Minggu, 22 Desember 2013

kullu bid'atin dhalalah



KULLU BID`ATIN DHALALAH 


Oleh : H. Luthfi Bashori

Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN makhluq hidup.
Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin Iblis yang berbunyi: Khalaqtani min naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api. 
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat diterjemahkan secara mutlaq dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan. 
Demikian juga dengan arti hadits Nabi SAW : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan: Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat. 
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat dengan sabda Nabi SAW yang lain: Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man \`amila biha. Artinya : Barangsiapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya. 
Jadi jelas, ada perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi dianggap baik oleh Nabi SAW, dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH. 
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta pembagiannya pada juz, ruku\`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
 Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang contohnya : 1. Adanya sebagian masyarakat yang secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla. 2. Adanya kalangan umat Islam yang menghadiri undangan Natalan. 3. Adanya beberapa sekelompok muslim yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah furu\`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai BID`AH DHaLALAH). 
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya: Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik. 
Melaksanakan shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara langsung dari Nabi SAW maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya ayat Alquran-Hadits yang memeerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan. 
Tetapi mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH. 
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi SAW, mengadakan isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, namun masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
 Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi SAW, yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi SAW : Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang jelas, bahwa menhadiri majelis ta\`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID\`AH, tetapi termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan, yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi. 
Nabi SAW dan para ulama salaf, juga tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi SAW pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau SAW selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau SAW : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam, Nabi SAW menghapus larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah. 
Meskipun sudah ada perintah Nabi SAW untuk menuliskan Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
 Dalam penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat. 
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah (terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan dan penulisan Hadits NabiSAW. Jadi sangat berbeda dengan penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.
 Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya, jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau bulletin ini, tidka pernah dilakukan oleh Nabi SAW maupun oleh ulama salaf manapun. Namun karena banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar. 
                                                                                                                                              (pejuangislam)

Tanggapan : 
1.
Pengirim: Ana Ustadz  - Kota: Malang

Nah tuh.. makanya ikutan kita-kita hadir majlis dzikr.. dijamin pulang kenyang deh.. jasmani dan rohani 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Figur orang yang mendapat hidayah dari Allah antara lain adalah mereka yang senang hadir di majlis dzikir dan majis ta'lim. Nabi Muhammad SAW bersabda yg artinya: Jika kalian mendapati taman sorga, maka jangan segan2 kalian masuk di dalamnya ! Para shahabat bertanya: Apa yang tuan maksud dengan taman sorga itu wahai Rasulallah? Beliau menjawab: Hilaqud dzikri (majlis dzikir). Dalam riwayat lain Beliau menjawab : Hilaqul ilmi (majlis ta'lim).

3.
Pengirim: Muhibbukum  - Kota: Prob

Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)
Di antara bid'ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata:  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Alhamdulillah, ini tambahan ilmu bagi yang membutuhkan tambahan wawasan. Jika ada tambahandari yang ain, boleh ditulis juga untuk saling melengkapi kekurangan.

6.
Pengirim: zainal  - Kota: ntb

i maluu fasayarallahu amalakum 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Baca surat Yasiin dalam acara tahlilan adalah sesuai dengan perintah Nabi SAW, iqra-uu Yasiin 'alaa mautaakum, bacalah surat Yasiin untuk para mayyit kalian.

7.
Pengirim: tentara sunnah  - Kota: jember

bagamana dengan maksud hadits yg berbunyi (saya lupa lafalnya tapi kurang lebih berarti) "barang siapa yang beramal tanpa contoh dari rasulullah maka tertolak".?  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Nabi SAW tidak secara mutkaq membatasi semacam itu. Beliau juga mengatakan di waktu yang lain separti, alaikum bisunnati wa sunnatil khulafaair raasyidiinaL mahdiyyina min ba'di, hendaklah kalian memegang teguh sunnah-sunnahku, dan sunnah-sunnah Khulafaur rasyidiin yg mendapat petunjuk setelah aku tiada(Sy. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Perintah ini kan bisa dijamak, artinya ya mencontoh perilaku Nabi SAW, juga mencontoh kebaikan Khulafaur Rasyidiin. dan masih banyak hadits semacam ini. Jadi jelasnya setiap amalan yg baik yang tidak bertentangn dengan syariat Nabi SAW sekalipun tidak penah diamalkan oleh Nabi SAW sendir, maka diperbolehkan di dalam Islam. Dikatakan sebuah amalan itu baik, karena tinjaunnya tidak bertentangan dengan Syariat. Jika ada amalan yang bertentangan dg syariat, maka amalan itu pasti tidak baik. Sebagai contoh, orang membaca Alquran itu baik, orang membaca shalawat itu baik, orang berceramah itu baik, orang bersedekah makanan untuk orang lain itu baik, orang berdzikir secara qiyaman (berdiri) wa qu'udan (duduk) wa 'ala junubihim (rebahan) itu baik, semua itu tidak ada yg bertentangan dengn syariat Nabi SAW. Nah, jika amalan-amalan yg tersebut di atas dirangkai menjadi satu rangkaian acara yang didbri nama ACARA PERINGATAN MAULID NABI, apa otomatis menjadi tidak baik, karena dianggap Nabi SAW tidak memberi contoh secara langsung mengenai Perayaan Maulid Nabi ini ? Apalagi jika divonis sebagai BID'AH DHALALAH (sesat). Jadi tampaknya, tuduhan bid'ah dhalalah semacam ini sangatlah konyol. Ada cerita anekdot, dulu ada dokter menemui seseorang yang sedang membeli mangga, pepaya, melon, bengkuang, gula dan kayu arum manis. Dokter itu mengatakan, 'Wah anda ini sangat pandai belanja, semua yang anda beli banyak mengandung vitamin yang menunjang kesehatan anda'. Orang itupun menyahut, 'Yaa Dokter, saya ingin membuat es buah !'. Tiba-tiba Dokter itu mengatakan, 'Wah, kalau begitu, belanjaan anda sangat mebahayakan kesehatan anda, karena makan buah-buahan yang dicampur jadi satu dalam bentuk es buah itu, tidak ada kaedahnya dalam buku panduan Ilmu Kedokteran !. Nah...jika saya mendapati Dokter semacam ini, pasti saya tidak akan berobat kepadanya. Mendingan mencari dokter yang lebih pandai dan lebih berpangalaman. Kan masih banyak dokter-dokter lainnya yang lebih bonafit keilmuannya. Barangkali demikian jaga yang terjadi di kalangan tokoh Islam. Tidak semuanya tokoh itu mengerti dengan baik makna yang tersurat dan yang tersirat dalam suatu amalan semacam peringatan maulid Nabi SAW, yang ribuan tahun telah berlaku di kalangan umat Islam. Bagi tokoh yang ilmunya mendalam, maka tidak akan gegabah menuduh suatu amalan itu sebagai perilaku bid'ah dhalalah, sebelum mempelajari dalil-dalil yang disampaikan oleh para pengamalnya. Sedang amalan-amalan yang jelas-jelas bercapur dengan kemaksiatan maka hukumnya adalah haram. Misalnya jika ada orang yg mengadakan peringatan Maulid Nabi SAW namun dengan mengundang tarian erotis dalam panggung dangdut. Maka pasti peringatan maulid semacam ini hukumnya haram, bahkan termasuk pelecehan kepada Nabi SAW, dan umat Islam wajib memberantasnya. Jadi bukan perayaan Maulidnya yang bid'ah dhalalah, tetapi goyang erotis dan maksiat dan yg semacamnya yang diharamkan oleh Islam. Demikianlah semestinya cara berpikir dewasa warga Ahlussunnah wal Jamaah yang sesungguhnya. Semoga ada manfaatnya.

9.
Pengirim: pejuang sunnah  - Kota: jember

Assalamualaikum War.Wab. Saya ingin menanyakan apa maksud dari hadits2 dibawah ini, syukron.

1. Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
2. Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
3. Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw) tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahawi)
4. Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
5. Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
6. Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-adakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya." (HR. Daruquthin dari Anas).

Wassalamualikum War. Wab.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Coba Akhi cermati lagi tulisan kami. Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 yang Akhi sebutkan, yaitu menolak perilaku menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan ajaran Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim (buka Book Collection pada kolom Karya Tulis Pejuang), karena perilaku itu bertentangan dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, Pejuang Islam mengumandangkan 'perang' terhadap pelakunya. Karena perilaku Doa Bersama Muslim non Muslim ini ini jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada tuntunannya sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat Islam, bahkan ada perintahnya baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu Akhi ketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai dengan
1. Mengumpul masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi ? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab : majlis dzikir).
2. Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ?
3. Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?
4. Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat Alquran).
5. Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.
6. Doa penutup.
7. Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya. Tentunya dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang disesuikan dengan kemampuan tuan rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi SAW, maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH. Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini ? Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sy. Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi SAW melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para shahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sy. Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan suntuk). Bid'ahnya Sy. Umar ini terus lestari hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Wahhabi/Salafi Saudi Arabiah seperti Syeikh Bin Baaz, Bin Shaleh, Sudais, dll. Hal ini sama lestarinya dengan bid'ahnya para Walisongo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi baik Sy. Umar dan pelanjut shalat tarawih di majid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan dengan syariat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun.
Jadi sangat jelas baik Sy. Umar maupun para wWalisongo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya. Akhi juga bisa kok menciptakan Sunnatan Hasanah atau Bid'ah Hasanah, untuk menunggu kiriman pundi-pundi pahala. Ayoo cobalah berpikir dan mencarinya, barangkali saja Akhi bisa menemukan amalan baru tersebut yang tidak bertentangan dengan syariat !! Lumayan loh ... !




10.
Pengirim: Bukanu  - Kota: DKI

alaikum bisunnati wa sunnatil khulafaair raasyidiinaL mahdiyyina min ba'di, hendaklah kalian memegang teguh sunnah-sunnahku, dan sunnah-sunnah Khulafaur rasyidiin yg mendapat petunjuk setelah aku tiada(Sy. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali).

Wah kayaknya kurang tuh penjelasannya, yg mengenai sunnah para sahabat nabi kok gak diterangin. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami sengaja tidak menukil sunnah-sunnah Khulafaur Rasyidun secara lengkap dalam artikel ini dan tanggapannya, karena tujuan utama artikel ini, hanyalah menerangkan kesalahpahaman beberapa kelompok orang yang menerjemahkah KULLU BID'ATIN DHALALAH hanya dipahami secara letterleg/harfiyah. Itupun rupanya hanya mengambil kamus-kamusumum sebagai literatur bahasa, sehingga mendapatkan pemahaman yang sempit. Moga-moga di kesempatan lain ada waktu meng-on line-kan usulan Akhi. Jazakallah kher.

11.
Pengirim: astoqi  - Kota: solo

tapi bid`ah dalam ibadah itu jelas-jelas menghilangkan atau mengaburkan sunah yang semisal dengannya, lebih baik mendakwahkan sunah yang telah banyak di tinggalkan oleh kaum muslimin, dari pada mendakwahkan bid`ah, itu cuman menurut saya lho tadz 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
1. Persepsi yang salah jika menganggap bahwa orang-orang yang mengamalkan bid'ah hasana itu dianggap meninggalkan sunnah Nabi. bahkan mereka lebih giat menghidupkan sunnah Nabi SAW dibanding yang mendakwakan diri anti bid'ah. Sebagai ilustrasi : Jika mengamal Maulid Nabi dengan membaca buku Diba' (istilahnya Dibaan) termasuk yang dianggap Bid'ah (tentunya yang hasanah menurut kami), karena dinilai Nabi dan para shahabat tidak pernah berkumpul bersama-sama untuk membaca kitab Diba', maka perlu diingat bahwa orang-orang yang mengamalkan diba'an itu, mayoritas amalannya adalah membaca shalawat Nabi yang amalan ini disunnahkan, mayoritas tuan rumahnya menyuguhkan makanan untuk undangan sesuai dengan kemampuannya, layaknya orang yang punya hajatan semisal mantu, ulang tahun, aqiqah, rapat famili, kedatangan tamu, dll. Padahal memberi suguhan seperti ini adalah amalan sunnah yang sangat menyenangkan hatinya orang-orang yang dermawan, tapi sangat berat dan merisaukan hatinya orang-orang yang pelit. Membaca Alquran yang umumnya dilakukan diawwal acara diba'an, adalah jelas-jelas sunnah Nabi SAW, bahkan membaca dan mendengarkan bacaan Alquran itu di samping sunnah Nabi SAW tetapi juga perintah Allah, demikian dan sebagainya. Dengan sekali saja orang itu mengamalkan bid'ah hasanah DIBA'AN. ternyata secara otomatis dia telah mengamalkan sunnah-sunnah Nabi yang cukup banyak jika dirinci satu persatu. Coba bandingkan dengan orang-orang yang anti bid'ah hasanah. Tentu jauh berbeda nominal pundi-pundi pahala yang dikumpulkan oleh para pelaku sunnah yang diamalkan dalam DIBA'AN dibanding yang anti bid'ah hasanah. Padahal perilaku bid'ah hasanah itu sendiri adalah implementasi dari perintah Nabi SAW : Man sanna fil islaam sunnatan hasanatan falahuu ajruha ...(barangsiapa menciptakan ibadah sunnah (bid'ah hasanah) di dalam Islam maka dia mendapatkan pahalanya) Baca yang teliti artikel kami... ! Syukran.

12.
Pengirim: Bukanu  - Kota: dki

Tapi kenapa sepanjang sejarah selalu ada yg mempertentangkan tentang bid'ah pak ustadz apu itu berarti perbuatan tsb masih diragukan kebenarannya lalu kenapa kita bukan melakukan perbuatan yg pasti yg tidak ada pertentangan didalamnya, bukankah itu yg lebih sunnah. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Pagi itu, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 menempelkan sebuah papan berisi pengumuman : SEKOLAH LIBUR SETIAP HARI MINGGU.

Sangat kebetulan di waktu yang sama, ada tiga anak siswa, yaitu Arif, Udin, Eko hadir dan menyaksikan pemasangannya.

Sekalipun mereka bersama-sama menyaksikan pemasangan papan tulis itu, ternyata tingkat pemahaman ketiga anak ini berbeda-beda, karena tingkat IQ mereka yang berbeda pula.

Arif mengatakan : 'Ayoo pulang, karena hari ini sekolahnya libur ...!' . Sedangkan Udin lebih sewot lagi mengatakan : 'Memang sekolahan ini nggak bonavid , kita pindah sekolah saja mencari yang lain, lihat tulisan di papan itu, diumumkan : Sekolah libur tiap har, berarti nggak ada sekolah lagi ...!

Kejadian ini memicu perdebatan antara Arif dan Udin, kedua belah pihak tidak ada yang saling mengalah, bahkan mengeluarkan dalil sesuai pemahaman masing-masing.

Tiba-tiba datang Eko dan melarai kedua temannya seraya mengatakan : Begini teman-teman, kalau kalian membaca sebuah pengumuman, seharusnya yang teliti, jangan setengah-setengah, dan belajarlah meletakkan tanda baca sesuai kaedah yang benar. Aku tahu, mengapa Arif kok bilang hari ini libur. karena dia saat membaca tadi dia memberi titik pada kata 'libur', jadi kepahamannya SEKOLAH LIBUR. Sedangkan Udin memberi titik pada kata 'hari', jadinya dia memahami bahwa SEKOLAH LIBUR TIAP HARI. Padahal kalau akan berbedat, seharusnya membaca dulu tulisan itu sampai tuntas dan sempurna, yaitu : SEKOLAH LIBUR SETIAP HARI MINGGU. Nah, pemahaman yang benar, bahwa setiap hari sekolah SMPN 1 ini masuk, kecuali pada hari Minggu saja yang libur.

Sayangnya Arif dan Udin belum dapat menerima dalil dan argumentasi si Eko. Bahkan mereka berdua tetap bersikeras dengan pemahaman masing-masing, dan runyamnya mereka saling menyalahkan.

Nah, pertanyaannya: Apakah karena adanya perdebatan antara tiga orang siswa ini, lantas kita mengatakan : SEBAIKNYA SEKOLAHAN SMPN 1 DIBUBARKAN SAJA DAN MENDIRIKAN SEKOLAHAN YANG LAIN ?

Barangkali ilustrsi di atas tepat untuk menggambarkan realita yang terjadi, sebut saja si Arif mewakili masyarakat awwam, sedangkan si Udin mewakil kaum Salafi/Wahhabi, dan si Eko mewakili Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah.

Yang jadi pertanyaan adalah : Mas Bukanu datang hanya untuk merobohkan sekolahan SMN 1.

Yaa nggak boleh gitu Mas...!

Yang benar itu, seharusnya Mas Bukanu berusaha mendudukkan permasalahannya sesuai dengan proporsinya.

Sadarkanlah masyarakat awwam agar belajar agama dengan baik dan benar.

Sadarkanlah kaum Salafi/Wahhabi agar mempelajari agama Islam secara benar dan tuntas kepada sumber-sumber yang benar, jangan boleh apriori kepada kebenaran yang dibawa oleh selain guru mereka. Karena sangat salah jika Salafi/Wahhabi menganggap bahwa kebenaran itu hanya milik guru dan tokoh-tokoh mereka saja, sehingga sulit menerima kebenaran dari ulama-ulama lain. Jelas toh ... permasalahannya ?

14.
Pengirim: Sandhi  - Kota: Jakarta

Ternyata Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kenduri kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH. Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu : MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH TANYA : Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut? JAWAB : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu. KETERANGAN : Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz: “MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).” Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan : “Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.” Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’). Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, rdiharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat. Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris). SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH §DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926  REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III,  CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau§Pebruari 2007.  amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Memberi Hidangan Kepada Para Pentakziah Setelah Mayit Dikubur

Deskripsi Masalah:
Sebagaimana dimaklumi dalam tradisi masyarakat kita, ketika ada seorang Muslim meninggal, maka keluarganya mengadakan acara tahlilan selama tiga hari dan tujuh hari. Dalam acara tersebut, keluarga mayit menyuguhkan makanan kepada para jamaah yang melakukan tahlilan. Bahkan makanan juga disuguhkan kepada orang-orang yang datang bertakziah pada keluarga si mayit.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum menyuguhkan makanan baik kepada para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit maupun bagi para pentakziah?

Jawaban:
Ada dua pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan hukum menyuguhkan makanan dari pihak keluarga si mayit kepada para jamaah tahlilan maupun orang-orang yang datang bertakziyah.
a. Pendapat yang menyatakan makruh atau haram. Hal ini didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah dengan sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami menganggap berkumpul pada keluarga mayit dan penyuguhan makanan dari pihak keluarga mayit bagi mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan)." Berdasarkan hadits ini, para ulama madzhab Hanafi berpendapat haram memberikan makanan pada hari pertama, kedua, ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziyah sebagaimana ditegasikan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidzi, al-Hakim dan lain-lainnya, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Buatkan makanan bagi keluarga Ja'far, karena mereka sekarang sibuk mendengar kematian Ja'far." Para ulama berpendapat, bahwa yang disunnatkan sebenarnya adalah tetangga keluarga mayit atau kerabat-kerabat mereka yang jauh membutkan makanan bagi keluarga mayit yang sedang berduka, yang cukup bagi kebutuhan mereka dalam waktu selama sehari semalam. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama madzahib al-arba'ah.

b. Ulama yang lain berpendapat bolehnya menyuguhkan makanan dari pihak keluarga mayit bagi para jamaah tahlilan maupun para pentakziyah, meskipun pada masa-masa tiga hari hari pertama pra meninggalnya si mayit. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil antara lain:
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatkan dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata: "Setelah Khalifah Umar bin al-Khaththab ditikam, maka beliau menginstruksikan agar Shuhaib yang bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan memerintahkan menyuguhkan makanan bagi orang-orang yang datang bertakziyah." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah fi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam Thawus (ulama salaf dari generasi tabi'in), yang berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang meninggal dunia itu diuji oleh di dalam kubur mereka selama tujuh hari. Mereka (para generasi salaf) menganjurkan mengeluarkan sedekah makanan untuk mereka selama tujuh hari tersebut." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 710).

(Untuk kelengkapan jawabannya akan menyusul, atau jika ada pengujung yang tertarik meresponnya fa jazaahullah kher)

15.
Pengirim: Aswaja Probolinggo  - Kota: Probolinggo

Dalil Tentang Tahlilan (Riwayat Thawus Al-yamani Tabi’in) Hadis Riwayat Thawus Al- yamani (tabiin) Thawus al-Yamani adalah seorang tabi`in terkemuka dari kalangan ahli Yaman. Beliau bertemu dan belajar dengan 50 – 70 orang sahabat Junjungan Nabi s.a.w. Thawus menyatakan bahawa orang-orang mati difitnah atau diuji atau disoal dalam kubur-kubur mereka selama 7 hari, maka adalah mereka menyukai untuk diberikan makanan sebagai sedekah bagi pihak si mati sepanjang tempoh tersebut. Hadis Thawus ini dikategorikan oleh para ulama kita sebagai mursal marfu’ yang sahih. Ianya mursal marfu’ kerana hanya terhenti kepada Thawus tanpa diberitahu siapa rawinya daripada kalangan sahabi dan seterusnya kepada Junjungan Nabi s.a.w. Tetapi oleh kerana ianya melibatkan perkara barzakhiyyah yang tidak diketahui selain melalui wahyu maka dirafa’kanlah sanadnya kepada Junjungan Nabi s.a.w. Para ulama menyatakan bahawa hadis mursal marfu’ ini boleh dijadikan hujjah secara mutlak dalam 3 mazhab sunni (Hanafi, Maliki dan Hanbali, manakala dalam mazhab kita asy-Syafi`i ianya dijadikan hujjah jika mempunyai penyokong (selain daripada mursal Ibnu Mutsayyib). Dalam konteks hadis Thawus ini, ia mempunyai sekurang-kurangnya 2 penyokong, iaitu hadis ‘Ubaid dan hadis Mujahid. Oleh itu, para ulama kita menjadikannya hujjah untuk amalan yang biasa diamalkan oleh orang kita di rantau sini, iaitu apabila ada kematian maka dibuatlah kenduri selama 7 hari di mana makanan dihidangkan dengan tujuan bersedekah bagi pihak si mati. Hadis Thawus ini dibahas oleh Imam Ibnu Hajar dalam “al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah” jilid 2 mukasurat 30. Imam besar kita ini, Syaikh Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami as-Sa’di al-Anshari ditanya dengan satu pertanyaan berhubung sama ada pendapat ulama yang mengatakan bahawa orang mati itu difitnah/diuji atau disoal 7 hari dalam kubur mereka mempunyai asal pada syarak. Imam Ibnu Hajar menjawab bahawa pendapat tersebut mempunyai asal yang kukuh (ashlun ashilun) dalam syarak di mana sejumlah ulama telah meriwayatkan (1) daripada Thawus dengan sanad yang shahih dan (2) daripada ‘Ubaid bin ‘Umair, dengan sanad yang berhujjah dengannya Ibnu ‘Abdul Bar, yang merupakan seorang yang lebih besar daripada Thawus maqamnya dari kalangan tabi`in, bahkan ada qil yang menyatakan bahawa ‘Ubaid bin ‘Umair ini adalah seorang sahabat kerana beliau dilahirkan dalam zaman Nabi s.a.w. dan hidup pada sebahagian zaman Sayyidina ‘Umar di Makkah; dan (3) daripada Mujahid. Dan hukum 3 riwayat ini adalah hukum hadis mursal marfu’ kerana persoalan yang diperkatakan itu (yakni berhubung orang mati difitnah 7 hari) adalah perkara ghaib yang tiada boleh diketahui melalui pendapat akal. Apabila perkara sebegini datangnya daripada tabi`i ianya dihukumkan mursal marfu’ kepada Junjungan Nabi s.a.w. sebagaimana dijelaskan oleh para imam hadits. Hadits Mursal adalah boleh dijadikan hujjah di sisi imam yang tiga (yakni Hanafi, Maliki dan Hanbali) dan juga di sisi kita (yakni Syafi`i) apabila ianya disokong oleh riwayat lain. Dan telah disokong Mursal Thawus dengan 2 lagi mursal yang lain (iaitu Mursal ‘Ubaid dan Mursal Mujahid), bahkan jika kita berpendapat bahawa sabit ‘Ubaid itu seorang sahabat nescaya bersambunglah riwayatnya dengan Junjungan Nabi s.a.w. Selanjutnya Imam Ibnu Hajar menyatakan bahawa telah sah riwayat daripada Thawus bahawasanya “mereka menyukai/memustahabkan untuk diberi makan bagi pihak si mati selama tempoh 7 hari tersebut.” Imam Ibnu Hajar menyatakan bahawa “mereka” di sini mempunyai 2 pengertian di sisi ahli hadis dan usul. Pengertian pertama ialah “mereka” adalah “umat pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. di mana mereka melakukannya dengan diketahui dan dipersetujui oleh Junjungan Nabi s.a.w.”; manakala pengertian kedua pula ialah “mereka” bermaksud “para sahabat sahaja tanpa dilanjutkan kepada Junjungan Nabi s.a.w.” (yakni hanya dilakukan oleh para sahabat sahaja). Ikhwah jadi kita dimaklumkan bahawa setidak-tidaknya amalan “ith’aam” ini dilakukan oleh para sahabat, jika tidak semuanya maka sebahagian daripada mereka. Bahkan Imam ar-Rafi`i menyatakan bahawa amalan ini masyhur di kalangan para sahabat tanpa diingkari. Amalan memberi makan atau sedekah kematian selama 7 hari mempunyai nas yang kukuh dan merupakan amalan yang dianjurkan oleh generasi awal Islam lagi, jika tidak semua sekurang-kurangnya sebahagian generasi awal daripada kalangan sahabi dan tabi`in. Oleh itu, bagaimana dikatakan ianya tidak mempunyai sandaran. Imam as-Sayuthi juga telah membahaskan perkara ini dengan lebih panjang lebar lagi dalam kitabnya “al-Hawi lil Fatawi” juzuk 2 di bawah bab yang dinamakannya “Thulu’ ats-Tsarayaa bi idhzhaari maa kaana khafayaa” di mana antara kesimpulan yang dirumusnya pada mukasurat 194:- · Sesungguhnya sunnat memberi makan 7 hari. Telah sampai kepadaku (yakni Imam as-Sayuthi) bahawasanya amalan ini berkekalan diamalkan sehingga sekarang (yakni zaman Imam as-Sayuthi) di Makkah dan Madinah. Maka zahirnya amalan ini tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat sehingga sekarang, dan generasi yang datang kemudian telah mengambilnya daripada generasi terdahulu sehingga ke generasi awal Islam lagi (ash-shadrul awwal). Dan aku telah melihat kitab-kitab sejarah sewaktu membicarakan biografi para imam banyak menyebut: ” dan telah berhenti/berdiri manusia atas kuburnya selama 7 hari di mana mereka membacakan al-Quran”. · Dan telah dikeluarkan oleh al-Hafidz al-Kabir Abul Qasim Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya yang berjodol “Tabyiin Kadzibil Muftari fi ma nusiba ilal Imam Abil Hasan al-’Asy’ariy” bahawa dia telah mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath NashrUllah bin Muhammad bin ‘Abdul Qawi al-Mashishi berkata: “Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi pada hari Selasa 9 Muharram 490H di Damsyik. Kami telah berdiri/berhenti/berada di kuburnya selama 7 malam, membaca kami al-Quran pada setiap malam 20 kali khatam.” Ikhwah, “ith`aam” ini boleh mengambil apa jua bentuk. Tidak semestinya dengan berkenduri seperti yang lazim diamalkan orang kita. Jika dibuat kenduri seperti itu, tidaklah menjadi kesalahan atau bid`ah, asalkan pekerjaannya betul dengan kehendak syarak.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi.

16.
Pengirim: Arif  - Kota: Malang

Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
Dalam buku”Ulama Besar Dari Fathani” susunan Ustaz Ahmad Fathi al-Fathani yang diterbitkan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia, disebut kisah seorang ulama Fathani Darussalam, Haji Abdullah Bendang Kebun yang menulis sebuah kitab berjodol “al-Kawaakibun-Nayyiraat fi Raddi Ahlil-Bida` wal ‘Aadaat” di mana beliau memfatwakan bahawa buat makan kematian atau kenduri arwah selepas kematian itu bid`ah makruhah dan boleh menjadi haram. Fatwanya ini lebih kurang sama dengan fatwa-fatwa tokoh-tokoh anti tahlil dan kenduri arwah zaman kita ini. Fatwa ini telah membuat keluh-kesah dan perpecahan dalam masyarakat di wilayah-wilayah Fathani yang rata-rata mengamalkan tradisi bertahlil dan berkenduri arwah ini. Menyedari hakikat ini, maka Lujnah Ulama Fathani telah mengambil inisiatif untuk mengadakan mudzakarah dan mesyuarat berhubung isu ini yang dihadiri oleh 17 orang ulama ternama Fathani termasuklah Haji Abdullah Bendang Kebun tersebut. Yang Dipertua Lujnah, Tuan Guru Haji Abdur Rahman mempengerusikan mesyuarat tersebut yang berjalan dengan lancar serta membuahkan keputusan dan natijah yang memuaskan. Setelah hujjah-hujjah pihak yang menentang dan menyokong dikemukakan, mesyuarat tersebut telah mencapai keputusan dan mengeluarkan satu resolusi pada 21 Januari 1974 yang antara lain menyebut:- 1. Ahli si mati membuat makanan kerana kematian untuk sedekah pahala kepada mayyit dengan ketiadaan menyeru (mengundang – p) oleh mereka, hukumnya sunnat dengan ittifaq Lujnah Ulama Fathani. 2. Ahli si mati membuat makanan dan memanggil mereka itu akan manusia pergi makan kerana qasad sedekah pahalanya, dan (meng) hadiah (kan) pahala jamuan itu kepada mayyit, maka hukumnya boleh (harus) kerana masuk dalam nas ith`aam yang disuruh dalam hadits Thaawus, kerana ith`aam itu melengkapi jamuan di rumah si mati atau di tempat lain. 3. Ahli si mati membuat makanan di rumahnya atau di rumah si mati pada hari mati atau pada hari yang lain kerana mengikut adat istiadat, tidak kerana qasad ibadah dan niat pahalanya kepada mayyit, maka hukumnya makruh dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. 4. Ahli si mati membuat makanan daripada tirkah yang bersabit dengan umpama hak anak yatim atau kerana dipaksa ahli si mati membuatnya dengan tidak sukarelanya dan ikhlas hatinya, maka hukumnya haram dengan ittifaq ahli Lujnah Ulama Fathani. Menghukum sesuatu hendaklah dibuat secara teliti dan tafsil melihat rupa bentuk sesuatu, bukan menghukum secara membabi-buta dan main pukul rata haram dan bid`ah dhalalah sahaja. Lihat dahulu keadaannya, bagaimana hendak dihukumkan haram jika ahli mayyit yang telah aqil baligh dengan rela hati tanpa terpaksa dan tidak merasa susah untuk menjemput jiran-jiran dan kenalan untuk hadir ke rumah si mati untuk berdoa buat si mati dan kemudian dijemput makan yang semuanya diniatkan sebagai sedekah kepada si mati. Yang ditentang oleh ulama kita ialah mereka yang menjalankannya sehingga menyusahkan diri dan keluarga si mati atau semata-mata menjalankan adat atau lebih jahat lagi dengan niat bermuka-muka atau riak. Ini yang difatwakan oleh Sayyidi Ahmad Zaini dalam “I`anathuth – Tholibin” yang sengaja dikelirukan oleh Ustaz Rasul yang dikasihi dengan sengaja meninggal menterjemahkan soalan yang dikemukakan kepada Sayyidi Ahmad dan jawapan beliau sepenuhnya. Menghukum haram secara total amatlah tidak wajar dan tindakan sembrono.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi

17.
Pengirim: Aswaja  - Kota: Jember

Hadis Jarir – Penjelasan Tuan Guru Haji Ahmad Hadis Jarir yang membawa maksud “Kami mengira orang berhimpun kepada ahli keluarga si mati dan menyediakan makanan selepas pengkebumiannya adalah daripada ratapan (an-niyahah).” Hadis ini menjadi hujjah bagi meng”haram” atau me”makruh” membuat kenduri arwah kematian selepas matinya seseorang. Adakah ini pemahaman yang difahami oleh para ulama kita ? Tuan Guru Haji Ahmad al-Fusani (1902 – 1996) memberi penjelasan dalam kitabnya “Khulasah al-Mardhiyyah fi Masail al-Khilafiyyah” antara lain menyatakan bahawa kalimah “minan-niyahah” dalam hadis tersebut ditanggung maknanya sebagai “min asbabin niyahah” iaitu “setengah daripada sebab ditakutkan jadi niyahah. Maka bukanlah diri berhimpun dan buat makan itu niyahah sungguh kerana jikalau niyahah sungguh tentulah ulama kata haram kerana tiada ada niyahah yang makruh sama sekali” (yakni jika semata-mata berhimpun dan berjamu itu termasuk ratapan, maka sudah tentu ulama akan terus menghukumnya haram dan bukan makruh kerana tidak ada niyahah yang hukumnya makruh. Jadi dihukumkan bid`ah makruhah kerana boleh jadi sebab bagi ratapan atau boleh membawa kepada ratapan, jadi kalau ikut kaedah ushul ini yang menjadi ‘illah bagi dihukumkan bid`ah makruhah tersebut, jika ‘illah ini hilang maka hukumnya juga turut berubah). Soalnya, adakah kenduri arwah yang orang kita buat bersifat sedemikian ? Adakah kenduri kita menjurus kepada ratapan ? Selanjutnya Tuan Guru Haji Ahmad menyebut:- · “…Sebuah hadis yang meriwayatkan dia Imam Ahmad rahimahUllah ta’ala dengan sanad yang sahih dan Abu Daud daripada ‘Aashim bin Kulaib daripada bapanya daripada seorang laki-laki daripada Anshar berkata ia: “Keluar kami sahabat nabi serta Rasulullah s.a.w. pada menghantarkan jenazah orang mati kepada kubur. Maka aku nampak akan Rasulullah s.a.w. menyuruh orang yang menggali kubur dengan katanya: “Perluas olehmu daripada pihak dua kakinya, perluas olehmu daripada pihak kepalanya”. Maka tatkala balik Nabi daripada kubur berhadap kepadanya (yakni datang kepada Nabi) seorang yang (mem)persilakan Nabi ke rumah daripada suruhan perempuan si mati itu. Maka Nabi serta sahabat pun silalah (yakni datanglah) ke rumahnya. Maka dibawa datang akan makanan, maka (meng)hantar Nabi akan tangannya, yakni menjemput Nabi akan makanan bubuh ke mulut dan (meng)hantarlah segala sahabat akan tangannya”…….Hadis ini menyatakan Nabi sendiri serta sahabat berhimpun makan di rumah orang mati kemudian (yakni selepas) balik tanam orang mati…….Jadi berlawan hadis ini dengan hadis Jarir yang menunjuk atas tegah berhimpun makan di rumah orang mati kemudian daripada tanam mayyit……….Setengah riwayat tak dak lafaz “ba’da dafnihi” (kemudian daripada tanamnya) [yakni hadis Jarir ada khilaf dalam riwayatnya kerana ada riwayat yang tidak menyebut “ba’da dafnihi“). Maka orang tua-tua kita tanggungkan bahawasanya makruh itu berhimpun makan di hadapan mayyit jua. Inilah jalanan orang tua-tua kita. Sebab itulah orang kita tidak berjamu sewaktu ada mayyit di atas rumah, dan jika darurat kepada berjamu juga seperti bahawa suntuk masa, diberjamu pada rumah yang lain daripada rumah yang ada mayyit padanya……..Alhasil, hukum berhimpun di rumah ahli mayyit dan membuat ahli mayyit akan makanan, berjamu makan semata-mata dengan tidak qasad bersedekah daripada mayyit atau baca al-Quran niat pahala kepada Allah, makruh tanzih selama ada mayyit di atas rumah itu.” Perkataan ulama kita yang menghukum berhimpun dan berkenduri makan selama 7 atau 40 hari sebagai bid`ah makruhah diihtimal maksudnya jika perbuatan tersebut dibuat semata-mata menjalankan adat kebiasaan yang jika tidak dilaksanakan akan menjadi cemohan masyarakat bukan dengan niat “ith`aam ‘anil mayyit” dan sebagainya. Atau ianya boleh membawa kepada niyahah yang diharamkan atau kesedihan yang berlarutan. Oleh itu, larangan tersebut tidaklah bersifat mutlak tetapi mempunyai qayyid yang menjadi ‘illah pada hukum tersebut. Dalam pada itu, Imam Ibnu Hajar dalam “Fatwa Kubra”nya menyatakan bahawa jika seseorang berbuat kenduri tersebut semata-mata menjalankan adat untuk menolak cemohan orang-orang jahil dan menjaga kehormatan dirinya maka tidaklah ianya dianggap sebagai bid`ah madzmumah. Nanti aku postkan lain kali. Seorang saudara menghantar risalah yang dalamnya nukilan perkataan Imam asy-Syafi`i yang menyatakan “Aku benci diadakan ma’tam, iaitu himpunan walaupun tidak ada tangisan mereka, kerana sesungguhnya pada yang sedemikian itu memperbaharui kedukaan dan membebankan tanggungan“. Membaca nas perkataan Imam asy-Syafi`i ini jelas menunjukkan tidak mutlaknya kebencian tersebut kerana ianya dikaitkan dengan “membaharui kesedihan” dan “membebankan”. Apa kata jika, perhimpunan dilakukan adalah dalam rangka mendoakan si mati, bersedekah buat pihak si mati, menghibur ahli keluarga si mati, dan tidak menjadi beban kepada keluarga si mati yang berkemampuan ? Adakah Imam kita asy-Syafi`i masih membencinya ? Jadi kalau ada yang berbuat kenduri seperti itu rupanya maka makruhlah kita datang hadir. Bahkan jika digunakan tirkah anak yatim atau tirkah waris yang tidak redha atau sebagainya makan haram kita hadir. Jadi hukumnya kena lihat case by case, bukan main pukul rata haram atau makruh atau harus. Download kitab dan risalah ahlusunnah, kalahkan fatwa sesat wahabi (bidznillah)!!
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online untuk Sandhi

18.
Pengirim: Muhsin  - Kota: Sumedang

Dalam setiap acara tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain dalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi Muhammad SAW: عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإطْعَامُ الطَّعَامِ. رواه أحمد Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad) Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَُأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا. رواه الترمذي Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada matifaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi) Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal 142). Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghonnatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW: عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَصْمُتْ. رواه مسلم Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR Muslim). Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan. Hanya saja, kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas ridak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya. Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia. Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara' maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana. KH Muhyiddin Abdusshomad Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=17169
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi

19.
Pengirim: Muhammad Toni  - Kota: Krayapyak Jogja

Sudah menjadi tradisi orang NU, kalau ada keluarga yang meninggal, malam harinya ada tamu-tamu yang bersilaturrahim, baik tetangga dekat maupun jauh. Mereka ikut belasungkawa atas segala yang menimpa, sambil mendoakan untuk yang meninggal maupun yang ditinggalkan. Selain bersiap menerima tamu, sanak keluarga, handai tolan, dan keluarga dekat, pada hari kedua sampai ketujuh, mereka akan mengadakan bacaan tahlil dan do’a yang dikirimkan kepada yang sudah meninggal dunia. Soal ada makanan atau tidak, bukan hal penting, tapi pemanfaatan pertemuan majelis silaturrahim itu akan terasa lebih berguna jika diisi dengan dzikir. Sayang, bagi orang-orang awam yang kebetulan dari keluarga miskin, mereka memandang sajian makanan sebagai keharusan untuk disajikan kepada para tamu, padahal substansinya sebenarnya adalah bacaan tahlil dan do’a adalah untuk menambah bekal bagi si mayit. Kemudian, peringatan demi peringatan itu menjadi tradisi yang seakan diharuskan, terutama setelah mencapai 40 hari, 100 hari, setahun (haul), dan 1000 hari. Semua itu berangkat dari keinginan untuk menghibur pada keluarga yang di tinggalkan sekaligus ingin mengambil iktibar bahwa kita juga akan menyusul (mati) di kemudian hari. Dalil yang dapat dibuat pegangan dalam masalah ini adalah: قَالَ طَاوُسَ: إنَّ الْمَوْتَى يُفْتِنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تَلْكَ اْلأيّاَمِ إلَى أنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرِ قَالَ: يُفْتِنُ رَجُلانِ مُؤمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأمَّا الْمُؤمِنُ فَيُفْتِنُ سَبْعًا وَأمَّا الْمُناَفِقُ فَيُفْتِنُ أرْبَعِيْنَ صَبَاحًا Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. Sahabat Ubaid ibn Umair berkata: “Seorang mukmin dan seorang munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selam 7 hari, sedang seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi.” (Al Hawi lil Fatawa as Suyuti, Juz II hal 178) Jika suatu amaliyah atau ibadah sudah menjadi keputusan atau atsar atau amal sahabat (dalam hal ini Tاawus) maka hukumnya sama dengan hadits mursal yang sanadnya sampai kepada Tabi’in, dan dikatagorikan shahih dan telah dijadikan hujjah mutlak (tanpa syarat). Ini menurut tiga imam (Maliki, Hanafi, Hambali). Sementara Imam Syafi’i hanya mau berhujjah dengan hadits mursal jika dibantu atau dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait dengannya, seperti adanya hadits yang lain atau kesepakatan sahabat. Dalam hal ini, seperti disebut di atas, ada riwayat dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan Tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat. Maksud dari kalimat فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ atau "sebaiknya mereka" dalam keterangan di atas adalah bahwa orang-orang di zaman Nabi Muhammad SAW melaksanakan hal itu, sedang Nabi sendiri tahu dan mengafirmasinya. (Al Hawi lil Fatawa as Syuyuti, Juz II hal 183) KH Munawwir Abdul Fattah Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi

20.
Pengirim: Ridwan  - Kota: Probolinggo

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata. Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727) Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw : • Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”. • Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H • Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi

21.
Pengirim: Ridwan  - Kota: Probolinggo

Sang Habib berkata: dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua duanya, licik bagaikan missionaris nasrani dan ingin membalikkan makna sekaligus bodoh pula dalam syariah. 1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan : من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له “Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan. Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian besar ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala. Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafii yg mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit, telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama. Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : “dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90) Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai, tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai. namun dari kesimpulannya bahwa Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai. Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambah”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka,lanjut: Ucapan Imam Ibn katsir : وأن ليس للإنسان إلا ما سعى أي كما لا يحمل عليه وزر غيره كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه ومن هذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماءة ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنه ولو كان خيرا لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما “ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu 'alayhi wa sallam tidak perna menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat” Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah : “Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259). nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : "wahai Allah, sampaikanlah apa yg kami baca, dari.... dst, hadiah yg sampai, dan rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat....." bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya. Lalu berkata pula Imam Nawawi : أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل “Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim, demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya, dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90) Dan dijelaskan pula dalam Almughniy : ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ “Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”. Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya) maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad : :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225) Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz : وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة “sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah. Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar, dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu, dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar Juz 4 hal 142). Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi. Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai. Dan sungguh hal yg lucu bila kalangan wahabi ini meracau dengan mengumpulkan dalil gunting sambung lalu menyuguhkan kita racun agar kita teracuni, mereka kena batunya mengenai hidangan tahlil sudah saya jelaskan, ngga ada yg mengharamkan, hanya makruh bila dg tujuan pengumpulan massa di rumah duka, bukan menjamu tamu, kalau menghidangkan makan tuk menjamu tamu, maka Rasul saw pun makan dirumah duka dengan undangan istri si mayyit jawaban saya yg pertama telah jelas bahwa banyak para Muhaddits dan Imam yg menghadiahkan pahala bacaan Alqur'annya pada rasul saw dll.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi

22.
Pengirim: Sewed  - Kota: Malang

Saya pernah membaca tulisan KH Muhyiddin, dan setahu saya Ammy kenal dg KH Muhyiddin. Maksud saya, meminta tolon kepada KH Muhyiddin untuk menjawab tulisan dibawah ini: Acara tahlilan, yaitu acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat atau dengan kata lain, telah menjadi milik masyarakat Islam di tanah air. Dalam acara tersebut lazimnya dibacakan ayat-ayat Al Qur'an tertentu, bacaan laa ilaaha illallah, subhanallah dll, dengan niat pahala bacaan tersebut dihadiahkan / dikirimkan kepada mayit / roh tertentu atau arwah kaum Muslimin pada umumnya. Satu hal yang belum banyak diketahui kaum muslimin itu sendiri ialah, pada umumnya mereka, mengaku BERMADZAB SYAFI'I, baik dengan pengertian yang sebenarnya atau hanya ikut-ikutan. Namun demikian, ironinya justru amalan Tahlilan atau Selamatan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit itu bertentangan dengan berbagai pendapat ulama-ulama dari kalangan madzhab Syafi'I, termasuk Imam Syafi'i sendiri. Kalau toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut maka jumlahnya sangat sedikit dan dipandang lemah, sebab bertentangan dengan ajaran Al Qur'an (ayat 39 Surat An Najm dan Sunnah Rasulullah serta para sahabatnya), yang mendasari pendapat mereka. Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat Ulama-Ulama Syafi'i tentang masalah tersebut yang dikutib dari Kitab-kitab tafsir, Kitab-kitab Fiqih dan Kitab-kitab Syarah Hadits, yang penulis pandang mu'tabar (jadi pegangan) di kalangan pengikut-pengikut madzhab Syafi'i. Pendapat Imam As Syafi'i Rahimahullah. Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, SYARAH MUSLIM, demikian : "Adapun bacaaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyur dalam madzhab Syafi'i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi...Adapun dalil Imam Syafi'i dan pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya), "Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri" dan sabda Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, "Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal yaitu, sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang berdoa untuknya." (An Nawawi, SYARAH MUSLIM, Juz 1 Hal. 90). Juga Imam Nawawi di dalam Kitab Takmilatul Majmu', Syarah Mahadzab mengatakan : "Adapun bacaan Qur'an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit tsb, menurut Imam Syafi'i dan Jumhurul Ulama', tidak sampai kepada mayit yang dikirimi. Keterangan ini telah diulang-ulang oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim." (As Subuki, TAKMILATUL MAJMU', syarah MUHADZAB, juz X, hal. 426). (Mengganti shalat mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya). Al Haitami, di dalam Kitabnya, Al FATAWA AL KUBRO AL FIGHIYAH, mengatakan demikian : "Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama' Mutaqaddimin (terdahulu), adpun bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan tersebut untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, berdasarkan firman Allah, "Dan Manusia tidak memperoleh, kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri." (Al Haitami, AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH, juz 2, hal. 9). Imam Muzani, di dalam Hamisy AL UM, mengatakan demikian : "Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain." (Tepi AL UM, AS SYAFI'I, juz 7, hal. 269). Imam Al Khaizin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut: "Dan yang masyhur dalam madzhab Syafi'i adalah, bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi." (Al Khazin, AL JAMAL, juz 4, hal. 236). Di dalam tafsir Jalalain disebutkan demikian : "Maka sesorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari usaha orang lain." (Tafsir JALALAIN, 2/197). Ibnu Katsir dalam tafsirnya TAFSIRUL QUR'ANIL AZHIM menafsirkan ayat 39 Surat An Najm dengan mengatakan "Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 An Najm), Imam Syafi'i ra. dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit tidak akan sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Juga tidak ada seorang sahabatpun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau toh amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) hanya terbatas yang ada nash-nashnya (dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat- pendapat." Demikian diantaranya berbagai pendapat Ulama Syafi'iyah tentang acara tahlilan atau acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, yang ternyata mereka mempunyai satu pandangan yaitu, mengirimkan pahala bacaan Qur'an kepada mayit / roh tidak akan sampai kepada mayit atau roh yang dikirimi, terlebih lagi kalau yang dibaca itu selain Al Qur'an, tentu saja akan lebih tidak sampai kepada mayit yang dikirimi. Jika sudah jelas bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka, atau merupakan perbuatan tabdzir. Padahal Islam melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir. Adapaun dasar hukum dari pendapat mereka itu adalah firman Allah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM dalam surat An Najm ayat 39 dan Hasits Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM tentang terputusnya amal manusia apabila ia telah meninggal dunia, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan yang berdoa untuk orang tuanya. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kalau seandainya setiap usai tahlilan lalu berdoa, ALLAHUMA AUSHIL TSHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAMABA MAA WARA'NAAHU ILA RUHI FULAN (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh si fulan)? Pertanyaan tadi dapat dijawab demikian : Ulama telah sepakat, bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak sampai kepada toh yang dikirimi, sebab bertentangan dengan firman Allah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM dalam Surat An Najm ayat 39. Adalah sangat janggal, kalau kita berbuat mengirimkan pahala bacaan kepada mayit, yang berarti kita telah melanggar syari'at- Nya, tetapi kemudian kita mohon agar perbuatan melanggar syari'at itu dipahalahi dan lebih dari itu, mohon agar do'a tersebut dikabulkan. Jadi, kalau toh sehabis acara tahlilan itu, kita lalu berdoa seperti itu, rasanya adalah janggal dan tetap tidak dapat dibenarkan, karena mengandung hal-hal yang kontradiktif (bertentangan); yaitu di satu pihak, doa adalah ibadah dan di pihak lain amalan megirim pahala bacaan adalah amalan sia- sia, yang berarti melanggar syari'at, yang kemudian, amalan semacam itu kita mohonkan agar dipahalahi, dan pahalanya disampaikan kepada roh. SELAMATAN KEMATIAN Demikian juga selamatan atau berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit, baik pada saat hari kematian, hari ke dua, hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus dsb..maupun dalam upacara yang sifatnya massal yang lazimnya dilakukan di perkuburan (maqrabah) yang biasa disebut khaul dll. yang di situ juga di adakan acara selamatan atau makan-makan, maka sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi'iyah, baik kitab-kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits, amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan 'terlarang' atau dengan kata lain 'haram'. Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab Syafi'i itu sendiri, atau kalau toh ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak, maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan mereka tentang masalah ini. Di dalam kitab Fiqih I'anatut Thalibin dinyatakan demikian: "Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid'ah munkarat bid'ah yang di ingkari agama) yang bagi orang yang memberantasnya akan diberi pahala." (I'anatut Thalibin. Syarah Fat-hul Mu'in, juz 2, hal.145). Imam Syafi'i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam Kitab AL UM sbb : "Aku tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru." (As Syafi'i AL UM, juz 1, hal. 248). Selanjutnya di dalam Kitab I'anatut Thalibin tersebut dikatakan demikian: "Dan apa yang dibiasakan orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan, adalah bid'ah yang tidak disukai dalam agama, sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena ada hadits shahih yang di riwayatkan Jarir yang berkata: "Kami mengganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayit) yakni haram." (I'anatut Thalibin, juz 2, hal. 146). Juga pengarang I'anah mengutip keterangan dari Kitab BAZZAZIYAH sebagai berikut: "Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ke tiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (seperti peringatan khaul - pen) (I'anatut thalibin, juz2, hal. 146). Di dalam Kitab Fiqih Mughnil Muhtaj disebutkan demikian: "Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah bid'ah, dan dalam hal ini Imam Ahmad yang sah dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, "Kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit untuk acara itu, adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayit), yaitu haram." (MUGHNIL MUHTAJ, juz 1, hal. 268). Di dalam Kitab Fiqih Hasyiyatul Aqlyubi, dinyatakan demikian: "Syekh Ar Ramli berkata, "Di antara bid'ah yang munkarat (yang tidak dibenarkan agama), yang tidak disukai dikerjakan, yaitu sebagaimana diterangkan di dalam Kitab Ar Raudlah, yaitu apa yang dikerjakan orang, yang disebut: kirafah," dan hidangan makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit, baik sebelum maupun sesudah kematian, dan juga penyembelihan di kuburan." (Hasyiyatul Qalyubi, juz 1, hal. 353). Di dalam Kitab Fiqih karangan Imam Nawawi, AL MAJMU' syarah MUHADZAB, antara lain dikatakan demikian: "Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ adalah tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah bid'ah. " (An-Nawawi, AL MAJMU' SYARAH MUHADZAB, juz 5, hal. 286). Juga pengarang I'anatut Thalibin mengutip keterangan dalam Kitab AL JAMAL SYARAH AL MINHAJ, yang berbunyi demikian: "Dan di antara bid'ah yang munkarat yang tidak disukai, ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari ke empatpuluh, bahkan semua itu adalah haram." (I'anatut Thalibin, juz2,hal. 145-146). Selanjutnya pengarang Kitab tersebut mengutip keterangan dalam Kitab TUHFATUL MUHTAJ SYARAH AL MINHAAJ, sebagai berikut: "Apa yang dibiasakan orang tentang menghidangkan makanan untuk acara mengundang orang banyak ke rumah mayit adalah bid'ah yang tidak disukai, sebab ada hadits yang diriwayatkan Jarir, bahwa ia berkata, "Kami (para sahabat Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayat), yaitu haram." (I'anatutThalibin, juz 2, hal. 145-146). Lebih lanjut pengarang kitab tersebut mengutip fatwa Mufti Madzhab Syafi'i, Ahmad Zaini bin Dahlan sebagai berikut: "Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid'ah munkarat ini adalah berarti menghidupkan sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, mematikan bid'ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat- rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan." (I'natut Thalibin, juz 2, hal. 145-146). Dan di dalam Kitab Fiqih Alal Madzahibil Arba'ah, dinyatakan demikian: "Dan di antara bid'ah yang tidak di sukai agama ialah, apa yang dikerjakan orang tentang memotong binatang-binatang ketika mayit di keluarkan dari tempat bersemayamnya atau di kuburan dan juga menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ta'ziyah." (Abdurrahman Al Jaza'iri, AL FIQHU ALAL MADZAHIBIL ARBA'AH, juz 1, hal.539). Demikian pendapat Ulama Syafi'iyah tentang selamatan kematian yang sepakat bahwa amalan tersebut adalah BID'AH MUNKARAT. Dasar mereka ialah kesepakatan (ijma') Sahabat Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, yang menganggap 'haram' hukum amalan tersebut. Jika timbul pertanyaan tentang masalah semacam ini dapat dijawab sbb: Bahwa sedekah itu akan lebih tepat mengena pada sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, kalau di wujudkan dalam bentuk selamatan atau walimahan, tapi diberikan langsung kepada FUQORA' MASAKIN, sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir dan yang di undang adalah orang- orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka, kalau tidak boleh dikatakan hampir tidak berarti sama sekali. Ini kalau dipandang makna sedekah itu dari segi kepantingan materil para fuqaha dan masakin. Tambahan lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbisul haq bil bathil (mencampuraduk antara yang haq dan bathil). Sebab di satu pihak, sedekah adalah di perintahkan agama sedang dipihak lain yaitu berkumpul dengan hidangan makanan di rumah ahlil mayit adalah haram, dan mengirim pahala semacam itu sendiri juga perbuatan sia-sia. Di sinilah letaknya, bahwa kalau hidangan makanan itu diniatkan sebagai sedekah, maka terjadi campuraduk antara yang haq dan bathil. SANTUNAN UNTUK KELUARGA MAYIT Menurut sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, kepada tetangga dari keluarga yang ditimpa musibah kematian anggota keluarganya, dianjurkan agar mambantu meringankan beban penderitaan lahir maupun bathin, dengan sekedar memberikan santunan berupa bahan makan, lebih- lebih jika keluarga mayit itu orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin. Imam Syafi'i didalam Kitabnya AL UM, antara lain mengatakan demikian: "Dan aku menyukai, bagi tetangga mayit atau sanak kerabatnya untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengeyangkan mereka, dan amalan yang demikian itu adalah sunnah." ( As Syafi'i, AL UM, juz 1, hal. 247). Selanjutnya Imam Syafi'i mengatakan bahwa hal itu berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Ja'far sbb: "Abdullah bin Ja'far berkata, tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja'far, Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM bersabda, "Hendaklah kamu membuat makanan untuk keluarga Ja'far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyusahkan." (HR. As Syafi'i/AL UM, juz 1, hal. 247). Hadits ini menunjukkan bahwa menurut sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, kaum Muslimin baik tetangga mayit atau sanak kerabatnya, hendaknya berusaha menghibur keluarga mayit yang sedang ditimpa kesusahan itu dengan cara memberikan bantuan barupa bahan makanan dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang tidak mampu atau miskin. Maka Imam Syafi'i menganjurkan juga kepada kaum Muslimin agar mengamalkan ajaran yang mulia ini, karena hal itu sesuai dengan sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM. Sementara tradisi masyarakat muslim di tanah air kita ini masih berbuat hal yang bertentangan dengan anjuran Imam Syafi'i tersebut yaitu masih berlanjutnya tradisi selamatan hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, ke seribu dsb. dengan menyediakan hidangan makanan yang di samping acara selamatan juga disertai acara tahlilah, yang justru keduanya merupakan amalan yang tidak dibenarkan oleh ulama-ulama Syafi'iyah yang berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi

23.
Pengirim: Ridwan  - Kota: Probolinggo

Tidak ada paksaan kepada keluarga Mayat untuk mengadakan perjamuan kepada orang-orang yang hadir dalam majelis Tahlilan, jadi tidak ada istilah memberatkan bagi keluarga mayat. Memang yang dimakruhkan ketika hal itu memberatkan keluarga mayat, karena mereka adalah pihak yang bersedih. Adapun tujuan Tahlilan adalah mendoakan Mayat, dan membantu keluarga mayat mengikhlashkan kepergian si mayat. Adalagi bila makanan itu berupa sesaji, maka hukumnya sudah jelas haram dan syirik. Dan juga tidak ada aturan yang menyatakan harus diadakan pada 3, 7, 40, 100 hari atau berapapun acara itu dilaksanakan. Tidak ada paksaan mengenai hai itu, hanya saja hal itu kebiasaan baik saja dan ada juga hadits tentang disunnahkan selama 7 hari. Bukan wajib 7 hari. Gitu aja ko' repot.... Walloohu A’lam Bish Showaab.
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi

24.
Pengirim: Ridwan  - Kota: Probolinggo

Hadits yg dhaif bukanlah hadits yg maudhu ? Mencari tahu penyebab kenapa para Sesepuh NU memakai pendapat lemah daripada pendapat mayoritas yang mencela Perjamuan Tahlilan. Hadits yg dhaif bukanlah hadits yg maudhu, tetapi hanya hadits yg lemah sanadnya tetapi bukan hadits yg bohong krn asalnya dari nabi juga hadits yg dikatakan dhoif adalah hadits yg derajatnya kurang sedikit dari hadits shahih dan hasan Contohnya ada sebuah hadits berasal dari nabi, kemudian turun ke Mansur kemudian turun lagi pada Zeid,turun lagi kepada Khalid dan akhirnya turun kepada ibnu majah atau abu daud, kemudian Ibnu Majah dan Abu Daud membukukan hadits tsb dlm kitabnya Kalau yg bertiga tsb yaitu Mansur,Zeid dan Khalid terdiri dari orang baik baik dng arti baik perangainya, saleh orangnya,tidak lupa hafalannya maka hadits tsb dikatakan hadits shahih Tetapi kalau dari ketiganya ada yang terkenal dengan ahklaknya yg kurang baik umpamanya pernah makan sambil berjalan dimuka umum suka lupa hafalannya, maka haditnys dinamakan hadits dhaif Sehinga pada hakikatnya hadits yg semacam ini adalah dari kanjeng nabi juga tetapi hanya sanadnya yg kurang baik, bukan haditsnya yang kurang baik. Kenapa hadits yg dhaif bisa dipaki sbg dalil ? maka semua itu akan bersiggungan dengan Ijtihad Empat Imam mujtahid Muthlak mempunyai bebrapa ijtihad yg berbeda dlm masalah ini Dlm Mazhab Imam Syafi'i Hadits Dhaif tidak dipakai untuk dalil bagi penegak hukum,tetapi dipakai bagi Fadhailul Amal (amalan sunah) seperti zikr,doa, tahlil dsb Dlm mazhab hambali lebih longgar hadits dhaif dipakai dlm penegakan hukum dan fadhailul a'mal Imam Malik, Abu HAnifah dan Imam Ahmad memaki hadits dhaif krn mursal baik untuk penegakkan umum maupun fadhailul amal So Landasan dari ulama ulam NU pun sudah berpegang kepada Ijtihad dari Imam syafi'i, jadi kalau menurut ana pendapat itu tidaklah bertentangan dengan orang orang yang "anti Tahlil" (maaf ya kalau saya kutip lagi. Sehingga kalau menurut ana hanya orang orang yang anti tahlil saja yang tidak mengerti permasalahan tahlilah tsb
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi

25.
Pengirim: Anis  - Kota: Indramayu

Dhiii ... Sandhi, tahu nggak sih arti keluarga mayyit yang sedang kesusahan, siapa saja mereka ? Mereka adalah ahli waris mayyit. Pernah nggak sih ikut menyaksikan ibu-ibu para tetangga yang melayat ke tempat rumah duka ? Para ibu tetangga dan sanak famili mayyit yang bukan ahli waris itu datang berbondong-bondong ke rumah mayyit dengan membawa beras, gula, teh, kopi, dan bahan makanan lainnya untuk disumbangkan kepada keluarga mayyit, dengan tujuan untuk dijadikan suguhan bagi para tamu yang bertakziyah. Tahu nggak sih siapa yang masak untuk para tamu itu ? Mereka adalah para tetangga terdekat dan sanak famili yang hatinya digerakkan oleh Allah untuk ikut memebantu keluarga mayyit, layaknya mereka yang saling membantu di saat tetangganya mempunyai hajatan pernikahan salah satu anaknya atau yang semisalnya. Jadi, keluarga mayyit sama sekali tidak terbebani oleh apapun. Bahkan sering kali seusai acara tahlilan, baik yang dilaksanakan selama tiga hari maupun yang satu minggu, ternyata bahan makanan kiriman tetangga itu masih berlebihan, sehinnga dapat dimanfaatkan oleh keluarga ahli waris si mayyit. Nah, cocok toh amalan orang NU dengan perintah Nabi SAW. Lah sampean nggak pernah kumpul orang kampung yang mengadakan tahlilan saja, kok berani-berani komentar, mana bisa sampean tahu apa yang terjadi sesungguh di masyarakat. Nah yang paling tampak di tengah masyarakat ternyata adalah KEBODOHAN SANDHI dan CS-nya, wong nggak tahu hakikatnya kok berani komentar. Hai...masyarakat, buang saja tuh Sandhi dan pendapatnya di tempat sampah, biar nggak merepotkan masyarakat. Pak RT ... , tolong yaa kalau Sandhi ngurus perpanjangan KTP, suruh saja di pindah ke hutan, biar hidup bersama bangsa monyet yang sama-sama nggak pernah hadir tahlilan untuk temannya yang mati. Toloooong dong Pak RT ....!!  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami online kan untuk Sandhi. Agar tambah ngerti agama.

26.
Pengirim: diqqi  - Kota: temanggung

memang benar dan sangat valid kalau orang2 yang suka mentaksfir orang, menuduh bid'ah, dan menganggap dirinya paling baik. imannya tidak lebih hanya sampai dikerongkongan.sperti yang diriwayatkan imam bukhori..( akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. mereka banyak mengucapkan perkataan"khairil bariyah,iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. kalau orang ini berjumpa denganmu lawanlah)
sekarang sebagai umat islam mari kita mempererat ukhwah islamiyah kita, karena orang2 seperti diatas baaru memmbuat program GAM(gerakan ambil masjid, gerakan anti maulid, gerakan amanah memurnikan islam) dan banyak lagi siasat yang digunakan Orang2 ini.
LAYAKNYA SEORANG KWARIJ..
terus berjuang yai...,LAWAN ORANG2 RADIKAL, LIBERAL, LDII..KAMI PERWAKILAN TEMANGGUNG BANYAK BERTERIMA KASIH KEPADA PEJUANG ISLAM KHUSUSNYA YAI LUTFI  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mudah-mudahan bermanfaat bagi umat Islam Indonesia yang mayoritas bermadzhab Sunni Syafi'i. Amiiiiin.

27.
Pengirim: Maulana Al-Musawa  - Kota: Jakarta

Assallaamualaikum..
Tadz ada teman ana yang bertanya kepada ana ketika ana kirimkan artikel tentang bid'ah Hasanah dan dalalah..

seperti ini pertanyaannya :
Bgmna pndpt akhi dgn perbedaan pemahaman aqidah kita selama ini,
Sbgi cntoh; ketika rey mengatakan sesuai syariah bahwa
KULLU BIDAHTIN DHALALAH
Kemudian Akhi mengirimkn cttn, bhwa bidah ada yg hasanah !

Afwan yaa Akhi_
hal ini sudah merupakan salah-satu dari perbedaan pemahaman kita..
Sblmnya rey diamkan dgn harapan utk kemudian Akhi menyadari kekeliruan dari pendapat yg menyalahi syariat tsb, namun stlh bbrpa wktu; rupanya semakin jelas beda yg ada
Dan rey menyimpulkan bhwa Akhi seorang pengagung tasyawuf (perpaduan faham shufi-syiah)

Ketahuilah AKhi AL kariim;
bahwa bid'ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan.
Sebab seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut akan dosanya dan seringkali melakukan maksiatnya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat.
Sedangkan pelaku bid'ah justru akan semakin tenggelam dalam kebid'ahannya; yang dia akan semakin merasa yakin bahwa dia telah berada di atas kebenaran.

Padahal setiap pelaku bidah tidak akan diterima seluruh amalnya selagi ia belum meninggalkan kebidahannya jadi sngt tdk mungkin pelaku bidah utk bertobat jika dia telah menganggap bhw yg dilakukannya adlh sbh kebaikan
Itulah maksud dari kalimat diatas bhw bidah lebih berbahaya dari kemaksiatan.

Berikut adlh akibat buruk yang dialami pelaku bid'ah ; yakni :

1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka semua itu tertolak."
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah ra)

2. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid'ahan itu. Rasulullah SAW bersabda:

"Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid'ah sampai dia meninggalkan bid'ahnya."
(HR. Ibnu Abi Ashim dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim hal. 21)

3. Pelaku bid'ah akan mendapat laknat karena Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang berbuat bid'ah, atau melindungi kebid'ahan, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia."

(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari 'Ali bin Abi Thalib ra).
-----------------------------------------------

Dan mengenai tulisan pd cttn Akhi; (sedikit rey tanggapi) yg menganggap bhw shlt tarawih itu adlh bidah yg hasanah; sesungguhnya tidaklah demikian adanya_
Ketahuilah ya Akhi bahwa sholat tarawih itu bukan bid'ah tapi sunnah yg diriwayatkan oleh Aisyah Radiallahu,anhu bahwa Rasulullah SAW pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah SAW). Namun beliau tidak keluar.
Pada pagi harinya, beliau SAW bersabda:
Saya telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.
(Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)

Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Maka tatkala Umar z melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah SAW) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah Umar z ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah SAW sendiri.

Jadi jelas bahwa bidah yang dimaksudkan oleh Umar bin Al-Khaththab z adalah bidah dalam pengertian secara bahasa, bukan menurut istilah syariat. Dan jelas pula tidak mungkin Umar berani melanggar atau menentang sabda Rasulullah SAW yang telah menyatakan bahwa: Semua bidah itu sesat.
-------------------------------------------------------------------
ana minta tolong sama ustadz untuk menanggapinya..

Terimakasih tadz.
Wassallaamualaikum. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
1. Akhi baca artikel saya Kullu Bid'atin dhalalah ini, sekalian seluruh comentar pengunjung, akhi pasti akan mendapatkan jawabannya.

2. Ada teman yang mau bantu jawabannya.

3. Pada artikel Peringatan Maulid Nabi SAW, tolong akhi baca di Karya Tulis Pejuang. Krn Abuya Almaliki juga sudah memberi jawaban lengkap.

28.
Pengirim: Wahhabi  - Kota: Indonesia

Bismillah, yg jelas jika kita tidak melakukan ziarah kubur safar, sholawat gaya baru, peringatan haul, dzikir berjamaah dipimpin seseorang, dan yg semisalnya maka sama sekali tidak salah - krn Nabi & para Shahabatnya tidak pernah melakukan yg demikian - shg kalo kita menyalahkan org2 yag tidak mau melakukan hal2 tsb berarti menuduh Nabi & para Shahabatnya telah salah - naudhubillah. Sedangkan bagi yg melakukannya kalo tidak yakin bid'ah minimalnya ragu syubhat ant benar ato salah, sedangkan disebutkan dlm Al Qur'an (yg artinya) : (Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan 10:32) - dan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yg artinya) : (Sungguh aku telah tinggalkan kepada kalian ajaran yang putih bersih malamnya seperti siangnya, tidak menyimpang darinya melainkan pasti akan binasa -maaf lupa diriwayatkan siapa namun dari shahabat Al 'Irbadh Radhiyallahu 'anhu ) Wallahu a'lam
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Anda tidak suka ziarah kubur itu maklum, karena anda tidak senang kepada Nabi SAW yang memerintahkan : Kuntu nahaitukum 'an ziyaaratil qubuuri, alaa fazuuruuha (dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tetapi kini berziarah kuburlah. HR. Muslim)

Anda tidak senang baca shalawat dan pujian kepada Nabi SAW, ya sangat dimaklumi, karena anda tidak senang kepada Nabi SAW dan anda tidak pernah tahu sejarah bagaimana shahabat Hassan bin Tsabit saat mengubah syair-syair pujian kepada Nabi SAW dengan bahasa-bahasa yang indah sebagai makna shalawat kepada Nabi SAW.

Anda tidak senang menghauli (berdoa setiap tahun) untuk keluarga muslim, ya sangat dimaklumi, karena anda sangat sulit memahami bagaimana Nabi SAW 'alaa raksi haulin (setiap tahun/haul) berziarah dan membacakan doa untuk para syuhada Baqi' dan Uhud (HR. Baihaqi)

Anda tidak senang ikut dzikir berjamaah, sangatlah maklum karena ada tidak pernah paham Hadits Qudsi, Allah berfirman yang artinya: Barang siapa yang menyebut (berdzikir) kepada-Ku dalam kelompok yang besar (berjamaah), maka Aku (Allah) akan menyebut (membanggakan) nya dalam kelompok (malaikat) yang lebih besar (banyak) pula (HR. Bukhari-Muslim)

29.
Pengirim: Ridwan  - Kota: Probolinggo

Untuk Wahhabi Indonesia :

Yg salah adalah org mencela dan menganggap suatu amalan yg kami (nahdliyin) lakukan adalah sbuah kesesatan.

Bid'ah itu telah trjadi di zaman rasul dan stelah rasul wafat. coba baca scara seksama artikel2 kiai Luthfi. Bantah dalil juga dg dalil bkn dg asumsi.

Kami tdk prnah menyalahkan org yg tdk mengamalkan apa yg kami amalkan. Kami hnya menyesalkan ada org yg trburu2 bicara tnpa ilmu dan menyesat2kan amaliah org lain.

Dalam mu'amalah: kami melakukan smua amal, kcuali ada dalil yg mlarangnya. Pada dasarnya amaliah kami brdasar qur'an wa sunnah....

Gimana jika anda ngomong sama syeikh anda, bicarakan gimana jika syeikh anda dipertemukan dalam sbuah forum ilmiah untuk bertabayyun kpd kami. Tentunya jika anda berani dan bersikap suportif....

Bahwa amaliah yg kami amalkan bukan sebuah syubhat. Tdk ada ulama yg mengatakan syubhat, kcuali anda dan Syeikh2 anda.

Belalakkan mata, baca referensi ulama selain dari golongan anda, biar anda dapat bersikap obyektif, analisis, dan kritis trhadap Syeikh2 anda. perlu forum untuk mmpertemukan, jadi tidak bs selesai di media ini.

trimaksih
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kami posting untuk Wahhabi Indonesia, agar dapat menambah pemahamannya dikit.

30.
Pengirim: sayuti nor  - Kota: medan

saya mau bertanya ustadz, apakah bid`ah dolalah itu mendatangakan perbuatan haram ? ada ngak dalilnya ustadz  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Bid'ah dhalalah adalah menciptakan amalan baru dalam Islam yang bertentangan dengan ajaran syariat. Contohnya mengadakan kegiatan Doa Bersama Muslim - Non Muslim, dan dipimpin secara bergantian oleh tokoh-tokoh dari selurh agama. Amalan ini bertentangan dengan firman Allah Lakum diinukum waliyadin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Ritual agama Islam tidak boleh dicampur aduk dengan ritual agama lain. Sedangkan Nabi SAW berdabda: Adduaa mukhkhul ibaadah (doa itu adalah inti ibadah).

31.
Pengirim: Rickie astafi  - Kota: Bengkalis

dalam masaalah agama saya masih merasa kurang ngerti adanya perbedaan kenduri arawah kata imam syafii kenduri arwah itu tidak ada tetapi kalau dipikir memang benar bahwa kenduri itu nggak salah karena bid;ah hasanah, jadi gimana dengan masaalah ini! 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kenduri itu adalah bahasa Indonesia, artinya seseorang mengundang masyarakat untuk menghadiri hajatan keluarganya, lantas sebagai tuan rumah yang baik tentunya akan memberi jamuan makanan dan minuman kepada tamu undangan, baik itu acara walimah nikah, resepsi pernikahan, ulang tahun, arisan, kirim doa untuk sesepuh alias tahlilan, tasyakkuran haji, dan lain sebagainya. Hampir semua masyarakat dari semua aliran pernah menghadiri hajatan keluarga dan mendapat jamuan makan yang dinamakan kenduri. Jadi tidak ada larangan sedikitpun, bagi tuan rumah yang akan menjamu para tamunya, bahkan termasuk sunnah ikramud dhoif, menghormati tamu. Adapun yg sering dipermasalahkan oleh kaum Wahhabi adalah penjamuan bagi para pelayat saat pada hari2 pertama mayyit wafat, karena diduga memberatkan keluarga mayyit yg terkena musibah, ini adalah salah persepsi, karena realitanya di saat mayyit wafat, maka para tetangga kanan kiri, serta handai taulan, karib kerabat pada berdatangan di samping bertakziyah mereka juga membawa sembako untuk diberikan kepada keluarga mayyit, dan ada juga yang membantu mengelolah memasak sembako itu untuk disuguhkan kepada para pelayat, sehingga keluarga ahli warits mayyit tidak mengeluarkan sepersenpun dalam menjamu para pelayat dan tidak terbebani tenaga sedikitpun. Bahkan yang lazim terjadi, setelah selesai mengirim doa tahlil pada hari yang ditentukan, maka terjadi kelebihan sembako yang menjadi hak bagi keluarga ahli warits si mayyit. Maka sudah sesuai dg perintah Nabi : masakkanlah untuk ahli warits mayyit yang sedang kesusahan.

32.
Pengirim: akrom  - Kota: semarang

apa dalilnya doa berjamaah, dzikir berjamaah baik diluar sholat maupun diluar sholat 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Alhamdulillah, di bumi Sunni Syafi'i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang mengamalkan ajaran Nabi SAW, antara lain yang disebutkan dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda : Maa qa'ada qaumun lam yadzkurullaha fiihi walam yushallu 'alan nabiyyi shallallahu alaihi wasallam, illaa kaana alaihim hasratan yaumal qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di suatu tempat, dan tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula bershalawat untuk Nabi SAW, kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat).

Yang dinamakan kaum dalam hadits di atas adalah sekelompok orang yang duduk bersama dalam suatu majelis. Jika saja yang dimaksudkan adalah perorangan, maka Nabi SAW cukup mengatakan maa qa'ada rajulun (tidaklah seseorang yang duduk), tetapi Nabi SAW mengatakan qaumun (suatu kaum).

Artinya baik mereka membacanya secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bahkan pemahaman yang lebih dekat dengan kebenaran, adalah secara bersama-sama, baik dengan suara pelan dan lirih, yang hanya dapat didengarkan oleh dirinya sendiri, maupun dengan mengangkat suara secara wajar sehingga terdengar suara koor dalam melantunkan senandug dzikir maupun shalawat Nabi, hal ini sama seperti yang dilakukan umat Islam di saat menggemakan takbiran di malam Hari Raya secara bersama-sama dengan suara keras.

Semua cara dalam menghidupkan majelis dzikir dan shalawat yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sama, tidak ada larangan secara spesifik baik dari Alquran maupun hadits shahih manapun.

Karena itu, kegiatan masyarakat Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan, perkampungan, maupun perkotaan dalam mengadakan majelis dzikir kepada Allah, majelis shalawat untuk Nabi SAW, maupun majelis ta'lim untuk memahami ajaran syariat Islam adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Ayoo lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis ta'lim di wilayah kita masing-masing, agar tidak ada penyesalan pada hari Qiyamat nanti.

Bravo warga Sunni Syafi'i di Indonesia.

33.
Pengirim: moes simon  - Kota: jakarta

sy heran ,,, mengapa ada doa yang mengatakan " muslimina wal muslimat , walmukminii wal mukminat ,, intinya kalau terputus amal baik manusia kecuali ' amal yang baik ' amal yang baik " dan sedekah " kalau lah tahlilan di kaitkan dengan bid'ah ,, kenapa ada doa yang seperti itu,  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Karena itu, biarkan saja ANJING MENGGONGGONG, kafilah Tahlilan tetap berjalan.

35.
Pengirim: wahyudi  - Kota: jember

melanjuti apa yang telah dianjurkan ust waktu di SMS.begini ust... saya pernah dengar dr salah seorang teman saya, bahwa bacaan al-fatihah yang dikirim oleh seseorang kepada mayyit yang bkn mrupakan sanak famili dari mayyit, mk pahalanya tidak akan sampai kpd si mayyit karena mereka mempunyai dasar bahwa semua amal mayyit akan terputus kecuali 3 perkara(ank soleh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah).......NAH waktu di SMS ust jwb "ayat itu sdh di mansukh dgn ayt lain...tolg berikan jawaban tentang pertanyaan tsb dgn detail sehinga kevalidtannya tdk diragukan lagi, dan bunyi ayat yg menasakh 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Banyak jawaban untuk menerangkan surat Annajm pada ayat wa an laisa lil insani illaa maa sa'aa :

1. Sesuai dengan pemberiataan isi ayat, bahwa aturan itu berlaku bagi umatnya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa (fi shuhufi ibraahiima wa muusa). Sedangkan dalam syariat Nabi Muhammad SAW ayat tersebut sudah dimansukh oleh ayat wa alhaqnaa dzurriyyatahum (dan Kami masukkan sorga anak cucu mereka), artinya karena kebaikan amalan orang-orang tua, maka Allah berkenan memasukkan anak cucu orang-orang shalih itu ke dalam sorga), demikian ini menurut tafsir Shahabat Abdullah bin Abbas RA.

2. Ibnu Taimiyah sendiri menerangkan ada 21 jawaban tentang ayat wa an laisa lil insaani illaa maa sa'aa, di dalam kitab Ghayatul Maksud hal 101, antara lain Ibnu Taimiyah mengatakan : man i'taqada annal insaana laa yantafi'u illaa bi'amalihi, faqad kharraqal ijmaa', wa dzaalika baathilun min wujuuhin katsiirah (barangsiapa yang meyakini bahwa manusia (termasuk mayit) itu tidak dapat mengambil manfaat (pahala dari orang lain) kecuali hanya dengan amalnya sendiri, maka ia telah melanggar (merusak) ijma' (kesepakat para shahabat/ulama) dari beberapa sudut pandang, (Ibnu Taimiyah mencontohkan) :

- Bahwasannya seseorang itu dapat mengambil manfaat dari doanya orang lain, ini termasuk mengambil manfaat dari amalan orang lain.

- Bahwa Nabi SAW kelak akan mensyafa'ati calon-calon penghuni sorga di Padang Mahsyar, kemudian mensyafa'ati kaum muslimin yang masuk neraka untuk dikeluarkan lantas dimasukkan ke dalam sorga berkat syafaat Nabi SAW. Ini juga termasuk mengambil manfaat dari amalan orang lain.

- Demikian hingga 21 keterangan dari Ibnu Taimiyah, tapi cuplikan ini sudah cukup mewakili semuanya. Kami persilahkan juga akhi membaca artikel : IKUT TAHLILAN YOOK !

36.
Pengirim: is  - Kota: jawa

bagaimana hukumya ketika disuruh menghadiri 3 hari umat nasrani? padahal tetanga sebelah 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Kaum Nasrani mempunyai jemaat tersendiri di luar Islam. Biar mereka mengurusi komunitasnya sendiri dan tidak melibatkan umat Islam. Menghadiri ritual non muslim jelas-jelas bid'ah dhalalah yang sesat sekalipun si non muslim itu tetangga. Ada cara lain dalam mengaplikasikan kewajiban menghormati tetangga, yaitu tidak mengganggu tetangga yang non muslim selagi mereka tidak membuat keresahan.

37.
Pengirim: Athiyyah  - Kota: sangata

Bingung dengan tulisan d atas, d satu sisi berdalil pad Al-Qur"an n Hadits tapi di lain sisi berdall dengan akal...
kalau merujuk pada tulisan diatas...maka, makan bakso adalah bid"ah karena Rasulullah tidak pernah melakukannya.
Allahua"lam... 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Bid'ah menurut versi Wahhabi berbeda dengan versi Ahlus sunnah. Tatkala Nabi SAW mendiskrepsikan Bid'ah, beliau hanya mengatakan KULLU BID'ATIN DHALALAH. Ahlus sunnah mengikuti pemahaman dengan dalil Alquran- bahwa arti KULLU adalah SEBAGIAN, maka menghasilkan arti SEBAGIAN BIUD'AH ITU SESAT (berarti sebagian lagi tidak sesat). Jadi menurut Ahlus sunnah, bahwa Bid'ah itu dibagi dua, pertama: Bid'ah Hasanah/baik karena tidak menentang syariat, seperti makan bakso hukumnya boleh sekalipun tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW. Kedua : Bid'ah Dhalalah/sesat, karena menentang syariat, contohnya mengadakan doa bersama dengan non muslim dalam satu mimbar, dengan bergantian memimpin doa dari tokoh-tokoh yang berlainan agama.

Wahhabi memaham bahwa arti KULLU itu adalah SEMUA. Maka hal ini mengharuskan adanya pemahaman bahwa: Segala amalan ummat Islam yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW dinilai sesat. Nabi SAW nggak pernah makan bakso, berarti jika ada umat Islam yang makan bakso, termasuk Bid'ah Sesat, tentunya menurut Wahhabi. Nah, tatkala Wahhabi mendapatkan permasalahan seperti ini, mereka mencari solusi akal-akalan, yang tidak berdasarkan satupun hadits shahih apalagi ayat Alquran, yaitu membagi Bid'ah menjadi dua juga. Hanya, biar tidak dikatakan mencontek Ahlus sunnah, maka Wahhabi membagi Bid'ah pertama : Bid'ah Duniawiyah/keduniaan dan boleh diamalkan sekalipun tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW, seperti bolehnbya orang Wahhabi makan bakso. Yang kedua adalah Bid'ah Diniyah/sesat, yaitu semua amalan umat Islam yang tidak mencocoki pemahaman Wahhabi maka dihukumi sesat. Sekalipun umat Islam mampu menjelentrehkan dalil-dalil Alquran dan Hadits shahihnya terhadap amalan yang mereka kerjakan, namun jika tidak memenuhi selera Wahhabi, tetap saja divonis sebagai Bid'ah Dhalalah/sesat.
Paradoksnya, sampai detik ini, kaum Wahhabi belum dapat menunjukkan satu saja ayat Alquran maupun Hadits Shahih (bukan nalar dan akal-akalan) bahwa Allah atau Nabi SAW membagi Bid'ah menjadi dua, yaitu BID'AH DUNIAWIYAH dan BID'AH DINIYAH. Kalau kaum Wahhabi masih menggunakan nalar dan akal-akalan untuk berdalil, mak apa bedanya dengan metode yang dilakukan oleh Ahlus sunnah. Mudah-mudahan nalar Akhi sudah semakin faham saat membaca ulang artikel KULLU BID'ATIN DHALALAH.






















38.
Pengirim: johny_marta@yahoo.com  - Kota: medan

Sesuai dgn ilmu nahu maka "kullu" artinya semua jika tidak ada kata istisna(pengecualian seperti illa ,walakin).. disini taksis dari kullu tidak ada.
Mengenai : Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin. disini adalah tafsir maka siapa yg hayyin itu? Hayyin adalah anak cucu Adam dibumi.Allah telah menurunkan Adam dan hawa ke bumi maka hidup dan matilah engkau disitu(sari Alquraan).Mentaksiskan dalil qathi' harus dgn qathi bukan tafsir zanny seperti itu kerna tidak tepat yang hidup itu termasuk iblis malaikat saja maka Allah SWTpun hidup.(hayyun)tapi kekal ;Jadi arti hayyun disini adalalah makluk hidup dibumi.Bagaimana saya balik ke anda :wa innAllaha 'ala kulli syain qadir(Allah berkuasa atas segala sesuatu(semua).Apa bisa sdra. katakan Allah SWt hanya berkuasa atas sebagian??Jadi Tuhan mana lagi yg kuasa thdp yg lainnya??Tentu cara menterjemah kullu dgn cara seperti sdra. tidak benar.Dalam Ibadah hanya atas dasar perintah dlm muamalah atas dasar jika ada larangan, maka ibadah ada istilah bid'ah sedangkan muamalah dipakai istilah halal,haram dsbnya.Ini penjelesan ringkas jika mau panjang .Baca Ilmu Pengantar Fikih Hasby Asadiki & Ushul fikih wahab Kalaf atau &:hub:johny_marta@yahoo.com 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Ilmu Nahwu, Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih adalah termasuk BID'AH, karena tidak ada satupun tekstual ayat Alquran maupun Hadits Shahih yang memerintahkan orang untuk mempelajarinya, apalagi yang menerangkan sisi keilmuannya dan menerapkannya sebagai dalil dari sebuah pemahaman.

Hanya saja kami kaum Aswaja mengategorikan Ilmu Nahwu, Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih termasuk BID'AH HASANAH, karena dalam pengertian KULLU bid'atin dhalalah ini kami terjemahkan dengan arti: SEBAGIAN bid'ah itu sesat.

Padahal anda dan kaum Wahhabi lainnya menolak pengertian kami ini, dan anda meyakini arti KULLU bid'atin dhalalah itu bermakna: SEMUA bid'ah itu sesat.

Dengan demikian anda sendiri telah terjerumus ke dalam KESESATAN BID'AH nya Ilmu Nahwu, Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih, tentunya menurut persepsi anda sendiri.

Belum lagi anda sudah masuk dalam kawasan KESESATAN BID'AH dalam persepsi anda sendiri, saat anda mengatakan bahwa yang dimaksud Hayyin itu khusus untuk makhluk yang hidup di bumi.

Jelas keterangan anda ini adalah Bid'ah dhalalah karena tidak berdasarkan satupun tekstual ayat Alquran maupun hadits shahih manapun. Masih banyak sejatinya keterjerumusan anda dan kaum Wahhabi lainnya dalam lobang KESESATAN SEMUA BID'AH, sekali lagi ini dalam persepsi anda sendiri tentunya, bukan dalam pemahaman kami kaum Aswaja.

Pemahaman kami kaum Aswaja selama ini mengenal kontekstual dari sebuah dalil baik dari ayat Alquran maupun Hadits nabawi, sehingga kami tidak kaku dalam memahami agama.

Berbeda dengan anda dan kaum Wahhabi lainnya, yang mengharuskan konsep tekstual jika berdalil untuk sebuah amalan, namun dalam prakteknya justru banyak melanggar aturan yang anda buat sendiri, seperti halnya yang terjadi pada kaum Wahhabi pada umumnya.

39.
Pengirim: khofy alquthfby  - Kota: probolinggo

Dalam quran masih banyak kata “kullu” yg tdk selalu brrti semua, melainkan ada pengecualian. Oia, sy bilangi mas johny kalo nulis itu pakai referensi, jd tdk hny story atau his story (katanya). Hadis “wa kullu bid’atin dholalah” adalah nash yg maknanya umum, namun jangkauannya dibatasi dg dalil2 lain, shg maknanya mnjadi “sebagian besar bid’ah itu sesat” (syarh al nawawi ‘ala muslim, 6:154). Disisi lain, rasul seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yg blm prnah diajarkan oleh beliau. Misalnya, berkaitan dg tatacara ma’mum masbuq dlm shlt brjama’ah:
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata “ Pada masa Rosululloh saw., bila seorang datang terlambat beberapa rekaat menghikuti sholat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dahulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rekaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rekaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk kedalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rekaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk kedalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rosululloh saw. selesai sholat, maka Mu’adz segera mengganti rekaat yang tertinggal itu, ternyata setelah Rosulullloh saw. selesali sholat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jambal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau saw. menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat sholat kalian”. Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal beliau saw. bersabda: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat sholat kalian. Begitulah cara yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad(5/ 233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaiban dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafidz Ibn Daqiq al-‘Id dan al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi) Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti sholat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi saw. tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata “Mengapa kamu membuat cara baru dalam sholat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya.

Dalam hadits lain diriwayatkan: “Rifa’ah bin Rafi ra. berkata: “Suatu ketika kami sholat bersama Nabi saw. ketika beliau bangun dari ruku’. Beliau berkata: “sami’allohu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki dibelakangnya berkata: “Rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih”. Setelah selsesai sholat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih tiga puluh malaikat rebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari). Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi saw. yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi saw. membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Atsqolani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam sholat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang daru Nabi), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits ”kullu bid’atin dholalah (setiap bid’ah adalah sesat)” , bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasululloh saw. akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup. perlu km ketahui bpk Johny, pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi saw., termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam shahih-nya : “Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata : “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang dimasjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang sho;at sendirian. Ada juga yang sholat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar R.a berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku pergi ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan sholat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar Berkata “Sebaik-baik bid’ah adakah ini. Tetapi menunaikan sholat diakhir malam, lebih baik daripada diawal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih diawal malam.” (HR. al-Bukhari). Rasululloh saw. tidak pernah menganjurkan sholat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukanya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukanya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukanya. Demikian pula pada masa Khalifa Abu Bakar R.a kemudian Umar ra. mengumpulkan mereka untuk melakukan sholat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukanya. Apa yang mereka lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah karena itu Beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”

Dan masih banyak lagi dalilnya. Semua bid’ah adalah sesat, perlu ditelaah dan dikaji kembali dg mensinergikan hadist lain yg mmbatasinya, shingga maksud dari teks hadist tsb dpt kita ketahui scara komprehensif. Hal tsb supaya kita tdk ceroboh, dan kata org madura “wametuah” (bc: sok tau).

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mas Johny Marta perlu membaca coment ini dengan seksama.

40.
Pengirim: khofy alquthfby  - Kota: probolinggo

Yg perlu mas johny fahami, dlm kaidah ushul fiqh yg menegaskan bahwa mmbatasi suatu dalil harus menggunakan dalil (head to head), bukan dg hawa nafsu. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mas Johny Marta perlu baca koment ini dengan seksama.

41.
Pengirim: Joni  - Kota: Medan

Ass ww. Trima kasih sudah ditanggap komentar sy yg lalu tapi tidak menjawab pertanyaan sy yg sangat mendasar atas pengertian "kullu" dlm ayat "waLllahu a'la kulli sya'in qadir" yg mana semestinya artinya :Bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu.Kalo dipahami kullu bisa tidak semua maka arti ayat itu adalah "Bahwa Allah berkuasa sebagian saja " Bukankah ini bisa jatuh benar2 sesat?Kerna ini masalah akidah.Maka benarlah makna sesat itu jadi neraka jika pemahaman yg keliru seperti ini.Sekali lagi sy utarakan kullu bisa ditaksis jika ada kalimat istisna(pengkecualian seperti illa dsbnya )Coba renungkan. Kemudian saya disodori soal "bid'ah" membuku AlQur'an.Disini saya katakan tidak ada bid'ah kerna membuku Alquran kerna sudah pernah dibuku /ditulis pd zaman Rasul dalam kulit2 kayu dan kulit binatang namun kerna waktu itu belum ada mesin offset maka belakangan baru dicetak pakai kertaS HVS sampai sekarang.Alhamdulillah walaupun sudah dicetak tidak ada suatu ayatpun yg bertambah.Bukankah Allah Swt telah menyatakan :"Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alquran dan Kami yg memeliharanya?.
Mengenai masalah ilmu Nahu dan sbgnya itu juga bukan bid'ah kerna Bahasa Arab pada waktu turunnya Alqura' sudah baku bahkan banyak penyair2 masa itu telah mebuat syi'ir berbau pujian,perjuangan.Bahkan Rasulullah pernah membuat surat kepada Herklius dari Byzantium dan membuat surat keperbagai daerah yang beliau mengajak masuk Islam .Kalau waktu itu Bahasa Arab tidak baku dgn kata lain nahunya belum ada bagaiamana islam bisa dikembangkan waktu itu.Sungguh Allah Swt Maha bijaksana menurunkan Alquran dlm bahasa Arab .Surah 12:2 "Sesungguhnya Kami turunkan berupa Alquran berbahasa Arab agar kamu mengerti"Para Ulama bukan pencipta Nahu tapi mereka hanya menggali ilmu Nahu yg sudah ada ,dikembangkan dan dicetak sampai sekarang ini. Ulama ibarat penggali tambang emas dan membuatnya jadi perhiasan namun emasanya sudah ada dibumi.Pada waktu zaman Rasul pengajian dan dakwah sudah berjalan dalam bahasa Arab bahkan diantara guru2 itu ada tahanan perang badar maka mereka sebagai denda disuruh mengajar kerna mereka faham bahasa arab.Abu 'ubaidtadail hlm 126 : "uthman bin Affan melaporkan bahwa nabi Muhammad pernah bersabda : Yg terbaik diantara kalian ialah yg mempelajari Alquran dan mengajarkannya.Ada pula yg menyatakan bahwa Rasul ada ahadist yg intinya adalah siapa yg mencontohkan suatu kebaikan maka dapat pahala maka ini dijadikan dasar membuat amalan2 baru(bid'ah wajib.kasanah dll) padahal asbabun waurud hadist itu adalah Rasul dalam usaha mengumpulkan uang utk org miskin maka Jarir duluan mengeluarkan uang.Maka keluarlah hadist itu yg maksud Nabi adalah siapa2 yg duluan memberi contoh yg baik terhadap APA YG DIMINTA RASUL bukan yg lainnya.Maaf terlalu panjang bicata soal bid'ah ini namun sy harapkan tidak menimbulkan perpecahan dalam Islam.Wallahu'alam 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Loh, Mas Johni, yang menghukumi Ilmu Nahwu sama dengan Bhs. Arab itu Nabi SAW atau anda sendiri siih ? Saya kan nggak butuh nalar anda, tapi saya minta dalil qath'i yang harfiy (tekstual) dari ayat Alquran atau Hadits yang mengatakan wajibnya BELAJAR ILMU NAHWU. Karena menurut nalar saya, sangat jauh perbedaan antara pelajaran Ilmu Nahwu dengan Ilmu Bhs. Arab. Karena Ilmu Nahwu itu hanya bagian kecil dari Ilmu Bhs. Arab. Buktinya di Indonesia ini banyak sekali orang yang matang dalam Ilmu Nahwunya, tapi sama sekali dalam keseharian tidak bisa bicara berbahasa Arab.

Makanya, justru pembatasan pemahaman anda dan kaum Wahhabi lainnya terhadap lafadz Kullu yang terlalu harfiyah/tekstual itu, dapat mempersempit perilaku anda, hingga dapat terjebak pada Bid'ah Dhalalah sesuai definisi anda sendiri, contoh lain tidak ada satupun dalil tekstual yg shahih, bahwa Nabi SAW pernah mengadakan diskusi agama lewat internet. Jika anda menganggap diskusi kita ini termasuk ibadah yang mendapat pahala dari Allah, maka inilah ibadah yg bid'ah, karena Nabi SAW dan para Salaf tidak pernah melakukannya. Jika anda menganggap diskusi ini bukan ibadah yg mendapatkan pahala dari Allah, maka sia-sialah pekerjaan anda berlama-lama di depan internet apalagi di bulan Ramadlan.

Perlu anda tahu, untuk memahami Hadits yg menggunakan bahasa Arab itu, tidak bisa dimaknai hanya dhahir/tekstual lafadznya saja, tetapi adakalanya harus menggunakan pemahaman majaziyah atau juga maknawiyah (konstektual). Ada kalanya Kullu harus diartikan 'setiap', jika sesuai dg keadaan yang mendukung, tapi adakalanya Kullu harus diartikan 'sebagian' sesuai kebutuhan yg rasional. Sudah kami bahas dalam artikel.

Seperti juga arti lafadz 'Alaa, ada kalanya harus diartikan 'di atas' sesuai dg arti tekstualnya seperti lafadz : Assafiinatu 'alaa syaathi'il bahr (kapal itu ada 'di atas' permukaan laut). Tapi terkadang lafadz 'Alaa juga harus diartikan 'di bawah' seperti hadits Nabi SAW : wa minbari 'alal haudl, maka harus diartikan (dan mimbarku ini 'di bawah' telaga haudl). Karena Nabi SAW menggambarkan (sebagai pendekatan pemahaman kepada umat Islam) bahwa keberadaan sorga itu ada di atas, tapi Nabi SAW justru menggunakan lafadz : wa minbari 'alal haudl (dan mimbarku -yg di masjid Nabawi- ini tepat 'di bawah' telaga haudl). Di sini 'ala harus diartikan 'di bawah', bukan diartikan 'di atas' mengikuti tekstual lafadz hadits. Karena artinya menjadi tidak rasional. (Shaheh Bukhari, bab Fadhailil madinah, tentang letak Raudhah di Masjid Nabawi).

Nah, jika saja anda tetap keras kepala bahwa hadits Kullu Bid'atin harus diterjemahkan sesuai dg tekstual lafadz, dan anda menolak kontekstual lafadznya, maka saya menuntut anda: mana dalil tekstual lafadz Alquran /Hadits tentang Wajibnya belajar Ilmu Nahwu, bukan dari hasil penalaran anda. Karena penalaran anda itu belum tentu benar dan tidak menutup kemungkin justru salah.

Ketahuhlah bahwa kebenaran hakiki itu hanyalah yang datang dari Alquran dan Hadits. Intinya penalaran anda semacam di atas itu termasuk bid'ah yg tidak pernah difirmankan oleh Allah atau disabdakan oleh Nabi SAW. Untung saja menurut penalaran/pemahaman Aswaja, bid'ah dibagi dua : Bid'ah Hasanah (seperti penalaran anda) dan Bid'ah Dhalalah (seperti ajaran sesat kaum Syiah Imamiyah). Sedangkan menurut penalaran anda, justru semua Bid'ah adalah Dhalalah, jadi artinya penalaran anda tetang Ilmu Nahwu, adalah termasuk Bid'ah Dhalalah yaa ?

42.
Pengirim: ahmad alquthfby  - Kota: probolinggo

Ass ww. Trima kasih sudah ditanggap komentar sy yg lalu tapi tidak menjawab pertanyaan sy yg sangat mendasar atas pengertian "kullu" dlm ayat "waLllahu a'la kulli sya'in qadir" yg mana semestinya artinya :Bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu.Kalo dipahami kullu bisa tidak semua maka arti ayat itu adalah "Bahwa Allah berkuasa sebagian saja " Bukankah ini bisa jatuh benar2 sesat?Kerna ini masalah akidah.Maka benarlah makna sesat itu jadi neraka jika pemahaman yg keliru seperti ini.Sekali lagi sy utarakan kullu bisa ditaksis jika ada kalimat istisna(pengkecualian seperti illa dsbnya )Coba renungkan.
- Secara sederhana agar mudah mz joni fahami adalah, maksud dari penerapan kata kullu itu adalah berarti semua jika tidak ada dalil yang mengecualikan. Coba mz joni cari ayat qur'an atau hadist yang mengatakan bahwa alloh berkuasa sebagian saja. Kalo ada sy cungi 1001 jempol.

Kemudian saya disodori soal "bid'ah" membuku AlQur'an. Disini saya katakan tidak ada bid'ah kerna membuku Alquran kerna sudah pernah dibuku /ditulis pd zaman Rasul dalam kulit2 kayu dan kulit binatang namun kerna waktu itu belum ada mesin offset maka belakangan baru dicetak pakai kertaS HVS sampai sekarang.Alhamdulillah walaupun sudah dicetak tidak ada suatu ayatpun yg bertambah. Bukankah Allah Swt telah menyatakan :"Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alquran dan Kami yg memeliharanya?.
- kalo ditulis dikulit2 kayu yg berserakan itu bukan mmbukukan namanya mz, gemana smpean ne. usul penghimpunan quran dalam 1 mushaf adalah atas dasar sy.umar. menurut anda, apakah rasul bs menghimpun quran dlm 1 mushaf? Dan apakah rasul pernah memerintahkan utk membukukan Alquran dalm 1 mushaf? Kalo ada tunjukkan dalilnya. Menurut sy, njenengan jgn trlalu cupet memahami agama. Jgn ngekor sama wahhabi. Kalo ada ustad wahhabi yg berani berdialog scara terbuka, terhormat, dan bermartabat, mari kita adakan? Utk bahas bid'ah.

Mengenai masalah ilmu Nahu dan sbgnya itu juga bukan bid'ah kerna Bahasa Arab pada waktu turunnya Alqura' sudah baku bahkan banyak penyair2 masa itu telah mebuat syi'ir berbau pujian,perjuangan.Bahkan Rasulullah pernah membuat surat kepada Herklius dari Byzantium dan membuat surat keperbagai daerah yang beliau mengajak masuk Islam .Kalau waktu itu Bahasa Arab tidak baku dgn kata lain nahunya belum ada bagaiamana islam bisa dikembangkan waktu itu.Sungguh Allah Swt Maha bijaksana menurunkan Alquran dlm bahasa Arab .Surah 12:2 "Sesungguhnya Kami turunkan berupa Alquran berbahasa Arab agar kamu mengerti" Para Ulama bukan pencipta Nahu tapi mereka hanya menggali ilmu Nahu yg sudah ada ,dikembangkan dan dicetak sampai sekarang ini. Ulama ibarat penggali tambang emas dan membuatnya jadi perhiasan namun emasanya sudah ada dibumi. Pada waktu zaman Rasul pengajian dan dakwah sudah berjalan dalam bahasa Arab bahkan diantara guru2 itu ada tahanan perang badar maka mereka sebagai denda disuruh mengajar kerna mereka faham bahasa arab.Abu 'ubaidtadail hlm 126 : "uthman bin Affan melaporkan bahwa nabi Muhammad pernah bersabda : Yg terbaik diantara kalian ialah yg mempelajari Alquran dan mengajarkannya.Ada pula yg menyatakan bahwa Rasul ada ahadist yg intinya adalah siapa yg mencontohkan suatu kebaikan maka dapat pahala maka ini dijadikan dasar membuat amalan2 baru(bid'ah wajib.kasanah dll) padahal asbabun waurud hadist itu adalah Rasul dalam usaha mengumpulkan uang utk org miskin maka Jarir duluan mengeluarkan uang.Maka keluarlah hadist itu yg maksud Nabi adalah siapa2 yg duluan memberi contoh yg baik terhadap APA YG DIMINTA RASUL bukan yg lainnya.Maaf terlalu panjang bicata soal bid'ah ini namun sy harapkan tidak menimbulkan perpecahan dalam Islam.Wallahu'alam
- yg dimaksud yg mulia KH. LUTHFI BASHORI adalah MEMINTA dalil qath'i yang harfiy (tekstual) dari ayat Alquran atau Hadits yang mengatakan wajibnya BELAJAR ILMU NAHWU. Adakah rasul pernah menyuruh para sahabat utk belajar bahwu? Tajwid? Dlsb? Jika ada dalilnya secara shorih, maka tunjukkan. Anda tdk akan mungkin bs mmbaca quran tanpa tajwid (tanpa bid'ah). Memangnya anda mau contoh bid'ah yg dilakukan pada zaman rasul, setelah rasul wafat, dan setelah generasi sahabat? Ane paparkan secuil saja.. biar njenengan bs memahami

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Sebenarnya, secara prinsip saya tidak terlalu kaku meminta dalil qath'i tektual ayat/hadits tentang kewajiban belajar Ilmu Nahwu, karena memang mohal untuk ditemukan, itu hanyalah sebagai pelajaran semata kpd Mas Johny dan teman2 Wahhabinya yang terlalu kaku (letterleg) dalam memahami ajaran agama, namun jika dikejar benar2 seperti yang mereka tuntut terhadap umat Islam, nyatanya justru mereka (Mas Johny cs) yang lari terbirit-birit karena ketidakmampuan memberi jawaban. Mereka telah membuat 'Blunder' di daerah pertahanannya sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya 'gool bunuh diri' bagi keyakinannya sendiri, ini meminjam istilah insan persepakbolaan.

43.
Pengirim: Izzudin  - Kota: Rengel Tuban

Jazakumullah Ahsanal Jaza' 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Realita di lapangan, kaum Wahhabi menolak pembagian Bid'ah menjadi dua: Bid'ah Dlalalah dan Bid'ah Hasanah, seperti yang diyakini warga Aswaja selama ini. Alasannya karena tidak ada satu pun ayat Alquran atau hadits Nabi SAW membagi Bid'ah itu menjadi dua (Dhalalah dan Hasanah), sedangkan adanya pembagian dua ini hanyalah hasil nalar dari para ulama Aswaja. Padahal yang namanya dalil yang berlaku itu hanyalah jika datang dari Alquran atau Hadits Nabi SAW secara sharih (tekstual/harfiyah).

Anehnya, kaum Wahhabi sendiri justru membagi Bid'ah menjadi dua : Bid'ah Diniyah dan Bid'ah Duniawiyah. Padahal tidak ada satu pun ayat Alquran atau hadits Nabi SAW yang menyatakan secara sharih (tekstual/harfiyah) bahwa Bid'ah itu dibagi dua : Bid'ah Diniyah dan Bid'ah Duniawiyah.

Jadi jelaslah, bahwa pembagian semacam ini juga hanyalah akal-akalan kaum Wahhabi saja, agar tampak berbeda dengan istilah Aswaja. Karena jika menggunakan istilah yang sama, mereka tidak mau dikatakan Taqlid kepada para Ulama Aswaja.

Yaa, ini namanya : Aneh tapi Nyata !




44.
Pengirim: taufiqul Hadi  - Kota: Palangka Raya

Saya rasa ustadz harus banyak belajar lagi, sehingga dapat membedakan dalam bidang apa bid'ah itu dimaksudkan oleh Rasulullah saw. Itu harapan saya agar sajiab ustadz tidak kacau balau yang membuat umat awam bingung, lalu menyerang golongan yang ingin kembali kepada al-Qur'an dan sunnah. Jangan terburu-buru kasih fatwa, ustadz. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Wah, anda ini rupanya orang awam yang sedang kebingungan yaa?

Karena itu anda perdalami dulu ilmu agama biar bisa berdialog secara ilmiah keagamaan, dengan mengutarakan dalil Alquran maupun Hadits shahih dalam forum ilmiah ini. Mudah-mudah Allah segera memberi hidayah kepada anda.

Jadi bukan cuma sekedar asbun (asal bunyi) seperti sekarang ini, hingga anda sedikit tampak lebih elegan dan berpendidikan.

Alhamdulillah, kami sudah menerangkan secara ilmiyah dengan dalil sharih, tentang hadits kullu bid'atin dhalalah sesusai pemahaman Ahlus sunnah wal jamaah, bukan mengikuti pemahaman Wahhabi.

45.
Pengirim: Moh. Anshary  - Kota: Medan

Stlh saya cermati jawaban Pejuang Islam, ternyata anda tidak keliru, tetapi yang keliru adalah referensi anda yang kurang luas. Anda sangat terikat kepada referensi ahlussunnah wal jama'ah versi Indonesia yang senang kesyirikan dan TBC. Alhamdulillah sekarang sudah banyak tokoh kunci/ulama ahlussunnah waljama'ah versi Indonesia yang meninggalkan ajarannya, mereka insaf dan tobat dari ajaran sesatnya. Siapa yang ikut mereka yang tobat ini? 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Koment anda tidak berbobot sama sekali, anda bisanya hanya beropini tanpa bukti kongkrit. Apa barangkali anda sama sekali tidak mengenal satupun dalil Alquran maupun Hadits, apalagi kitab-kitab karya ulama salaf?

Paling-paling yang anda maksud sebagai tokoh yang bertobat itu adalah Mahrus Ali, yang tidak berani datang dalam acara debat terbuka antara Wahhabi vs LBM NU, di Kampus Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2008 yang lalu.

Kami doakan, mudah-mudahan anda segera diberi pemahaman agama yang benar oleh Allah, syukur-syukur kalau anda bisa merayu Mahrus Ali agar berani secara gentle membuka ulang event DIALOG TERBUKA WAHHAB vs LBM NU.

46.
Pengirim: bejo  - Kota: jember

waaah ya repot kalo menafsirkan quran&memahami hadist menurut pikirannya sendiri begini.... 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Ya begitu itulah kaum Wahhabi sukanya mengikuti pikirannya sendiri, mereka berbicara tanpa keluasan dalil. Lebih parah lagi, jika menemukan satu dalil, mereka hanya memahami lewat terjemahan dan hanya mampu secara letterleg atau tekstual atau harfiah semata, sehingga seringkali bertabrakan dengan pemahaman ulama salaf Ahlus sunnah wal jamaah.

47.
Pengirim: bejo  - Kota: jember

nggak usah repot...
saya yakin,melakukan sunnah rosul yang shohih saja nggak ada yang mampu...knp sibuk dengan amalan-amalan yang nggak pernah dicontohkan oleh rosulillah..1 contoh kecil saja,ayo makmurkan masjid-masjid dengan sholat berjamaah ditiap sholat fardlu,sudah mampukah kita..?ayolah mengamalkan amalan yang sudah jelas ada tuntunan dari rosul. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Komentar anda menandakan keawaman tingkat keilmuan anda dalam ajaran Islam. Perlu anda sadari, bahwa dialog di situs Pejuang Islam ini diperuntukkan bagi mereka yang memahami ilmu agama Islam dengan baik. Bukan sekedar menyampaikan ungkapan seperti yang anda lontarkan, karena tidak ada bobot ilmiahnya sama sekali. Jadi kami tidak akan menjawab secara ilmiah. Cukup para pembaca membandingkan mana tulisan yang berbobot ilmiah dengan lontaran Mas Bajo ini.

Di Indonesia ini, masjid warga Sunni Syafi'i lebih banyak jumlahnya dengan masjid non Sunni Syafi'i. Warga Sunni Syafi'i juga mayoritas keberadaannya, seperti sabda Nabi SAW : Alaikum bis sawaadil 'adham.

49.
Pengirim: Bejo  - Kota: jember

Assalamu'alaikum
maaf ana yang fakir ilmu agama islam ini masuk lagi ke website yang diperuntukkan bagi kaum intelektual ini..ana hy pgin menyambung comment ana diawal dan ingin menyampaikan ilmu agama yang sedikit sekali ana miliki..bahwa dalm hadist setelah lafadz wa Kullabid'atin dlalaalah ada lafadz wa Kulla dlalaatin fin naar.(sama-sama menggunakn lafadz Kulla adlah jika hny sebagian kesesatan itu tempatnya adlh neraka??adakah Dlalaalah tempatnya di Syurga???bahwa yg dimaksud wa kulla bid'atin dlalaalah itu adlah setiap bid'ah itu dlalaalah.itu adlah bid'ah fie ma'naa asyar'iyyah yakni setiap muhdatsah/perkaru baru yang diada-adakn dlm perkaraagama ini (perkara badah) yg menyelisihi syari'at Alloh&sunnah sementara dia sudah ada nashnyaa.sebagaiman lafadz sebelumnya fa inna kulla muhdatsatin bid'ah.
jadi makna bid'ah adlah fie ma'naa asyariyyah sgg muhdatsah..dan man ahdatsa fie amrinaa haadzaa maa laysa minhu fahuwa raddun.barang siapa yg membuat suatu yg baru/mengada-adakn sesuatue urusan syar'i yang bukan bagian darinya maka ia tertolak(HR.Bukhari&Muslim)..man amila 'amalan laysa 'alayhi amruna fahuwa raddun.(HR.Muslim).barang siapa mengerjakan suatu amalan yg tdk ada perintah kami amalan itu tertolak.
Syukron..  
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Mas Bejo perlu tahu : Dalam grametikal bahasa Arab dikenal istilah ILTIFAAT. Dalam hadits itu juga terdapat kaedah Iltifaat yang perlu diterapkan untuk memahaminya secara benar. Contoh sederhana mempraktekkan kaedah ILTIFAAT adalah pada susunan surat Alfatihah. Coba Mas Bejo perhatikan, mulai ayat pertama bismillahir rahmaanir rahiim, sampai ayat ke empat maaliki yaumiddiin, Allah menggunakan dhamir ghaib, huwa (Dia) yang mahdzuf, tapi pada ayat ke lima, tiba-tiba saja Allah menggunakan dhamir mukhathab yang dhahir, iyyaka (hanya kepada-Mu).

Semacam inilah salah satu ketinggian sastra Arab yang perlu dipahami oleh Mas Bejo jika betul-betul mencari kebenaran agama. Karena kalau hanya memahami bahasa Arab (Alquran dan Hadits) hanya dari terjemahan bahasa Indonesia, pasti terjadi perberbedaan dalam grametikalnya yang menyebabkan kesalahan dalam memahami nash haditsnya.

Maka, bisa-bisa ada orang yang protes terhadap susunan Alquran (Alfatihah), menjadi iyyahu (hanya kepada-Nya) na'budu (kami menyembah), bukan iyyaka (hanya kepada-Mu) na'budu (kami menyembah), gara-gara menerjemahkan Alquran tanpa tahu kaedah Grametikal Arabnya

Dalam hadits Fa inna kulla bid'atin dhalalah, wa kulla dhalalatin fin naar. Nabi SAW juga menggunakan kaedah ILTIFAAT, sebagaimana telah kami cantumkan dalam artikel (kulla yang pertama berarti sebagian, dan kulla yang berikutnya berarti setiap), ini sesuai dengan siyaaqul kalaam. Karena itu Nabi SAW juga bersabda : Man sanna fil islaami sunnatan hasanatan fa lahuu ajruha wa ajru man 'amila biha .... (Barangsiapa memulai/menciptakan baru dalam Islam sebuah amalan yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan (mendapat kiriman) pahala sebanyak pahala orang yang menirukannya....! (HR. Muslim no 1017).

Jadi jelaslah, bahwa umat Islam diperintahkan berkarya menciptakan amalan yang baru yang belum pernah dicontohkan oleh Nabi SAW, asalkan amalan itu baik dan tidak bertentangan dengan syariat.

Baca shalawat yang berupa maulid Nabi SAW adalah perkara baru yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan syariat, karena tidak ada satu pun larangannya yang tertera dalam lafadz ayat Alquran dari surat manapun, atau tidak ada satupun hadits Nabi SAW yang shahih melarang orang mengadakan shalawatan dalam bentuk maulid Nabi SAW ini.

Sedangkan baca maulid Nabi SAW ini jelas-jelas adalah amalan baik yang mencakup shalawatan, membaca biografi Nabi SAW, dan mendengarkan taushiyah agama dari para da'i, jadi amalan ini termasuk Man sanna fil islaami sunnatan hasanatan.

Shalawatan berbentuk maulid Nabi SAW ini termasuk SUNNAH HASANAH (menurut istilah Nabi SAW) atau NI'AMTIL BID'AH / Bid'ah yang nikmat alias baik (menurut istilah Sy. Umar bin Khatthab) atau BI'DAH HASANAH / Bid'ah yang baik (menurut istilah para ulama Ahlus sunnah wal jamaah).

Tentunya mereka yang membuat istilah seperti itu, karena benar-benar memahami grametikal Arab, sesuai yang dimaksud oleh Nabi SAW.

Adapun (HR. Bukhari & Muslim)..man amila 'amalan laysa 'alayhi amruna fahuwa raddun.( HR.Muslim) Barang siapa mengerjakan suatu amalan yg tdk ada perintah kami amalan itu tertolak.!

Maksudnya adalah amalan baru yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti amalan kaum liberalisme yang mengadakan Doa Bersama dengan kaum kafir non muslim, yang diadakan di satu tempat, dan pemimpin doa juga bergantian antar tokoh-tokoh yang berlainan agama dan diamini oleh para hadirin yang juga berasal dari berbagai lintas agama.
Ini jelas-jelas Bid'ah Dhalalah yang sesat dan kelak para pelakunya akan menghuni neraka Jahannam.

50.
Pengirim: ahmad alquthfby  - Kota: probolinggo

Bpk Bejo-Jember yg kami hormati,
dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.

Saya sangat sepakat dg al ‘allamah KH. Luthfi Bashori Alwy rahumahulloh; meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah
itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).

Termyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam
Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang
melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan
barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).

Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan,
bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang
memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya
dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian,
hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-
Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan
yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah
dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau
belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali
melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah
diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq
dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat
berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat
kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan
mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke
dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal
datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah
rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk
dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera
mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal
yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam
menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz
telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang
harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi
Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan
al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).

Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti
shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata,
“Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya
kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai
dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.

 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Wawasan ilmu yang sangat luas, diperuntukkan untuk Mas Bejo dan seluruh komunitas Wahhabi Indonesia.

51.
Pengirim: ahmad alquthfby  - Kota: probolinggo

Oia, sebagai tambahan, apakah kira-kira menurut mas bejo sahabat mu’adz tdk faham akan sabda rasul (yg artinya): “sholatlah kamu seperti km melihat aq sholat”? atau beranikah njenengan brkata bahwa njenengan lebih 'alim daripada sahabat mu'adz? hehe..
 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Gimana doong jadinya Mas ... ?

52.
Pengirim: abu fatih  - Kota: solo

Assalaamu'alaikum.. tadz.
Saya setuju dengan penjelasan ustadz di atas. Namun saat ini seringkali di masyarakat kita majelis tahlil(an) dikait-kaitkan dengan 7 hari, 40 hari dst dari kematian seseorang. Bahkan ahli waris merasa berdosa bila tidak melaksanakannya. Kalau yang demikian termasuk bid'ah yang manakah tadz. Jazakumullahu kheir.. Wassalaamu'alaikum.. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
jika ada kesalahan perilaku sebagian masyarakat, hal itu tidak berpengaruh pada status hukum agama. Contoh, hukumnya wanita muslimah menampakkan rambutnya di depan lelaki non mahram adalah haram. Lantas bagaimana realita di masyarakat Indonesia yg mayoritas wanita muslimahnya tidak menutup rambut, apa hukumnya menjadi halal mengikuti 'aktualisasi' di masyarakat ? Pasti jawaban : TIDAK !

Demikian juga hukum bolehnya tahlilan akan tetap lekang dan lestari bersama perjalanan jaman, dan jika ada pelanggaran di tengah masyarakat, maka di sanalah letak lahan dakwah untuk memberi penerangan kepada umat, tentang tata cara sunnahnya melaksanakan Tahlilan itu.



53.
Pengirim: jahil  - Kota: semarang

Website yang mencerahkan, jazakumullah khair.

Barangkali bermanfaat, menanggapi "Waja`alna minal maa-i KULLA syai-in hayyin." Dalam biokimia, pemaknaan KULLA ternyata memang tepat dengan SETIAP/SEMUA. Ternyata setiap yang hidup pasti butuh air. Air ini mutlak untuk aktivitas ENZIM, zat yang juga mutlak bagi setiap yang hidup. Contohnya, tanah yang tandus, bisa menjadi subur lagi ketika cukup air. Ini terjadi karena bakteri baik bagi kesuburan tanah yang mati suri menjadi hidup lagi karena enzim yang ada bisa beraktivitas lagi oleh adanya air.

Gusti Allah memang MAHA KUASA, sanggup mendesain segala sesuatu hingga sangat detil dan rumit, tak habis untuk dibaca.

Syukron. 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
1. Masalahnya, Allah menciptakan makhluq hidup itu bukan sekedar parsial seperti yang dipahami oleh ahli biokimia, artinya Allah bukan sekedar menciptakan makhluq yang berupa materi, tetapi juga menciptakan makhluq non materi seperti nyawa, malaikat, jin, sorga, neraka, kentut dan sebagainya. Allah berfirman menggambarkan pengakuan Iblis (dari bangsa jin) saat membangkang tatkala diperintahkan menghormati Nabi Adam AS: Khalaqtani min naarin (Engkau menciptakan diriku dari api). Jika saja lafadz Kulla harus dipaksakan mempunyai arti SETIAP/SEMUA, maka menjadi kontradiksi dengan ayat penciptaan jin (Iblis) sebagai makhluq hidup yang berasal dari api itu.

2. Cara menerjemahkan ayat waja`alna minal maa-i, artinya Kami CIPTAKAN dari air, bukan berarti sesuatu itu BUTUH air.
Jelas berbeda antara makhluq hidup yang di-CIPTA-kan dari air dengan makhluq hidup yang mem-BUTUH-kan air.

Kami tidak pernah menafikan pemahaman, betapa pentingnya air itu bagi kehidupan SEBAGIAN makhluq ciptaan Allah, bahkan bisa dikatakan hampir SEMUA makhluq hidup yang berupa MATERI itu sangat membutuhkah air. Tetapi makhluq hidup yang non materi, seperti bangsa jin dan malaikat itu tentunya tidak terlalu terikat dengan air.

55.
Pengirim: Alfin  - Kota: Bekasi

Assalamu'alaikum Ustadz,
Mau tanya apa tolong sebutkan contoh-contoh bid'ah yang dhalalah, 5 saja?
Apakah kalo kita menambah shalat Dzuhur menjadi 5 rakaat ini termasuk bid'ah hasanah juga? 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
1. Doa bersama muslim non muslim dalam satu tempat yang dipimpin bergantian tiap pemuka agama dan diamini bersama seluruh hadirin.
2. Menggundang non muslim dalam acara ritual agama Islam.
3. mengundang tarian barongsai sebelum istighatsah/tahlilan/acara ritual Islam.
4. Menghadiri upacara ritual non muslim, seperti hadir dalam acara misa gereja atau natalan.
5. Sengaja meyakini sekaligus menjalankan shalat Dhuhur/Ashar/Isyak menjadi lima rakaat, dst,

57.
Pengirim: محمداخوان ذخرى  - Kota: pekanbaru

syukron kiyai, makalahny mnambah ilmu al faQir,,,
tapi al faQir ingin brtanya mngenai asbab wurud hadits
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ...

brang kali bsa mmprdalam ilmu al faQir ...
dan lbih mmhami makna hadits tsb...

[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سن فى الاسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل اجر من عمل بها ولا ينقص من اجورهم شيء من سن فى الاسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من ازوارهم شيء
Artinya: Rasulullah bersabda: barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau prilaku yang baik) dalam Islam, lalu sunnah itu diamalkan oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikit pun dosa yang mereka peroleh.
Asba>b al-Wuru>d hadits tersebut adalah ketika Rasulullah bersama-sama sahabat, tiba-tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin, meliahat hal demikian Rasulullah merasa iba kepada mereka. Setelah shalat berjama’ah Rasulullah berpidato yang menganjurkan untuk berinfak. Mendengar hal tersebut seorang sahabat keluar dan membawa sekantong makanan untuk orang-orang miskin tersebut. Melihat hal tersebut maka Rasulullah bersabda sebagaimana hadits di atas.
Melihat Asba>b al-Wuru>d di atas, kata sunnah yang masih bersifat mutlak (belum dijelaskan oleh pengertian tertentu) dapat disimpulkan adalah sunnah yang baik, dalam hal ini adalah bersedekah.

Perlu difahami, bahwa berlakunya dalil sebagai hukum itu berdasarkan keumuman lafadznya, bukan dengan kekhususan sebab (asbabul wurud)-nya.

59.
Pengirim: Romdonih  - Kota: Tangerang Selatan

Assalamu'alaikum Kyai...salam kenal salam dari ana, semoga Kyai senantiasa diberikan kesehatan dan keistiqomahan dlm da'wah Islam sesuai Ahlu sunnah Wal Jamaah, aamiin

ada 1 pertanyaan Kyai, bagaimana menjawab stataement orang2 WAHABI ttg syarat amal itu ada 2 yaitu Ikhlas dan mengikuti contoh nabi?? jadi bukan "asal baik" Syukran 
[Pejuang Islam Menanggapi]
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
Statemen seperti itu adalah pemahaman sempit. Yang benar itu setiap amalan ibadah harus sesuai dengan dalil Alquran dan Hadits.

1. Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW merlewati Malaikat Jibril dan mengandung mukjizat.

2. Hadits adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu secara Qaulan/ucapannya (seperti: Iqra-uu yaasiin 'alaa mautaakum/bacakan surat Yasin untuk mayit kalian/alias tahlili mayit kalian), atau Fi'lan/perbuatannya (seperti: Nabi SAW nyekar/menancapkan dahan kurma di atas dua kuburan muslim), atau Taqriran/ketetapannya (seperti: Nabi SAW membiarkan Sy. Khalid bin Walid memakan daging Dhab/hewan khas padang pasir namun Nabi SAW sendiri tidak memakannya), Sifatnya/biografinya (seperti: Konon Nabi SAW lemah dan lembut terhadap umat Islam dan tegas terhadap orang-orang non muslim, sesuai ajaran Alquran).

Sumber : http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar