi
ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan
sholat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar Berkata
“Sebaik-baik bid’ah adakah ini. Tetapi menunaikan sholat diakhir
malam, lebih baik daripada diawal malam”. Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan tarawih diawal malam.” (HR. al-Bukhari). Rasululloh saw.
tidak pernah menganjurkan sholat tarawih secara berjamaah. Beliau
hanya melakukanya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau
tidak pernah pula melakukanya secara rutin setiap malam. Tidak pula
mengumpulkan mereka untuk melakukanya. Demikian pula pada masa
Khalifa Abu Bakar R.a kemudian Umar ra. mengumpulkan mereka untuk
melakukan sholat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka
untuk melakukanya. Apa yang mereka lakukan ini tergolong bid’ah.
Tetapi bid’ah hasanah karena itu Beliau mengatakan: “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini”
Dan masih banyak lagi dalilnya. Semua bid’ah adalah sesat, perlu
ditelaah dan dikaji kembali dg mensinergikan hadist lain yg
mmbatasinya, shingga maksud dari teks hadist tsb dpt kita ketahui
scara komprehensif. Hal tsb supaya kita tdk ceroboh, dan kata org
madura “wametuah” (bc: sok tau).
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Mas Johny Marta perlu membaca coment ini dengan seksama.
|
|
|
|
|
|
|
|
40.
|
Pengirim: khofy alquthfby
- Kota: probolinggo
|
|
Yg perlu mas johny
fahami, dlm kaidah ushul fiqh yg menegaskan bahwa mmbatasi suatu
dalil harus menggunakan dalil (head to head), bukan dg hawa
nafsu.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Mas Johny Marta perlu baca koment ini dengan seksama.
|
|
|
|
|
|
|
|
41.
|
Pengirim: Joni
- Kota: Medan
|
|
Ass ww. Trima kasih
sudah ditanggap komentar sy yg lalu tapi tidak menjawab pertanyaan sy
yg sangat mendasar atas pengertian "kullu" dlm ayat
"waLllahu a'la kulli sya'in qadir" yg mana semestinya
artinya :Bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu.Kalo dipahami kullu
bisa tidak semua maka arti ayat itu adalah "Bahwa Allah berkuasa
sebagian saja " Bukankah ini bisa jatuh benar2 sesat?Kerna ini
masalah akidah.Maka benarlah makna sesat itu jadi neraka jika
pemahaman yg keliru seperti ini.Sekali lagi sy utarakan kullu bisa
ditaksis jika ada kalimat istisna(pengkecualian seperti illa dsbnya
)Coba renungkan. Kemudian saya disodori soal "bid'ah"
membuku AlQur'an.Disini saya katakan tidak ada bid'ah kerna membuku
Alquran kerna sudah pernah dibuku /ditulis pd zaman Rasul dalam
kulit2 kayu dan kulit binatang namun kerna waktu itu belum ada mesin
offset maka belakangan baru dicetak pakai kertaS HVS sampai
sekarang.Alhamdulillah walaupun sudah dicetak tidak ada suatu ayatpun
yg bertambah.Bukankah Allah Swt telah menyatakan :"Sesungguhnya
Kami yang menurunkan Alquran dan Kami yg memeliharanya?.
Mengenai masalah ilmu Nahu dan sbgnya itu juga bukan bid'ah kerna
Bahasa Arab pada waktu turunnya Alqura' sudah baku bahkan banyak
penyair2 masa itu telah mebuat syi'ir berbau pujian,perjuangan.Bahkan
Rasulullah pernah membuat surat kepada Herklius dari Byzantium dan
membuat surat keperbagai daerah yang beliau mengajak masuk Islam
.Kalau waktu itu Bahasa Arab tidak baku dgn kata lain nahunya belum
ada bagaiamana islam bisa dikembangkan waktu itu.Sungguh Allah Swt
Maha bijaksana menurunkan Alquran dlm bahasa Arab .Surah 12:2
"Sesungguhnya Kami turunkan berupa Alquran berbahasa Arab agar
kamu mengerti"Para Ulama bukan pencipta Nahu tapi mereka hanya
menggali ilmu Nahu yg sudah ada ,dikembangkan dan dicetak sampai
sekarang ini. Ulama ibarat penggali tambang emas dan membuatnya jadi
perhiasan namun emasanya sudah ada dibumi.Pada waktu zaman Rasul
pengajian dan dakwah sudah berjalan dalam bahasa Arab bahkan diantara
guru2 itu ada tahanan perang badar maka mereka sebagai denda disuruh
mengajar kerna mereka faham bahasa arab.Abu 'ubaidtadail hlm 126 :
"uthman bin Affan melaporkan bahwa nabi Muhammad pernah bersabda
: Yg terbaik diantara kalian ialah yg mempelajari Alquran dan
mengajarkannya.Ada pula yg menyatakan bahwa Rasul ada ahadist yg
intinya adalah siapa yg mencontohkan suatu kebaikan maka dapat pahala
maka ini dijadikan dasar membuat amalan2 baru(bid'ah wajib.kasanah
dll) padahal asbabun waurud hadist itu adalah Rasul dalam usaha
mengumpulkan uang utk org miskin maka Jarir duluan mengeluarkan
uang.Maka keluarlah hadist itu yg maksud Nabi adalah siapa2 yg duluan
memberi contoh yg baik terhadap APA YG DIMINTA RASUL bukan yg
lainnya.Maaf terlalu panjang bicata soal bid'ah ini namun sy harapkan
tidak menimbulkan perpecahan dalam Islam.Wallahu'alam
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Loh, Mas Johni, yang menghukumi Ilmu Nahwu sama dengan
Bhs. Arab itu Nabi SAW atau anda sendiri siih ? Saya kan
nggak butuh nalar anda, tapi saya minta dalil qath'i yang
harfiy (tekstual) dari ayat Alquran atau Hadits yang
mengatakan wajibnya BELAJAR ILMU NAHWU. Karena menurut nalar
saya, sangat jauh perbedaan antara pelajaran Ilmu Nahwu
dengan Ilmu Bhs. Arab. Karena Ilmu Nahwu itu hanya bagian
kecil dari Ilmu Bhs. Arab. Buktinya di Indonesia ini banyak
sekali orang yang matang dalam Ilmu Nahwunya, tapi sama
sekali dalam keseharian tidak bisa bicara berbahasa Arab.
Makanya, justru pembatasan pemahaman anda dan kaum Wahhabi
lainnya terhadap lafadz Kullu yang terlalu harfiyah/tekstual
itu, dapat mempersempit perilaku anda, hingga dapat terjebak
pada Bid'ah Dhalalah sesuai definisi anda sendiri, contoh
lain tidak ada satupun dalil tekstual yg shahih, bahwa Nabi
SAW pernah mengadakan diskusi agama lewat internet. Jika anda
menganggap diskusi kita ini termasuk ibadah yang mendapat
pahala dari Allah, maka inilah ibadah yg bid'ah, karena Nabi
SAW dan para Salaf tidak pernah melakukannya. Jika anda
menganggap diskusi ini bukan ibadah yg mendapatkan pahala
dari Allah, maka sia-sialah pekerjaan anda berlama-lama di
depan internet apalagi di bulan Ramadlan.
Perlu anda tahu, untuk memahami Hadits yg menggunakan bahasa
Arab itu, tidak bisa dimaknai hanya dhahir/tekstual lafadznya
saja, tetapi adakalanya harus menggunakan pemahaman majaziyah
atau juga maknawiyah (konstektual). Ada kalanya Kullu harus
diartikan 'setiap', jika sesuai dg keadaan yang mendukung,
tapi adakalanya Kullu harus diartikan 'sebagian' sesuai
kebutuhan yg rasional. Sudah kami bahas dalam artikel.
Seperti juga arti lafadz 'Alaa, ada kalanya harus diartikan
'di atas' sesuai dg arti tekstualnya seperti lafadz : Assafiinatu
'alaa syaathi'il bahr (kapal itu ada 'di atas' permukaan
laut). Tapi terkadang lafadz 'Alaa juga harus diartikan 'di
bawah' seperti hadits Nabi SAW : wa minbari 'alal haudl, maka
harus diartikan (dan mimbarku ini 'di bawah' telaga haudl).
Karena Nabi SAW menggambarkan (sebagai pendekatan pemahaman
kepada umat Islam) bahwa keberadaan sorga itu ada di atas,
tapi Nabi SAW justru menggunakan lafadz : wa minbari 'alal
haudl (dan mimbarku -yg di masjid Nabawi- ini tepat 'di
bawah' telaga haudl). Di sini 'ala harus diartikan 'di
bawah', bukan diartikan 'di atas' mengikuti tekstual lafadz
hadits. Karena artinya menjadi tidak rasional. (Shaheh
Bukhari, bab Fadhailil madinah, tentang letak Raudhah di
Masjid Nabawi).
Nah, jika saja anda tetap keras kepala bahwa hadits Kullu
Bid'atin harus diterjemahkan sesuai dg tekstual lafadz, dan
anda menolak kontekstual lafadznya, maka saya menuntut anda:
mana dalil tekstual lafadz Alquran /Hadits tentang Wajibnya
belajar Ilmu Nahwu, bukan dari hasil penalaran anda. Karena
penalaran anda itu belum tentu benar dan tidak menutup
kemungkin justru salah.
Ketahuhlah bahwa kebenaran hakiki itu hanyalah yang datang
dari Alquran dan Hadits. Intinya penalaran anda semacam di
atas itu termasuk bid'ah yg tidak pernah difirmankan oleh
Allah atau disabdakan oleh Nabi SAW. Untung saja menurut
penalaran/pemahaman Aswaja, bid'ah dibagi dua : Bid'ah
Hasanah (seperti penalaran anda) dan Bid'ah Dhalalah (seperti
ajaran sesat kaum Syiah Imamiyah). Sedangkan menurut
penalaran anda, justru semua Bid'ah adalah Dhalalah, jadi
artinya penalaran anda tetang Ilmu Nahwu, adalah termasuk
Bid'ah Dhalalah yaa ?
|
|
|
|
|
|
|
|
42.
|
Pengirim: ahmad alquthfby
- Kota: probolinggo
|
|
Ass ww. Trima kasih
sudah ditanggap komentar sy yg lalu tapi tidak menjawab pertanyaan sy
yg sangat mendasar atas pengertian "kullu" dlm ayat
"waLllahu a'la kulli sya'in qadir" yg mana semestinya
artinya :Bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu.Kalo dipahami kullu
bisa tidak semua maka arti ayat itu adalah "Bahwa Allah berkuasa
sebagian saja " Bukankah ini bisa jatuh benar2 sesat?Kerna ini
masalah akidah.Maka benarlah makna sesat itu jadi neraka jika
pemahaman yg keliru seperti ini.Sekali lagi sy utarakan kullu bisa
ditaksis jika ada kalimat istisna(pengkecualian seperti illa dsbnya
)Coba renungkan.
- Secara sederhana agar mudah mz joni fahami adalah, maksud dari
penerapan kata kullu itu adalah berarti semua jika tidak ada dalil
yang mengecualikan. Coba mz joni cari ayat qur'an atau hadist yang
mengatakan bahwa alloh berkuasa sebagian saja. Kalo ada sy cungi 1001
jempol.
Kemudian saya disodori soal "bid'ah" membuku AlQur'an.
Disini saya katakan tidak ada bid'ah kerna membuku Alquran kerna
sudah pernah dibuku /ditulis pd zaman Rasul dalam kulit2 kayu dan
kulit binatang namun kerna waktu itu belum ada mesin offset maka
belakangan baru dicetak pakai kertaS HVS sampai
sekarang.Alhamdulillah walaupun sudah dicetak tidak ada suatu ayatpun
yg bertambah. Bukankah Allah Swt telah menyatakan :"Sesungguhnya
Kami yang menurunkan Alquran dan Kami yg memeliharanya?.
- kalo ditulis dikulit2 kayu yg berserakan itu bukan mmbukukan
namanya mz, gemana smpean ne. usul penghimpunan quran dalam 1 mushaf
adalah atas dasar sy.umar. menurut anda, apakah rasul bs menghimpun
quran dlm 1 mushaf? Dan apakah rasul pernah memerintahkan utk
membukukan Alquran dalm 1 mushaf? Kalo ada tunjukkan dalilnya.
Menurut sy, njenengan jgn trlalu cupet memahami agama. Jgn ngekor
sama wahhabi. Kalo ada ustad wahhabi yg berani berdialog scara
terbuka, terhormat, dan bermartabat, mari kita adakan? Utk bahas
bid'ah.
Mengenai masalah ilmu Nahu dan sbgnya itu juga bukan bid'ah kerna
Bahasa Arab pada waktu turunnya Alqura' sudah baku bahkan banyak
penyair2 masa itu telah mebuat syi'ir berbau pujian,perjuangan.Bahkan
Rasulullah pernah membuat surat kepada Herklius dari Byzantium dan
membuat surat keperbagai daerah yang beliau mengajak masuk Islam
.Kalau waktu itu Bahasa Arab tidak baku dgn kata lain nahunya belum
ada bagaiamana islam bisa dikembangkan waktu itu.Sungguh Allah Swt Maha
bijaksana menurunkan Alquran dlm bahasa Arab .Surah 12:2
"Sesungguhnya Kami turunkan berupa Alquran berbahasa Arab agar
kamu mengerti" Para Ulama bukan pencipta Nahu tapi mereka hanya
menggali ilmu Nahu yg sudah ada ,dikembangkan dan dicetak sampai
sekarang ini. Ulama ibarat penggali tambang emas dan membuatnya jadi
perhiasan namun emasanya sudah ada dibumi. Pada waktu zaman Rasul
pengajian dan dakwah sudah berjalan dalam bahasa Arab bahkan diantara
guru2 itu ada tahanan perang badar maka mereka sebagai denda disuruh
mengajar kerna mereka faham bahasa arab.Abu 'ubaidtadail hlm 126 :
"uthman bin Affan melaporkan bahwa nabi Muhammad pernah bersabda
: Yg terbaik diantara kalian ialah yg mempelajari Alquran dan
mengajarkannya.Ada pula yg menyatakan bahwa Rasul ada ahadist yg
intinya adalah siapa yg mencontohkan suatu kebaikan maka dapat pahala
maka ini dijadikan dasar membuat amalan2 baru(bid'ah wajib.kasanah
dll) padahal asbabun waurud hadist itu adalah Rasul dalam usaha
mengumpulkan uang utk org miskin maka Jarir duluan mengeluarkan
uang.Maka keluarlah hadist itu yg maksud Nabi adalah siapa2 yg duluan
memberi contoh yg baik terhadap APA YG DIMINTA RASUL bukan yg
lainnya.Maaf terlalu panjang bicata soal bid'ah ini namun sy harapkan
tidak menimbulkan perpecahan dalam Islam.Wallahu'alam
- yg dimaksud yg mulia KH. LUTHFI BASHORI adalah MEMINTA dalil qath'i
yang harfiy (tekstual) dari ayat Alquran atau Hadits yang mengatakan
wajibnya BELAJAR ILMU NAHWU. Adakah rasul pernah menyuruh para
sahabat utk belajar bahwu? Tajwid? Dlsb? Jika ada dalilnya secara
shorih, maka tunjukkan. Anda tdk akan mungkin bs mmbaca quran tanpa
tajwid (tanpa bid'ah). Memangnya anda mau contoh bid'ah yg dilakukan
pada zaman rasul, setelah rasul wafat, dan setelah generasi sahabat?
Ane paparkan secuil saja.. biar njenengan bs memahami
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Sebenarnya, secara prinsip saya tidak terlalu kaku
meminta dalil qath'i tektual ayat/hadits tentang kewajiban
belajar Ilmu Nahwu, karena memang mohal untuk ditemukan, itu
hanyalah sebagai pelajaran semata kpd Mas Johny dan teman2
Wahhabinya yang terlalu kaku (letterleg) dalam memahami
ajaran agama, namun jika dikejar benar2 seperti yang mereka
tuntut terhadap umat Islam, nyatanya justru mereka (Mas Johny
cs) yang lari terbirit-birit karena ketidakmampuan memberi
jawaban. Mereka telah membuat 'Blunder' di daerah
pertahanannya sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya 'gool
bunuh diri' bagi keyakinannya sendiri, ini meminjam istilah
insan persepakbolaan.
|
|
|
|
|
|
|
|
43.
|
Pengirim: Izzudin
- Kota: Rengel Tuban
|
|
Jazakumullah Ahsanal
Jaza'
|
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Realita di lapangan, kaum Wahhabi menolak pembagian
Bid'ah menjadi dua: Bid'ah Dlalalah dan Bid'ah Hasanah,
seperti yang diyakini warga Aswaja selama ini. Alasannya
karena tidak ada satu pun ayat Alquran atau hadits Nabi SAW
membagi Bid'ah itu menjadi dua (Dhalalah dan Hasanah),
sedangkan adanya pembagian dua ini hanyalah hasil nalar dari
para ulama Aswaja. Padahal yang namanya dalil yang berlaku
itu hanyalah jika datang dari Alquran atau Hadits Nabi SAW
secara sharih (tekstual/harfiyah).
Anehnya, kaum Wahhabi sendiri justru membagi Bid'ah menjadi
dua : Bid'ah Diniyah dan Bid'ah Duniawiyah. Padahal tidak ada
satu pun ayat Alquran atau hadits Nabi SAW yang menyatakan
secara sharih (tekstual/harfiyah) bahwa Bid'ah itu dibagi dua
: Bid'ah Diniyah dan Bid'ah Duniawiyah.
Jadi jelaslah, bahwa pembagian semacam ini juga hanyalah
akal-akalan kaum Wahhabi saja, agar tampak berbeda dengan
istilah Aswaja. Karena jika menggunakan istilah yang sama,
mereka tidak mau dikatakan Taqlid kepada para Ulama Aswaja.
Yaa, ini namanya : Aneh tapi Nyata !
|
|
|
|
|
|
|
|
44.
|
Pengirim: taufiqul Hadi
- Kota: Palangka Raya
|
|
Saya rasa ustadz harus
banyak belajar lagi, sehingga dapat membedakan dalam bidang apa
bid'ah itu dimaksudkan oleh Rasulullah saw. Itu harapan saya agar
sajiab ustadz tidak kacau balau yang membuat umat awam bingung, lalu
menyerang golongan yang ingin kembali kepada al-Qur'an dan sunnah.
Jangan terburu-buru kasih fatwa, ustadz.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Wah, anda ini rupanya orang awam yang sedang kebingungan
yaa?
Karena itu anda perdalami dulu ilmu agama biar bisa berdialog
secara ilmiah keagamaan, dengan mengutarakan dalil Alquran
maupun Hadits shahih dalam forum ilmiah ini. Mudah-mudah
Allah segera memberi hidayah kepada anda.
Jadi bukan cuma sekedar asbun (asal bunyi) seperti sekarang
ini, hingga anda sedikit tampak lebih elegan dan berpendidikan.
Alhamdulillah, kami sudah menerangkan secara ilmiyah dengan
dalil sharih, tentang hadits kullu bid'atin dhalalah sesusai
pemahaman Ahlus sunnah wal jamaah, bukan mengikuti pemahaman
Wahhabi.
|
|
|
|
|
|
|
|
45.
|
Pengirim: Moh. Anshary
- Kota: Medan
|
|
Stlh saya cermati
jawaban Pejuang Islam, ternyata anda tidak keliru, tetapi yang keliru
adalah referensi anda yang kurang luas. Anda sangat terikat kepada
referensi ahlussunnah wal jama'ah versi Indonesia yang senang
kesyirikan dan TBC. Alhamdulillah sekarang sudah banyak tokoh
kunci/ulama ahlussunnah waljama'ah versi Indonesia yang meninggalkan
ajarannya, mereka insaf dan tobat dari ajaran sesatnya. Siapa yang
ikut mereka yang tobat ini?
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Koment anda tidak berbobot sama sekali, anda bisanya
hanya beropini tanpa bukti kongkrit. Apa barangkali anda sama
sekali tidak mengenal satupun dalil Alquran maupun Hadits,
apalagi kitab-kitab karya ulama salaf?
Paling-paling yang anda maksud sebagai tokoh yang bertobat
itu adalah Mahrus Ali, yang tidak berani datang dalam acara
debat terbuka antara Wahhabi vs LBM NU, di Kampus Pasca
Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2008 yang lalu.
Kami doakan, mudah-mudahan anda segera diberi pemahaman agama
yang benar oleh Allah, syukur-syukur kalau anda bisa merayu
Mahrus Ali agar berani secara gentle membuka ulang event
DIALOG TERBUKA WAHHAB vs LBM NU.
|
|
|
|
|
|
|
|
46.
|
Pengirim: bejo
- Kota: jember
|
|
waaah ya repot kalo
menafsirkan quran&memahami hadist menurut pikirannya sendiri
begini....
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Ya begitu itulah kaum Wahhabi sukanya mengikuti
pikirannya sendiri, mereka berbicara tanpa keluasan dalil.
Lebih parah lagi, jika menemukan satu dalil, mereka hanya
memahami lewat terjemahan dan hanya mampu secara letterleg
atau tekstual atau harfiah semata, sehingga seringkali
bertabrakan dengan pemahaman ulama salaf Ahlus sunnah wal
jamaah.
|
|
|
|
|
|
|
|
47.
|
Pengirim: bejo
- Kota: jember
|
|
nggak usah repot...
saya yakin,melakukan sunnah rosul yang shohih saja nggak ada yang
mampu...knp sibuk dengan amalan-amalan yang nggak pernah dicontohkan
oleh rosulillah..1 contoh kecil saja,ayo makmurkan masjid-masjid
dengan sholat berjamaah ditiap sholat fardlu,sudah mampukah
kita..?ayolah mengamalkan amalan yang sudah jelas ada tuntunan dari
rosul.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Komentar anda menandakan keawaman tingkat keilmuan anda
dalam ajaran Islam. Perlu anda sadari, bahwa dialog di situs
Pejuang Islam ini diperuntukkan bagi mereka yang memahami
ilmu agama Islam dengan baik. Bukan sekedar menyampaikan
ungkapan seperti yang anda lontarkan, karena tidak ada bobot
ilmiahnya sama sekali. Jadi kami tidak akan menjawab secara
ilmiah. Cukup para pembaca membandingkan mana tulisan yang
berbobot ilmiah dengan lontaran Mas Bajo ini.
Di Indonesia ini, masjid warga Sunni Syafi'i lebih banyak
jumlahnya dengan masjid non Sunni Syafi'i. Warga Sunni
Syafi'i juga mayoritas keberadaannya, seperti sabda Nabi SAW
: Alaikum bis sawaadil 'adham.
|
|
|
|
|
|
|
|
49.
|
Pengirim: Bejo
- Kota: jember
|
|
Assalamu'alaikum
maaf ana yang fakir ilmu agama islam ini masuk lagi ke website yang
diperuntukkan bagi kaum intelektual ini..ana hy pgin menyambung
comment ana diawal dan ingin menyampaikan ilmu agama yang sedikit
sekali ana miliki..bahwa dalm hadist setelah lafadz wa Kullabid'atin
dlalaalah ada lafadz wa Kulla dlalaatin fin naar.(sama-sama
menggunakn lafadz Kulla adlah jika hny sebagian kesesatan itu
tempatnya adlh neraka??adakah Dlalaalah tempatnya di Syurga???bahwa
yg dimaksud wa kulla bid'atin dlalaalah itu adlah setiap bid'ah itu
dlalaalah.itu adlah bid'ah fie ma'naa asyar'iyyah yakni setiap
muhdatsah/perkaru baru yang diada-adakn dlm perkaraagama ini (perkara
badah) yg menyelisihi syari'at Alloh&sunnah sementara dia sudah
ada nashnyaa.sebagaiman lafadz sebelumnya fa inna kulla muhdatsatin
bid'ah.
jadi makna bid'ah adlah fie ma'naa asyariyyah sgg muhdatsah..dan man
ahdatsa fie amrinaa haadzaa maa laysa minhu fahuwa raddun.barang
siapa yg membuat suatu yg baru/mengada-adakn sesuatue urusan syar'i
yang bukan bagian darinya maka ia
tertolak(HR.Bukhari&Muslim)..man amila 'amalan laysa 'alayhi
amruna fahuwa raddun.(HR.Muslim).barang siapa mengerjakan suatu amalan
yg tdk ada perintah kami amalan itu tertolak.
Syukron..
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Mas Bejo perlu tahu : Dalam grametikal bahasa Arab
dikenal istilah ILTIFAAT. Dalam hadits itu juga terdapat
kaedah Iltifaat yang perlu diterapkan untuk memahaminya
secara benar. Contoh sederhana mempraktekkan kaedah ILTIFAAT
adalah pada susunan surat Alfatihah. Coba Mas Bejo
perhatikan, mulai ayat pertama bismillahir rahmaanir rahiim,
sampai ayat ke empat maaliki yaumiddiin, Allah menggunakan dhamir
ghaib, huwa (Dia) yang mahdzuf, tapi pada ayat ke lima,
tiba-tiba saja Allah menggunakan dhamir mukhathab yang
dhahir, iyyaka (hanya kepada-Mu).
Semacam inilah salah satu ketinggian sastra Arab yang perlu
dipahami oleh Mas Bejo jika betul-betul mencari kebenaran
agama. Karena kalau hanya memahami bahasa Arab (Alquran dan
Hadits) hanya dari terjemahan bahasa Indonesia, pasti terjadi
perberbedaan dalam grametikalnya yang menyebabkan kesalahan
dalam memahami nash haditsnya.
Maka, bisa-bisa ada orang yang protes terhadap susunan
Alquran (Alfatihah), menjadi iyyahu (hanya kepada-Nya)
na'budu (kami menyembah), bukan iyyaka (hanya kepada-Mu)
na'budu (kami menyembah), gara-gara menerjemahkan Alquran
tanpa tahu kaedah Grametikal Arabnya
Dalam hadits Fa inna kulla bid'atin dhalalah, wa kulla
dhalalatin fin naar. Nabi SAW juga menggunakan kaedah
ILTIFAAT, sebagaimana telah kami cantumkan dalam artikel
(kulla yang pertama berarti sebagian, dan kulla yang
berikutnya berarti setiap), ini sesuai dengan siyaaqul kalaam.
Karena itu Nabi SAW juga bersabda : Man sanna fil islaami
sunnatan hasanatan fa lahuu ajruha wa ajru man 'amila biha
.... (Barangsiapa memulai/menciptakan baru dalam Islam sebuah
amalan yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan
(mendapat kiriman) pahala sebanyak pahala orang yang
menirukannya....! (HR. Muslim no 1017).
Jadi jelaslah, bahwa umat Islam diperintahkan berkarya
menciptakan amalan yang baru yang belum pernah dicontohkan
oleh Nabi SAW, asalkan amalan itu baik dan tidak bertentangan
dengan syariat.
Baca shalawat yang berupa maulid Nabi SAW adalah perkara baru
yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan syariat, karena
tidak ada satu pun larangannya yang tertera dalam lafadz ayat
Alquran dari surat manapun, atau tidak ada satupun hadits Nabi
SAW yang shahih melarang orang mengadakan shalawatan dalam
bentuk maulid Nabi SAW ini.
Sedangkan baca maulid Nabi SAW ini jelas-jelas adalah amalan
baik yang mencakup shalawatan, membaca biografi Nabi SAW, dan
mendengarkan taushiyah agama dari para da'i, jadi amalan ini
termasuk Man sanna fil islaami sunnatan hasanatan.
Shalawatan berbentuk maulid Nabi SAW ini termasuk SUNNAH
HASANAH (menurut istilah Nabi SAW) atau NI'AMTIL BID'AH /
Bid'ah yang nikmat alias baik (menurut istilah Sy. Umar bin
Khatthab) atau BI'DAH HASANAH / Bid'ah yang baik (menurut
istilah para ulama Ahlus sunnah wal jamaah).
Tentunya mereka yang membuat istilah seperti itu, karena
benar-benar memahami grametikal Arab, sesuai yang dimaksud
oleh Nabi SAW.
Adapun (HR. Bukhari & Muslim)..man amila 'amalan laysa
'alayhi amruna fahuwa raddun.( HR.Muslim) Barang siapa
mengerjakan suatu amalan yg tdk ada perintah kami amalan itu
tertolak.!
Maksudnya adalah amalan baru yang bertentangan dengan syariat
Islam, seperti amalan kaum liberalisme yang mengadakan Doa
Bersama dengan kaum kafir non muslim, yang diadakan di satu
tempat, dan pemimpin doa juga bergantian antar tokoh-tokoh
yang berlainan agama dan diamini oleh para hadirin yang juga
berasal dari berbagai lintas agama.
Ini jelas-jelas Bid'ah Dhalalah yang sesat dan kelak para
pelakunya akan menghuni neraka Jahannam.
|
|
|
|
|
|
|
|
50.
|
Pengirim: ahmad alquthfby
- Kota: probolinggo
|
|
Bpk Bejo-Jember yg
kami hormati,
dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau
hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus
mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks
hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu
sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian.
Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar
(setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama
kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya,
maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh
atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya
dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil,
dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.
Saya sangat sepakat dg al ‘allamah KH. Luthfi Bashori Alwy
rahumahulloh; meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
“Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk
Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap
bid’ah
itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).
Termyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam
Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang
yang
melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala
mereka. Dan
barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
menegaskan,
bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua,
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang
memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan
pahalanya
dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian,
hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu
bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh
al-Imam al-
Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu
alaihi wa
sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai
perbuatan
yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah
dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, atau
belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi
shallallahu
alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam seringkali
melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum
pernah
diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum
masbuq
dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa
sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti
shalat
berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi
isyarat
kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan
mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian
masuk ke
dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin
Jabal
datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang
jumlah
rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung
masuk
dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun
setelah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz
segera
mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah
shallallahu
alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz
bin Jabal
yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi
wa sallam
menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.”
Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam
bersabda; “Mu’adz
telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara
shalat yang
harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn
Abi
Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn
Daqiq al-’Id dan
al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah,
seperti
shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam
hadits ini,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula
berkata,
“Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya
kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz
sesuai
dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Wawasan ilmu yang sangat luas, diperuntukkan untuk Mas
Bejo dan seluruh komunitas Wahhabi Indonesia.
|
|
|
|
|
|
|
|
51.
|
Pengirim: ahmad alquthfby
- Kota: probolinggo
|
|
Oia, sebagai tambahan,
apakah kira-kira menurut mas bejo sahabat mu’adz tdk faham akan sabda
rasul (yg artinya): “sholatlah kamu seperti km melihat aq sholat”?
atau beranikah njenengan brkata bahwa njenengan lebih 'alim daripada
sahabat mu'adz? hehe..
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Gimana doong jadinya Mas ... ?
|
|
|
|
|
|
|
|
52.
|
Pengirim: abu fatih
- Kota: solo
|
|
Assalaamu'alaikum..
tadz.
Saya setuju dengan penjelasan ustadz di atas. Namun saat ini
seringkali di masyarakat kita majelis tahlil(an) dikait-kaitkan
dengan 7 hari, 40 hari dst dari kematian seseorang. Bahkan ahli waris
merasa berdosa bila tidak melaksanakannya. Kalau yang demikian
termasuk bid'ah yang manakah tadz. Jazakumullahu kheir..
Wassalaamu'alaikum..
|
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
jika ada kesalahan perilaku sebagian masyarakat, hal itu
tidak berpengaruh pada status hukum agama. Contoh, hukumnya
wanita muslimah menampakkan rambutnya di depan lelaki non
mahram adalah haram. Lantas bagaimana realita di masyarakat
Indonesia yg mayoritas wanita muslimahnya tidak menutup
rambut, apa hukumnya menjadi halal mengikuti 'aktualisasi' di
masyarakat ? Pasti jawaban : TIDAK !
Demikian juga hukum bolehnya tahlilan akan tetap lekang dan
lestari bersama perjalanan jaman, dan jika ada pelanggaran di
tengah masyarakat, maka di sanalah letak lahan dakwah untuk
memberi penerangan kepada umat, tentang tata cara sunnahnya
melaksanakan Tahlilan itu.
|
|
|
|
|
|
|
|
53.
|
Pengirim: jahil
- Kota: semarang
|
|
Website yang
mencerahkan, jazakumullah khair.
Barangkali bermanfaat, menanggapi "Waja`alna minal maa-i KULLA
syai-in hayyin." Dalam biokimia, pemaknaan KULLA ternyata memang
tepat dengan SETIAP/SEMUA. Ternyata setiap yang hidup pasti butuh
air. Air ini mutlak untuk aktivitas ENZIM, zat yang juga mutlak bagi
setiap yang hidup. Contohnya, tanah yang tandus, bisa menjadi subur
lagi ketika cukup air. Ini terjadi karena bakteri baik bagi kesuburan
tanah yang mati suri menjadi hidup lagi karena enzim yang ada bisa
beraktivitas lagi oleh adanya air.
Gusti Allah memang MAHA KUASA, sanggup mendesain segala sesuatu
hingga sangat detil dan rumit, tak habis untuk dibaca.
Syukron.
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
1. Masalahnya, Allah menciptakan makhluq hidup itu bukan
sekedar parsial seperti yang dipahami oleh ahli biokimia,
artinya Allah bukan sekedar menciptakan makhluq yang berupa
materi, tetapi juga menciptakan makhluq non materi seperti
nyawa, malaikat, jin, sorga, neraka, kentut dan sebagainya.
Allah berfirman menggambarkan pengakuan Iblis (dari bangsa
jin) saat membangkang tatkala diperintahkan menghormati Nabi
Adam AS: Khalaqtani min naarin (Engkau menciptakan diriku
dari api). Jika saja lafadz Kulla harus dipaksakan mempunyai
arti SETIAP/SEMUA, maka menjadi kontradiksi dengan ayat
penciptaan jin (Iblis) sebagai makhluq hidup yang berasal
dari api itu.
2. Cara menerjemahkan ayat waja`alna minal maa-i, artinya Kami
CIPTAKAN dari air, bukan berarti sesuatu itu BUTUH air.
Jelas berbeda antara makhluq hidup yang di-CIPTA-kan dari air
dengan makhluq hidup yang mem-BUTUH-kan air.
Kami tidak pernah menafikan pemahaman, betapa pentingnya air
itu bagi kehidupan SEBAGIAN makhluq ciptaan Allah, bahkan
bisa dikatakan hampir SEMUA makhluq hidup yang berupa MATERI
itu sangat membutuhkah air. Tetapi makhluq hidup yang non
materi, seperti bangsa jin dan malaikat itu tentunya tidak
terlalu terikat dengan air.
|
|
|
|
|
|
|
|
55.
|
Pengirim: Alfin
- Kota: Bekasi
|
|
Assalamu'alaikum
Ustadz,
Mau tanya apa tolong sebutkan contoh-contoh bid'ah yang dhalalah, 5
saja?
Apakah kalo kita menambah shalat Dzuhur menjadi 5 rakaat ini termasuk
bid'ah hasanah juga?
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
1. Doa bersama muslim non muslim dalam satu tempat yang
dipimpin bergantian tiap pemuka agama dan diamini bersama
seluruh hadirin.
2. Menggundang non muslim dalam acara ritual agama Islam.
3. mengundang tarian barongsai sebelum istighatsah/tahlilan/acara
ritual Islam.
4. Menghadiri upacara ritual non muslim, seperti hadir dalam
acara misa gereja atau natalan.
5. Sengaja meyakini sekaligus menjalankan shalat
Dhuhur/Ashar/Isyak menjadi lima rakaat, dst,
|
|
|
|
|
|
|
|
57.
|
Pengirim: محمداخوان
ذخرى
- Kota: pekanbaru
|
|
syukron kiyai,
makalahny mnambah ilmu al faQir,,,
tapi al faQir ingin brtanya mngenai asbab wurud hadits مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ...
brang kali bsa mmprdalam ilmu al faQir ...
dan lbih mmhami makna hadits tsb...
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سن فى
الاسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل اجر من عمل بها ولا
ينقص من اجورهم شيء من سن فى الاسلام سنة سيئة فعمل بها بعده
كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من ازوارهم شيء
Artinya: Rasulullah bersabda: barang siapa melakukan suatu
sunnah hasanah (tradisi atau prilaku yang baik) dalam Islam,
lalu sunnah itu diamalkan oleh orang-orang sesudahnya, maka
ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan,
tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Demikian pula
sebaliknya, barang siapa yang melakukan suatu sunnah sayyi’ah
(tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang
sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa
mengurangi sedikit pun dosa yang mereka peroleh.
Asba>b al-Wuru>d hadits tersebut adalah ketika
Rasulullah bersama-sama sahabat, tiba-tiba datanglah
sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh.
Ternyata mereka adalah orang-orang miskin, meliahat hal demikian
Rasulullah merasa iba kepada mereka. Setelah shalat
berjama’ah Rasulullah berpidato yang menganjurkan untuk
berinfak. Mendengar hal tersebut seorang sahabat keluar dan
membawa sekantong makanan untuk orang-orang miskin tersebut.
Melihat hal tersebut maka Rasulullah bersabda sebagaimana
hadits di atas.
Melihat Asba>b al-Wuru>d di atas, kata sunnah yang
masih bersifat mutlak (belum dijelaskan oleh pengertian
tertentu) dapat disimpulkan adalah sunnah yang baik, dalam
hal ini adalah bersedekah.
Perlu difahami, bahwa berlakunya dalil sebagai hukum itu
berdasarkan keumuman lafadznya, bukan dengan kekhususan sebab
(asbabul wurud)-nya.
|
|
|
|
|
|
|
|
59.
|
Pengirim: Romdonih
- Kota: Tangerang Selatan
|
|
Assalamu'alaikum
Kyai...salam kenal salam dari ana, semoga Kyai senantiasa diberikan
kesehatan dan keistiqomahan dlm da'wah Islam sesuai Ahlu sunnah Wal
Jamaah, aamiin
ada 1 pertanyaan Kyai, bagaimana menjawab stataement orang2 WAHABI
ttg syarat amal itu ada 2 yaitu Ikhlas dan mengikuti contoh nabi??
jadi bukan "asal baik" Syukran
|
[Pejuang Islam
Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR
RAHIM
Statemen seperti itu adalah pemahaman sempit. Yang benar
itu setiap amalan ibadah harus sesuai dengan dalil Alquran
dan Hadits.
1. Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW merlewati Malaikat Jibril dan mengandung
mukjizat.
2. Hadits adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik itu secara Qaulan/ucapannya (seperti:
Iqra-uu yaasiin 'alaa mautaakum/bacakan surat Yasin untuk
mayit kalian/alias tahlili mayit kalian), atau
Fi'lan/perbuatannya (seperti: Nabi SAW nyekar/menancapkan
dahan kurma di atas dua kuburan muslim), atau
Taqriran/ketetapannya (seperti: Nabi SAW membiarkan Sy. Khalid
bin Walid memakan daging Dhab/hewan khas padang pasir namun
Nabi SAW sendiri tidak memakannya), Sifatnya/biografinya
(seperti: Konon Nabi SAW lemah dan lembut terhadap umat Islam
dan tegas terhadap orang-orang non muslim, sesuai ajaran
Alquran).
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar